Oleh: Irene Sarwindaningrum Nelayan pesisir Belitung dilanda keresahan. Kabar rencana beroperasinya tambang timah laut dengan kapal isapnya...

Oleh: Irene Sarwindaningrum
Nelayan pesisir Belitung dilanda keresahan. Kabar rencana beroperasinya tambang timah laut dengan kapal isapnya ibarat ancaman badai yang terus membayangi laut, ladang penghidupan mereka. Suara penolakan terus mereka serukan.
*** 
Pekan lalu cuaca di Pantai Tanjung Kelayang cerah. Ombak mengalun tenang dan langit pun biru terang. Hari itu amat baik untuk melaut.
Namun, hari itu nelayan dari Desa Keciput, Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung, Kepulauan Bangka Belitung, memilih tidak melaut. Sekitar 30 nelayan justru berkumpul di warung kopi di pinggir Tanjung Kelayang, tempat mereka biasanya berangkat melaut. Perahu dibiarkan tertambat diam di dermaga.
Mereka rela kehilangan pendapatan sehari lagi. Sudah hampir sepekan nelayan itu tak melaut untuk mempersiapkan unjuk rasa menolak kapal isap.
Saat ini Pulau Belitung belum tersentuh kapal isap. Namun, bayangannya begitu dekat. Desa Keciput dikabarkan termasuk wilayah eksplorasi timah yang dilakukan PT Bumi Hero Perkasa. Di perairan Kabupaten Belitung Timur, dua kapal eksplorasi pun dilihat warga.
Di warung kopi itu, suara radio Belitong FM didengar dengan raut wajah tegang. Radio yang dipancarkan dari ibu kota Belitung, Tanjung Pandan, itu tengah menyiarkan pertemuan di ruang kerja Bupati Belitung Darmansyah Husein.
Tidak berapa lama kemudian, warung kopi dari bambu itu bergemuruh. Nelayan bergembira karena Darmansyah setuju menandatangani surat perjanjian untuk menolak kapal isap di pesisir Belitung dan menghentikan proses analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) bagi lahan PT Bumi Hero Perkasa seluas 1.910 hektar di pesisir Belitung. Kawasan itu, menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kepulauan Bangka Belitung, mencakup 35 titik nelayan mencari ikan.
Haeruddin (28), nelayan teripang dari Desa Keciput, menuturkan, mereka siap bergerak ke kantor Bupati Belitung jika Darmansyah menolak menandatangani surat perjanjian.
Pertemuan Jumat itu merupakan lanjutan unjuk rasa ribuan orang yang menolak kapal isap di Tanjung Pandan, Belitung, beberapa hari sebelumnya. Berbagai elemen masyarakat bergabung dalam aksi itu selain nelayan. Berbagai kalangan merasa perlu menolak kapal isap di pesisir Belitung dengan satu alasan, melindungi kelestarian dan keindahan pantai mereka.
Sarpan (38), tokoh nelayan di Keciput, mengatakan, penolakan terbuka nelayan itu dimulai sekitar dua tahun lalu. Mereka berunjuk rasa menolak pembuatan Dolphin Island yang menggunakan kapal isap. Penolakan itu salah satunya didorong kabar nelayan Bangka kian sulit mencari ikan sejak kapal isap beroperasi. Kapal isap menggerus dasar pantai dan mengeluarkan limbah tailing. Laut sekitarnya menjadi keruh, terumbu karang rusak, dan ikan sulit diperoleh.
“Tambang timah laut banyak uangnya, tetapi hanya menguntungkan pemilik kapal. Kami kerja di kapal itu tak bisa karena tenaga kerja yang dibutuhkan maksimal 20 orang di tiap kapal isap,” kata Sarpan.
Ekonomi dan cara hidup
Bagi nelayan, kerusakan laut berarti rusaknya sumber ekonomi dan cara hidup yang mereka kukuhi dari generasi ke generasi. Sejak lama, perikanan adalah sumber ekonomi di pesisir Pulau Belitung. Tahun 2008 tercatat ada sekitar 13.500 nelayan di pulau yang dibagi menjadi wilayah Kabupaten Belitung dan Belitung Timur itu.
Warga Desa Keciput, misalnya, merasa sejahtera dari laut. Nelayan teripang berpenghasilan minimal Rp 3 juta sebulan, bergantung pada musim. Dua tahun terakhir, warga Keciput mendapatkan penghasilan tambahan dari menyewakan perahu wisata dan penginapan, seiring dengan menggeliatnya pariwisata sejak novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata meledak.
Cara kerja mereka pun unik. Nelayan menyelam hingga kedalaman 30 meter di laut hanya berbekal kompresor. Teknik ini mereka pelajari dari ayah dan kakek mereka yang sejak lama menyelami laut Belitung tanpa alat selam.
Generasi terdahulu nelayan Keciput bisa menyelam hingga kedalaman 15 meter di laut selama beberapa menit dengan menahