Oleh: Ali Efendi* Secara umum nelayan didefinisikan sebagai orang yang aktif melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan di laut dengan tuj...

Oleh: Ali Efendi*




Secara umum nelayan didefinisikan sebagai orang yang aktif melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan di laut dengan tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya.

Nelayan pada umumnya tinggal di pesisir. Dalam perspektif sosiologi, nelayan memiliki karakter yang keras, tegas, supel, dan terbuka. Hal ini dikarenakan nelayan menghadapi sumber daya bersifat open acces yang menyebabkan mereka berpindah-pindah dengan segala risiko yang dihadapi untuk memperoleh hasil dengan maksimal.

Salah satu klasifikasi nelayan berdasarkan besaran kapal atau perahu yang digunakan menangkap disebut dengan nelayan mikro atau nelayan kecil.

Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Lamongan nomor 5 tahun 2021 tentang Pemberdayaan Nelayan Kecil, bab I pasal 1 item 6, menyebutkan Nelayan kecil merupakan orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang tidak menggunakan kapal penangkap ikan, maupun yang menggunakan kapal pengkap ikan berukuran paling besar 10 (sepuluh) grosston (GT).

Nelayan kecil (peasant-fisher) adalah nelayan yang mengunakan teknologi penangkapan sederhana, umumnya peralatan tangkap yang dioperasikan secara manual dengan tenaga manusia, kemampuan jelajah operasional terbatas pada perairan pantai.

Nelayan kecil dalam melakukan operasi tangkapan ikan dengan segala keterbatasan, seperti; kapal kecil, Anak Buah Kapal (ABK) sendirian atau maksimal tiga nelayan, serta peralatan tangkap sederhana dan jangkauan wilayah jelajah terbatas.

Dengan tekad bulat, nelayan kecil siap menanggung segala risiko berangkat untuk mengarungi lautan tanpa dilengkapi peralatan keamanan diri sesuai dengan standar Keselamatan dan kesehatan kerja (K-3). Saat musim timur kurang ramah dan musin barat yang tidak bersahabat, nelayan kecil tetap semangat melaut untuk memenuhi kebutuhan perekonomian keluarganya. Nelayan kecil Kabupaten Lamongan terdapat di Kecamatan Paciran dan Brondong yang tersebar di beberapa desa.
 

Anomali Musim Barat

Nelayan mengenal dua musim dalam kurun waktu setahun, musim timur dan barat. Musim timur terjadi pada akhir bulan Agustus sampai dengan Oktober, sedangkan musim barat terjadi pada bulan Desember sampai dengan Februari.

Pada musim timur ditandai dengan angin kencang dari arah timur laut dan ombak besar, tetapi nelayan kecil masih bisa melaut dengan tingkat kewaspadaan tinggi dan risiko berat yang akan dihadapi nelayan kecil.

Sementara musim barat ditandai dengan angin kencang dari arah barat laut, gelombang besar bergulung-gulung, dan mendung hitam pekat disertai dengan hujan sepanjang hari. Di musim barat nelayan libur total tidak melaut, kondisi ini dialami di akhir dan awal tahun dalam kurun waktu selama tiga bulan.

Namun, perubahan musim tahun ini terjadi tidak seperti biasanya, di awal Desember sampai dengan Januari pekan kedua belum ada tanda-tanda musim barat tiba. Baru pekan ketiga ada tanda-tanda, misalnya; mendung tipis-tipis dan angin agak kencang dari arah barat laut, serta mulai ada gelombang besar.

Para ahli dan aktivis lingkungan hidup menyebutkan bahwa anomali musim barat tahun ini sebagai dampak perubahan iklim global dan badai El Nino. Dampaknya sangat terasa bagi penghuni bumi, termasuk penduduk Indonesia merasakan, seperti global warming, kebakaran hutan, kekeringan melanda diberbagai belahan dunia, kelangkaan air, permukaan air laut meningkat, badai dahsyat, curah hujan berkurang, banjir, dan sebagainya.

Para ahli dan aktivis lingkungan hidup menyebutkan bahwa anomali musim barat tahun ini sebagai dampak perubahan iklim global dan badai El Nino. Dampaknya sangat terasa bagi penghuni bumi, termasuk penduduk Indonesia merasakan, seperti global warming, kebakaran hutan, kekeringan melanda diberbagai belahan dunia, kelangkaan air, permukaan air laut meningkat, badai dahsyat, curah hujan berkurang, banjir, dan sebagainya.

Nelayan kecil juga merasakan dampak yang ditimbulkan, terutama hasil tangkapan sepanjang tahun 2023 sangat sepi dan berkurang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Ketika musim barat tiba, nelayan kecil memiliki kebiasaan mengisi liburan melaut dengan aktivitas memperbaiki perahu dan peralatan tangkap yang dibutuhkan.

Pasca musim barat, biasanya musim panen hasil tangkapan, namun anomali musih barat menjadikan nelayan kecil sepi hasil tangkapan. Saat ini nelayan kecil benar-benar membutuhkan solusi baik terhadap persoalan yang dihadapi.

 
Musim Pemilu Bagi Nelayan Kecil

Selain yang musim barat dan musim timur yang dihadapi nelayan kecil berdasarkan kajian klimatologi, nelayan juga mengahadapi musim pemilu saat ini tinggal menghitung hari. Musim Pemilu 2024 telah dimulai sejak tahun 2023 dengan beragam proses dan tahapan sesuai dengan jadwal, maka prosesnya melibatkan seluruh komponen bangsa.

Termasuk profesi nelayan menjadi bagian objek sasaran bagi calon legislatif (Caleg), pasangan Capres dan Cawapres untuk menawarkan program dan janji demi mencari simpati dan dukungan.Harus diakui bahwa posisi tawar (bargaining) nelayan kecil sangat lemah sehingga dalam musim Pemilu seringkali dimanfaatkan untuk pengerahan massa dalam setiap event kampanye.

Penyelenggaraan Pemilu 2024 bersamaan dengan musim barat menjadikan nelayan kecil menikmati proses sosialisasi dan paparan program Caleg, tim sukses Capres, dan Cawapres. Sebenarnya profesi nelayan mempunyai beragam induk organisasi dari tingkat desa sampai pusat, tetapi secara hierarki terdapat perbedaan pilihan dan dukungan masing-masing pengurus dan anggota sehingga ada kebebasan dalam pilihan.

Nelayan kecil benar-benar menikmati euforia musim Pemilu 2024 dengan harapan Pemilu berjalan dengan jujur dan adil sehingga terpilih anggota legislatif, presiden, dan wakil presiden yang memiliki kepedulian terhadap nelayan kecil.

*Tinggal di Kampung Nelayan Paciran Lamongan

Artikel ini telah dimuat dalam Koran Radar Bojonegoro, Minggu 04 Februari 2024

  source image: nationalgeographic.grid.id " Dikisahkan suatu masa, Bumi mengalami kekeringan yang luar biasa. Entah ini merupakan ta...

 

source image: nationalgeographic.grid.id

"Dikisahkan suatu masa, Bumi mengalami kekeringan yang luar biasa. Entah ini merupakan tanda kiamat yang sudah dijanjikan oleh Tuhan ataukah kiamat “nilai” dari umat manusia itu sendiri. Terbangun oleh rasa senyap, kematian yang merajalela. Saat itu air sangat melimpah. Air selokan, sungai, danau, rawa-rawa, bahkan air laut. Dimana manusia memperhitungkan segala sesuatu, dari hal yang kecil. Tak dinyana, betapa harusnya generasi itu hancur lebur karena ulah mereka. Sebut saja Yolo, adalah pahlawan kecil dari Negri Valhala, negri yang kaya akan sumber daya airnya. Benar, hanya ada satu negri yang masih bertahan dengan air bersihnya. Air yang dapat dikonsumsi oleh semua umat manusia. Namun sayang, dari ribuan negri yang ada di Bumi, hanya tersisa satu negri yang mampu bertahan dengan senjata akhirnya. Ya, apalagi jika bukan dengan Air?. Akan tetapi, banyak dari negara lain memperebutkan sumber daya dari negri Valhalla. Sang Pahlawan kecil tersebut tak bisa bertahan diri untuk melindungi negrinya, dan akhirnya tewas dalam pertarungan yang amat sangat sengit. Mulai saat itu, Bumi pun mengalami kemusnahan masal. Air bersih hanya menjadi sebuah dongeng sebelum tidur. Ya, tidur untuk selama-lamanya."

Mengerikan bukan? Ketika air yang menjadi kebutuhan pokok umat manusia, hanya sebatas dongeng belaka. Cerita tersebut hanyalah gambaran kecil akan kebengisan umat manusia itu sendiri. Sumber daya yang harusnya tak akan habis, dapat menjadi benar-benar habis. Mari kita merefleksikan diri sejenak. Selasa kemarin (22/3), sejak diumumkan pada tanggal 22 Desember 1992 dalam Sidang Umum ke-47 PBB di Rio de Janeiro, Brasil tepatnya. Setiap tahunnya mulai tahun 1993, tanggal 22 Maret diperingati sebagai hari air sedunia. Sepeti tahun-tahun sebelumnya, hari air sedunia selalu diperingati degan tema tertentu. Tema untuk tahun 2016 ini adalah Water and Jobs.

Antara air dan pekerjaan memiliki hubungan kuat, sehingga mendapat sorotan dunia, mengingat air memiliki peran penting menentukan pekerjaan yang layak terutama bagi kaum buruh yang menopang pembangunan. Dikutip dari nationalgeographic.co.id data menunjukkan, 1.5 miliar orang atau lebih dari setengah dari jumlah kaum pekerja di dunia bekerja di bidang yang berhubungan langsung dengan air. Ironisnya, masyarakat pekerja juga seringnya tidak mendapat akses yang mudah terhadap air bersih dan layak pakai.

Saya sempat iri dengan negara dunia pertama, yang di setiap tempat terdapat fasilitas air minum gratis. Bahkan air yang keluar dari kran mana saja halal untuk diminum. Mungkin sekarang di Indonesia sedang diberlakukan fasilitas sedemikian rupa, namun ranahnya baru berada pada kampus-kampus ternama, sebut saja salah satunya GMU. Kampus ternama ini sekarang lagi gencer-gencernya memberikan fasilitas air bersih gratis siap minum di tiap fakultasnya. Akan tetapi sangat disayangkan, pada beberapa fakultas sedang di STOP penggunaannya karena ada kendala teknis. Semoga saja dapat kembali normal.

Urgensi Air Bersih

Air sangat penting bagi semua makhluk hidup. Sumber dayanya yang melimpah, namun tidak diimbangi oleh peningkatan jumlah populasi penduduk, ditambah dengan pengelolaan yang kurang baik. Permasalahannya adalah, ketersediaan air di planet Bumi ini semakin langka dari tahun ke tahun dengan tingkat yang semakin mengkhawatirkan. Ini adalah hal yang nyata di sekitar kita, mungkin aneh tapi sudah menjadi kewajaran tersendiri. Memang Bumi ini ketika terlihat dari citera satelit, seperti buku-buku SD hingga SMA sama semua, seperti diselimuti air berwarna kebiruan menggoda, yaitu sekitar 97,3 persen Namun, ternyata persentase itu berupa air laut yang tidak dapat dikonsumsi oleh manusia. Dan, hanya 3 persen yang berupa air tawar. Pun, jumlah tersebut tidak semua langsung dapat dikonsumsi atau diakses langsung untuk kebutuhan manusia karena terperangkap dalam bentuk bongkahan gunung es di kutub, gletser, dan air tanah. Masalah air kerap terjadi di sekeliling kita. Mulai dari kesehatan, kesejahteraan, ekonomi, bahkan money politic.

Semua jenis dan industri yang berhubungan dengan air, dituntut untuk lebih bijak dalam mengatur pengunaan air bersih serta mengurangi pencemaran sumber air. Lihat saja betapa mengerikannya masalah pencemaran air di negri ini. Diproyeksikan saat ini sekitar 40 persen penduduk Bumi yang mengalami kelangkaan air bersih dan pada tahun 2025 ada sekitar 1.8 miliar manusia yang terpapar pada kelangkaan air absolut. Sepertiga penduduk akan terekspos stres keberadaan air (FAO Water, 2012). Tanpa menyalahi ataupun menjatuhkan negara-negara berkembang, tekanan paling berat terhadap kelangkaan sumber daya air akan terjadi di kelompok negara ini, karena masih tingginya laju kelahiran yang diperkirakan 2.1 persen per tahun, Indonesia termasuk. Lebih khusus lagi adalah tekanan masyarakat di perkotaan yang tak kalah mengkhawatirkan karena laju pertumbuhan penduduknya mencapai 3,5 persen disamping galaknya proyek pembangunan yang mengikis lahan.

Hingga saat ini, penyediaan air bersih bagi masyarakat kita masih dihadapkan pada beberapa masalah yang kompleks, apalagi menyinggung birokrasi. Rendahnya tingkat pelayanan air bersih kepada masyarakat masih menjadi kasus hangat yang belum selesai dituntaskan. Contoh saja, pada tahun 2013, sekitar dua ratus juta jiwa orang Indonesia, hanya 20 persen yang memiliki akses air bersih, sisanya atau sekitar 80 persen masyarakat Indonesia masih mengkonsumsi air yang tidak layak. Menurut penelitian yang telah dibuktikan oleh Jim Woodcook, seorang konsultan masalah air dan sanitasi dari Bank Dunia, yang hasilnya cukup mencengangkan, karena ada 100.000 bayi di Indonesia tewas tiap tahunnya yang disebabkan oleh diare. Tentu saja penyebab utama dari penyakit tersebut ialah buruknya akses air yang bersih serta sanitasi.

Langkah Kecil untuk Air Kita

Sudah sangat banyak problema pelik yang harus dihadapi masyarakat kita terkait dengan kebutuhan air yang bersih. Menurut saya, ada 3 poin pokok yang dikatakan sebagai masalah utama penyebab kualitas air yang buruk di Indonesia. Pertama, masih banyak masyarakat kita kurang menyadari isu lingkungan. Kedua, dari segi pemerntah kurang memberikan alokasi anggaran bagi masing-masing daerah yang ditargetkan untuk meningkatkan pelayanan air bersih dan sanitasi. Terakhir adalah yang ketiga, yaitu kurangnya penggemboran pada media-media tentang masalah air bersih dan cara pengelolaannya.

Ada beberapa 5 tips kecil khusus untuk mahasiswa, agar menghemat penggunaan air bersih supaya dapat membantu saudara kita yang membutuhkan, diantaranya:

  1. Irit air jika kita mandi. Bersihkanlah tubuhmu dengan seperlunya kawan. Gunakanlah shower, jangan memakai gayung. Apabila ingin lebih hemat lagi, hari libur tidak usah mandi, cukup membersihkan badan dengan cuci muka, gosok gigi, dan semprot parfum maksimal.
  2. Mengurangi atau matikan kran air ketika kita mencuci tangan, menyanyi, bahkan berwudhu. Maksudnya adalah mengecilkan debit airnya, hitung-hitung sehari kita bisa irit 11 liter.
  3. Bagi yang suka mencuci baju sendiri, gunakan detergen sedikit saja. Gunakan sabun bio-degradable dari bahan organik, sehingga air buangan dapat dipakai  ulang setelah masuk oleh sumur resapan.
  4. Gunakan kembali alat makan, pakaian yang tidak terlalu kotor. Jika kita sering mencuci alat makan dan pakaian, maka semakin banyaklah konsumsi air kita.
  5. Siram tanaman di waktu pagi hari. Karena pada siang hari, matahari akan membuat air menguap sebelum diserap. Maka dari itu, jika mempunyai tanaman, usahakan tanam sewaktu musim hujan.

Itu tadi adalah sepercik gagasan dari berbagai ide dan sumber. Sedikit sekali apa yang bisa saya sampaikan kawan. Alhasil dialektika mengenai air adalah sebuah keniscayaan. Mari, khususnya sebagai pemuda, lakukanlah perubahan sekecil apapun. Ini tanahku dan juga tanahmu. Sebagai bentuk penghormatan terhadap karya Sang Pencipta, alangkah baiknya kita merawat pemberian Tuhan sedini mungkin, karena air juga membutuhkan perhatian yang tulus. Hari air 2016 yang bertemakan Water and Jobs sekali lagi berpesan kepada semua kalangan, baik yang muda maupun tua agar senantiasa menjaga air, karena kualitas dan kuantitas air yang baik, akan terbuka jalan menuju pekerjaan yang lebih baik pula.

Salam Sahabat Air

 Oleh:  KRIS RAZIANTO MADA Rodhial Huda (48) adalah kebalikan atas semua pandangan umum tentang nelayan di Indonesia. Berkulit kuning lang...

Rodhial Huda (48) adalah kebalikan atas semua pandangan umum tentang nelayan di Indonesia. Berkulit kuning langsat dan selalu rapi, punya teman akrab dari berbagai benua, punya perpustakaan pribadi dengan koleksi beragam jenis buku, ayah empat anak itu selalu bangga saat memperkenalkan diri sebagai nelayan.

Rodhial Huda by: Kris Razianto Mada

”Saya ingin semua nelayan bangga dengan profesi mereka. Anak- anak nelayan tidak segan menyebut pekerjaan orangtua mereka dan ingin meneruskan pekerjaan itu,” ujar Rodhial di Pulau Bunguran, Natuna.
Selama lebih dari 10 tahun terakhir, ia menghabiskan waktu mengubah cara pandang nelayan terhadap diri mereka sendiri. Ia juga mengubah cara pandang orang terhadap nelayan. ”Kalau saya memperkenalkan diri, banyak yang tidak percaya. Tetapi, setelah mendengar cerita saya, baru mereka yakin,” ujarnya.
Sebagai anak nelayan dari Pulau Sedanau, salah satu pulau di Natuna, Kepulauan Riau, ia mengaku kerap jengkel dengan pandangan soal nelayan. Di Indonesia, nelayan dipersepsikan sebagai orang-orang berpendidikan rendah, miskin, dan berpenampilan buruk karena terjemur sepanjang hari selama melaut.
Menurut Rodhial, cara pandang salah itu dianut pula oleh lembaga yang mengurusi nelayan. Berdasarkan cara pandang yang salah itu, beragam bantuan diberikan kepada nelayan. ”Bantuan untuk nelayan tidak pernah jauh-jauh dari perahu, mesin perahu, atau jaring. Akhirnya, bantuan yang sudah diberikan sejak berpuluh tahun lalu dan menghabiskan triliunan rupiah itu hampir tidak berhasil,” tuturnya.
Padahal, nelayan punya peran penting dan punya kekayaan yang kerap tidak terbayang. Menu sehari-hari nelayan Natuna adalah ikan yang berharga ratusan ribu rupiah per porsi di sejumlah restoran dan hotel. Di bawah rumah-rumah panggung mereka, ada puluhan ikan yang harga per ekornya bisa mencapai Rp 1,7 juta, seperti ikan napoleon.
Namun, semua itu kerap tidak dipandang. Nelayan jarang dipandang sebagai manusia dan masyarakat utuh. ”Mereka juga butuh sekolah, rumah ibadah, hiburan. Semua seharusnya disediakan dekat laut, bukan di darat,” ujarnya.
Nelayan kerap dicap sebagai pemboros karena cepat menghabiskan semua hasil melaut. Namun, tidak pernah ada pertanyaan mengapa perbankan tidak menjangkau mereka. ”Seharusnya, perbankan menyediakan layanan jemput bola ke kampung-kampung nelayan. Bukannya menunggu di kantor masing-masing,” ujarnya.
Rodhial pernah mencoba melakukan itu. Ia menemui petugas salah satu bank BUMN dan membukakan rekening untuk sejumlah nelayan. Nelayan didatangi ke rumah atau tempat pelelangan ikan. ”Setiap selesai melaut, sebagian hasil penjualan diserahkan kepada orang yang mengumpulkan setoran tabungan,” katanya.
Namun, program itu terpaksa berhenti karena Rodhial tidak punya cukup dana membayar insentif petugas pengumpul. Ia merasa tidak pantas jika mengutip setoran nelayan untuk dijadikan insentif petugas pengumpul.
Ubah mentalitas
Ia juga menyediakan sebagian waktunya untuk mendatangi nelayan di Natuna dari rumah ke rumah. Terkadang sebagian dijumpainya di warung kopi. Mereka diajak bercakap-cakap soal pengaturan keuangan, pendidikan anak, hingga rumah tangga. ”Kadang ada ibu-ibu bercerita sudah lama tidak dikasih uang oleh suaminya,” katanya.
Pria yang pernah menjadi nakhoda berbagai jenis kapal itu membantu dengan sejumlah ide penyelesaian. Ia menolak memberikan uang atau barang. Apa yang dilakukannya selama lebih dari 10 tahun terakhir justru untuk menghapus mental mengharapkan bantuan materi. ”Saya ingin nelayan tahu mereka mampu menyelesaikan masalah. Kondisi geografis Natuna adalah gambaran bahwa hanya orang-orang hebat yang bisa bertahan di daerah yang jauh dari mana-mana ini,” tuturnya.
Ia mengajak nelayan dan keluarganya mengolah hasil tangkapan agar tidak dijual mentah. Mereka juga diajak menjadi pelaku pariwisata. Kenalannya semasa menjadi nakhoda lintas negara beberapa kali membawa kapal dan rombongan pelancong dari dalam dan luar negeri untuk pelesir ke Natuna. Bahkan, ia sendiri menjadi pemandu para pelancong itu sebagai contoh kepada nelayan lain.
Rodhial bisa begitu karena sudah meruntuhkan hambatan mental dalam dirinya. Sebagai nakhoda berbagai kapal, ia terbiasa memerintah. Dengan menjadi penyemangat nelayan dan pemandu pariwisata, ia justru harus melayani.
Sampai 2004, ia memang masih menjadi nakhoda kapal niaga. Selama sembilan tahun, ia bekerja di berbagai jenis kapal. ”Saat jadi kapten feri Batam-Singapura, saya beberapa kali bertemu orang yang bercerita kekayaan Natuna,” ujarnya.
Sebagai orang Natuna, ia heran ada pandangan seperti itu. Sebab, nelayan di kampungnya justru banyak yang miskin dan tidak berpendidikan. Karena semakin sering orang bercerita soal kekayaan maritim Natuna, Rodhial memutuskan pulang kampung ke Pulau Sedanau.
Di sana, ia belajar mengelola keramba sembari mempelajari kehidupan nelayan. Ia tidak menemukan kajian apa pun soal kehidupan nelayan. ”Kajian antropologi di Indonesia didominasi soal masyarakat daratan. Di negara yang mayoritas laut ini, sulit sekali menemukan kajian-kajian soal maritim,” katanya.
Pelajaran selama dua tahun mengelola keramba membuatnya tahu ada pendekatan salah soal nelayan. Selama cara pandang dan pendekatan itu digunakan, amat besar kemungkinan nasib nelayan tetap sama. ”Saya tidak bisa menunggu orang lain melakukan perubahan. Saya harus memulai dengan segala keterbatasan,” ujarnya.
Ia menempuh metode dialog dari rumah ke rumah untuk menyampaikan gagasan di Natuna. Sebagian warga menerima idenya. Bahkan, sebagian pemuda memutuskan bekerja dengan memanfaatkan hasil laut. ”Kekayaan Natuna ada di laut. Daratan Natuna yang tidak sampai 10 persen dari keseluruhan wilayahnya tidak pantas dijadikan tumpuan,” tuturnya.
Rodhial juga terus meyakinkan bahwa orang Natuna bukan orang biasa. Butuh keberanian besar dan kemampuan luar biasa untuk hidup di gugusan kepulauan yang berjarak ribuan mil dari berbagai pulau besar dan benua. ”Saya mencoba menularkan itu lewat pendidikan,” ujarnya.
Bersama beberapa orang lain, ia mendirikan lembaga pendidikan kemaritiman di Natuna. Kepala dinas hingga presiden pernah disurati dan ditemuinya untuk mewujudkan lembaga yang sampai sekarang belum terwujud itu. ”Ada birokrat pendidikan yang merasa pendidikan kemaritiman cukup di sekolah pelayaran atau program studi perikanan. Maritim jauh lebih luas dari itu,” ucapnya.
Pencarian dukungan untuk perguruan tinggi kemaritiman di Natuna dan kampanye cara pandang soal nelayan membuatnya bertemu banyak orang. Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dan presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono hingga penjual sayur menjadi mitra dialognya. Beragam perguruan tinggi dan lembaga pemerintahan mengundangnya untuk berbagai pandangan soal nelayan.
Ia tidak menampik bahwa ada yang memandang miring soal undangan demi undangan itu. Seperti halnya tidak dipercaya saat mengenalkan diri sebagai nelayan, sebagian orang juga tidak percaya ia diundang sebagai pembicara di berbagai tempat.
”Saya maklum, saya cuma orang biasa di Natuna. Tetapi, saya bangga sebagai nelayan dan ingin anak-anak saya bangga punya orangtua nelayan,” katanya.
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 23 September 2015

Oleh: Ari Akbar Devananta* Genderang Masyarakat Ekonomi ASEAN ( MEA ) 2015 sudah ditabuh pasca akhir januari lalu . Namun, ...

Oleh: Ari Akbar Devananta*



Genderang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 sudah ditabuh pasca akhir januari lalu. Namun, hingga kini kesiapan Indonesia dalam menghadapi era keterbukaan di ASEAN masih belum maksimal sebagai contoh dapat dilihat kesiapan sektor perikanan dalam menghadapi MEA 2015. Daya saing komoditi perikanan Indonesia dinilai masih relatif lemah menghadapi era MEA 2015. Pemerintah dan semua pemangku kepentingan di sektor ini harus bekerja keras meningkatkan daya saing karena kalau tidak, Indonesia berpotensi hanya akan menjadi penonton di negeri sendiri.
Adanya MEA 2015 ini akan menjadi sebuah peluang sekaligus tantangan bagi negara -negara ASEAN khususnya Indonesia. Peluang, karena produk-produk Indonesia akan mendapat pasar di kawasan ASEAN.Indonesia harus siap mengahadapi MEA 2015 karena dengan adanya MEA 2015 ini, secara tidak langsung  masyarakat Indonesia dituntut untuk lebih kreatif dan mengeluarkan kebijakan-kebijakan strategis yang memberi banyak keuntungan bagi pengembangan usaha dalam negeri sehingga mampu bersaing dengan produk negara Anggota ASEAN lainnya. Integrasi ekonomi di ASEAN ini berpeluang menjadi batu loncatan strategis bagi Indonesia untuk memiliki posisi tawar yang kuat dalam konstelasi politik global.
Daya Saing
Indonesia memiliki peran strategis dan potensi sebagai negara penghasil produk perikanan berkualitas dan sekaligus menjadi pusat pasar produk olahan perikanan tidak hanya tingkat ASEAN tetapi dunia.Oleh karena itu, Pekerjaan Rumah (PR) besar Indonesia dalam menghadapi MEA adalah upaya percepatan penguatan mutu produk khususnya produk perikanan sehingga bisa bersaing dengan memeliki posisi tawar kuat di ketatnya persaingan dagang ASEAN bahkan dunia. Kunci untuk bisa menghimpun kesuksesan dan memenangkan pasar di MEA 2015adalah daya saing. Daya saing ini meliputi daya saing dari segi sumber daya manusia dan segi produk. Salah satu kunci yang berkaitan dengan potensi dari UMKM olahan perikanan Indonesia di MEA 2015 adalah daya saing produk yang erat kaitannya dengan standarisasi produk. Pencanangan SNI produk perikanan oleh para pelaku UMKM ini menjadi penting karena standarisasi ini dibutuhkan dalam persaingan tidak hanya tingkat ASEAN melainkan global.
UMKM memberikan kontribusi yang besar terhadap perekonomian riil Indonesia. UMKM berperan dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Data dari BPS 2012 menunjukkan bahwa kontribusi UMKM terhadap PDB Indonesia tahun 2011 sebesar 56,6% dan menyerap 97% dari tenaga kerja nasional. UMKM juga berkontribusi dalam penambahan devisa negara dalam bentuk penerimaan ekspor sebesar 27.700 milyar dan menciptakan peranan 4,86% terhadap total eksporIndonesia.
Peran SNI
SNI memiliki manfaat yang besar sebagai upaya penguatan dan perlindungan produk khususnya produk UMKM Indonesia. Mengetahui besarnya manfaat dari SNI maka upaya penerapan SNI di bidang perikanan pun mulai digarap serius, hal ini dibuktikan dengan kinerjaDirektorat Jenderal Pengolahan & Pemasaran Hasil Perikanan (DP2HP) melalui Panitia Teknis (PT) 65-05 produk perikanan sampai saat ini telah berhasil menyusun 160 Standar Nasional Indonesia (SNI) yang terdiri dari SNI produk perikanan dan SNI metode pengujian. Pada tahun 2013 PT 65-05 telah menyelesaikan Rancangan SNI sebanyak 8 Rancangan SNI yang sudah diserahkan ke BSN untuk dijadikan SNI termasuk produk kaleng dari UKM dan lainnya dengan standar mutu.
Upaya percepatan harmonisasi SNI produk perikanan dengan standar internasional tengah dilakukan oleh Direktorat Pengolahan Hasil bekerjasama dengan project TSP 2 yang melakukan kajian harmonisasi SNI produk perikanan dengan standar regional dan internasional seperti standar dari negara-negara ASEAN, standar ISO, Codex, standar dari Uni Eropa dan standar internasional lainnya. Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah punya satu lembaga sertifikasi produk (LS-pro) dan sedikitnya 25 laboratorium perikanan yang sudah terakreditasi.
Pada tahun 2014, standar produk perikanan yang dimiliki sebanyak 160 Standar Nasional Indonesia (SNI) produk perikanan sudah harmonis dengan standar Codex. Standar Codex digunakan sebagai referensi bagi negara anggota Codex dalam mengembangkan standar atau regulasi di bidang pangan dalam rangka melakukan harmonisasi secara internasional. Artinya, sebanyak 160 produk perikanan berlabel SNI telah diakui dunia internasional dan siap menyerbu pasar dunia. KKP sendiri menargetkan setiap tahunnya akan ada 10 produk perikanan baru yang memiliki SNI. SNI menjadi jurus jitu untuk membendung dan mengatasi serbuan produk impor. Serta bagian dari cara untuk meningkatkan kualitas produk yang diproduksi terutama oleh para pelaku UMKM.
Masih rendahnya konribusi UMKM terhadap devisa negara perlu diperkuat dengan standarisasi mutu produk yang diberlakukan kepada seluruh pelaku UMKM di Indonesia sehingga harapannya dengan dimilikinya tingkat standar mutu yang sama dengan negara – negara di Eropa dan Asia maka produk lokal unggulan UMKM Indonesia mampu bersaing secara sehat di pasar bebas, dimulai dengan terbukanya pasar bebas ASEAN di MEA 2015.
Berkenaan dengan standar mutu produk ini tidak bisa tidak hanya dilimpahkan pada satu kementrian terkait saja, dalam hal ini seperti Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementrian Pertanian dan sejenisnya, akan tetapi perlu adanya sinergitas yang apik dengan stakeholder terkait seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Badan Standarisasi Nasional (BSN), Kementrian Perindustrian dan Perdagangan dan Kementrian Koperasi sehingga daya saing dan posisi tawar dari UMKM Indonesia mulai diperhitungkan di tingkat global.
Dukungan Pemerintah
Di sisi lain, dukungan kebijakan pemerintah untuk inovasi produk olahan perikanan UMKM memang sangat dinantikan. Pemeringkatan UMKM yang dijalankan pemerintah diharapkan bisa mempermudah akses dana pengembangan usaha dan mekanisme reward bagi UMKM yang berprestasi yang ditetapkan pemerintah sehingga mampu menstimulus produktivitas dan inovasi dari para pelaku UMKM untuk senantiasa bergerak maju.
*Mahasiswa Jurusan Perikanan UGM
Pegiat Forum Kajian Perikanan
Pengurus Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia Klaster Mahasiswa.

Dimuat di rubrik Almamater, Majalah Trobos Edisi 33, 15 Februari-14 Maret 2015

Judul : Menjala Kesejahteraan: Bunga Rampai Pemikiran Perikanan dan Kelautan Penulis : Andhika Rakhmanda Muhammad Ali Yafi Arsyil W...


















Judul :
Menjala Kesejahteraan: Bunga Rampai Pemikiran Perikanan dan Kelautan

Penulis :
  1. Andhika Rakhmanda
  2. Muhammad Ali Yafi
  3. Arsyil Wisuda
  4. Aditiya Yanuar
  5. Feri Setiawan
  6. Irfan Teguh Prima
  7. Moh. Ali Fatha Seknun
  8. Silvi Fitria
  9. Himawan Akhmandin S.
  10. Yunita Dwi Astuti
  11. Ali Ahsan
  12. Topandi
  13. Luqman Hakim
  14. Mohd. Yunus
  15. Dyah Savitri Pritadrajati
  16. Mohammad Takdir Ilahi
Sambutan dan Pengantar :
  1. Prof. Dr. Ir. Rustadi, M.Sc.
  2. Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS
  3. Prof. Dr. Ir. Kamiso H. N., M. Sc.

Terbit : Desember, 2014
ISBN : 978-602-225-959-6
Halaman : 278

Harga : Rp 53.700,00

Sinopsis :

Buku yang berisi kumpulan tulisan hasil pemikiran mahasiswa ini berupaya untuk mengungkap beberapa persoalan penting yang dihadapi oleh masyarakat perikanan dan kelautan, sembari memberikan gagasan mengenai pembangunan dan pengelolaannya. Masalah-masalah sosial-ekonomi dan lingkungan yang dihadapi pelaku perikanan merupakan sebuah ironi besar di tengah-tengah kekayaan sumber daya kelautan yang melimpah.

Kehadiran buku ini merupakan kebutuhan konkret untuk mengisi kelangkaan publikasi tentang masyarakat nelayan dan masalah perikanan-kelautan secara umum, serta menyemarakkan perdebatan wacana tentang arah pembangunan kemaritiman di masa depan. Sebuah buku yang layak dimiliki dan dibaca oleh siapa pun: para penentu kebijakan pembangunan, akademisi, praktisi, masyarakat sipil, serta kalangan mahasiswa yang tertarik dengan isu-isu pembangunan perikanan, kelautan, dan kemaritiman.

***

“... Buku ini tidak saja menyajikan berbagai informasi dan data dari berbagai daerah tentang berbagai masalah tetapi juga membawa pembaca untuk berpikir kritis dan membangkitkan kesadaran bahwa pembangunan perikanan dan kelautan tidak saja urgen bagi bangsa ini tetapi juga perlu cepat.”
(Prof. Dr. Ir. Kamiso H. N., M. Sc. ~ Guru Besar Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UGM)

“Buku Menjala Kesejahteraan dapat memberikan kontribusi besar dan penting dalam menjadikan sektor kelautan perikanan menjadi leading sector dalam arsitektur perkonomian Indonesia.”
(Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, M.S. ~ Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Kabinet Gotong Royong dan Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB)

Pre Order via
sms ke 081904221928 (Leutika) atau 085777356711 (Forum Kajian Perikanan)
konfirmasi nama, jumlah pesanan dan alamat pengiriman
contoh: Pesan Buku Menjala Kesejahteraan / Susi Pudjiastuti / 10 eks / Kantor Kementrian Kelautan dan Perikanan Jl. Medan Merdeka Timur No. 16 Jakarta.

Download contoh buku: Download

A nimo masyarakat terhadap dunia perikanan, akhir-akhir ini terus meningkat. Hal ini disambut gembira oleh sebagian orang, salah satunya ad...

Animo masyarakat terhadap dunia perikanan, akhir-akhir ini terus meningkat. Hal ini disambut gembira oleh sebagian orang, salah satunya adalah masyarakat Desa Burikan yang akhirnya memutuskan untuk membentuk kelompok pembudidayaan ikan yang bernama “Mina Kepis”.
Sejarah Singkat
Berdirinya Kelompok Pembudidaya Ikan (KPI) Mina Kepis di Burikan, Sumberadi, Mlati, Sleman ini diawali dengan didirikannya organisasi Taruna Tani Burikan pada tahun 1983. Organisasi ini merupakan organisasi yang menghimpun dan mempunyai beberapa seksi kegiatan wiraswasta yang bergerak dalam bidang pertanian, perkebunan, dan perikanan. Dengan berjalannya waktu, bidang perikanan merupakan bidang yang paling banyak diminati. Kegiatan serta hasil usaha yang meliputi bidang ini selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini didukung dengan letak Desa Burikan yang berhimpitan dengan Kali Lempong sehingga memudahkan untuk pengairan. Atas dasar inilah Taruna Tani Burikan berganti nama dan terlahir kembali dalam Kelompok Pembudidaya Ikan Mina Kepis.

KPI Mina Kepis
Keorganisasian
Struktur kepengurusan KPI Mina Kepis terdiri dari pembina, pengawas, ketua, sekretaris, bendahara, seksi-seksi, dan beberapa anggota. Organisasi ini diketuai oleh Bapak Juwito, yang beranggotakan sejumlah 32 orang. Rapat pengurus diadakan jika perlu dan rapat pleno diadakan setiap bulan sekali tiap malam senin di minggu pertama.
KPI mina Kepis juga memiliki sebuah koperasi yang setiap anggotanya wajib menjadi anggota dari koperasi tersebut. Usaha koperasi ini meliputi penjualan plastik serta oksigen untuk pengepakan ikan. Uang yang harus disetorkan oleh anggota baru yaitu Rp 60.000, sedangkan SHU diberikan kepada anggota setiap akhir tahun. Selain mendapatkan SHU dari koperasi, para anggota juga mendapat 25% dari hasil potongan 1% di tambah dari hasil tangkap di bak kelompok.
Komoditas Ikan Budidaya
KPI Mina Kepis memiliki 2 macam jenis ikan yang dibudidayakan, yaitu jenis ikan hias dan ikan konsumsi. Jenis ikan hias yang dibudidayakan adalah koi, komet, tiger cat fish (lele Amerika), dan aligator, sedangkan jenis ikan konsumsi yang dibudidayakan adalah gurameh, nila, bawal, lele, dan patin. Jens ikan konsumsi yang mendatangkan keuntungan paling besar adalah ikan nila dan untuk jenis ikan hias adalah ikan koi.
Keuntungan dari budidaya nila adalah kemampuan untuk bereproduksi yang cukup tinggi. Antara 2-3 bulan dari bibit, ikan nila sudah dewasa dan dapat menghasilkan telur setiap bulan sebanyak satu kali. Sifat ikan nila yang cepat menghasilkan anak ikan, menyebabkan kelebihan populasi ikan nila dalam kolam, yang berdampak pada pertumbuhan ikan yang lambat. Hal ini dapat dilihat pada saat panen ikan nila, ukuran nila terbagi dalam berbagai ukuran, mulai dari ikan-ikan kecil, sedang, dan besar. Ikan jantan akan terlihat lebih besar dari ikan betina dikarenakan sifat alamiah ikan betina untuk menghasilkan anak-anak ikan. Pada saat bertelur induk ikan betina tidak makan sekurang-kurangnya 10 hari untuk menjaga larva yang berada dalam mulutnya. Koi (Cyprinus capriyo) termasuk ikan hias eksotis yang semakin banyak penggemarnya. Selain di pelihara sebagai hobi, koi juga bisa dijadikan lahan bisnis yang menjanjikan. Pesona warna dan lekukannya yang indah, juga keelokan yang dipertontonkan tatkala menyembul dan melompat ke atas air membuat harganya melambung tinggi.
Kelompok Pembudidaya Ikan Mina Kepis pernah menjadi juara harapan tingkat Nasional pada tahun 2005 untuk inbud nila.  Untuk ikan koi yang sudah pernah memenangkan berbagai macam lomba harga yang ditawarkan dapat mencapai 2 milyar.
Produksi
KPI Mina Kepis sampai saat ini baru dikembangkan pembudidayaan dengan dua cara yaitu cara tradisional dan sebagian besar menggunakan cara semi intensif. Perbedaan umum kedua cara disajikan pada Tabel 1 yang menyajikan informasi perbedaan dilihat dari spesifikasi kolam, pemberian pakan, dan sistem pemeliharaan.
Tabel 1: Perbedaan budidaya ikan secara tradisional dan semi intensif pada KPI Mina Kepis
NoKriteriaTradisionalSemi Intensif
1Spesifikasi KolamBelum memenuhi standarDisesuaikan dengan spesifikasi kolam yang ideal
2Pemberian PakanMaksimal 3 kali sehari dengan takaran sesuai dengan perkiraanSebanyak 4-5 kali sehari dg takaran sesuai kebutuhan (sudah termasuk pakan tambahan dan vitamin)
3Sistem PemeliharaanPolikulturMonokultur
Air dikelola dan dipelihara kejernihannya berdasarkan penyesuaian terhadap jenis ikan, dibersihkan dari kotoran untuk meminimalisir dan mencegah hama penyakit, serta di jaga kisaran pH air antara 7-7,5 dengan suhu ± 27C.
Pakan yang dipakai terdiri dari dua jenis, yaitu pakan alami berupa  fitoplankton dan pakan buatan berupa pelet. Fitoplankton ditumbuhkan melalui pemupukan dengan menggunakan pupuk organik (pupuk kandang) dan anorganik (Urea, TSP). Pemupukan dilakukan secara periodik sesuai dengan kepadatan fitoplanktonyang diinginkan. Pakan buatan yang digunakan harus mengandung kadar protein yang cukup dan bermutu bagi pertumbuhan ikan, selain itu harus mengandung cukup vitamin dan mineral guna menambah daya tahan tubuh dan menghindari penyakit malnutrisi. Pakan juga harus memenuhi persyaratan fisik yang diperlukan agar dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh ikan, yaitu jumlah pakan disesuaikan dengan ukuran dan umur ikan yang di pelihara.
Pemasaran
Sistem pemasaran menggunakan sistem satu pintu, yaitu jika ada anggota yang memanen ikan maka ikan di tampung terlebih dahulu di dalam kelambu atau hava yang telah disediakan di pasar. Anggota tidak boleh memasarkan dan melayani pembeli karena sistem penjualan sudah ditangani olrh petugas khusus. Total hasil penjualan untuk tiap anggota di potong sebesar 7% dengan perincian 1 % untuk pengembangan cara pasar; 2 % untuk oksigen plastik; dan 4 % untuk petugas penjualan.
Pasar ikan Mina Kepis buka setiap hari pukul 07.00 sampai 17.00 WIB. Omset penjualan setiap hari dapat mencapai 5 hingga 6 juta rupiah, namun pada hari minggu dapat mencapai hingga 8 juta rupiah. Calon pembeli diberi kebebasan untuk memilih ikan yang akan dibeli dan akan dilayani dengan ramah serta profesional.
Setiap anggota KPI Mina Kepis wajib untuk menjadi anggota koperasi. Keuangan kelompok di pegang dan dikelola oleh bendahara. Ada tiga jenis buku yang dipergunakan yaitu buku potongan 1 %, buku koperasi, dan buku kas induk. Sumber pemasukan berasal dari sisa sewa kolam ke desa, iuran wajib perbulan (Rp 1.000  untuk setiap anggota), dan sumbangan apabila ada kunjungan dari lembaga atau organisasi lain.
Setiap anggota diberi fasilitas tempat penampung ikan di pasar, sesuai dengan mobilitasnya masing-masing. Bagi yang mempunyai mobilitas tinggi keuntungan kotor (brutto) yang di peroleh per hari dapat mencapai minimal lima ratus ribu rupiah. Sebanyak 80% dari 32 anggota menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan, sedangkan sisanya yaitu 20% hanya sebagai usaha sampingan.
Kelompok Pembudidaya Ikan Mina Kepis
Alamat : Burikan, Sumberadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta 55288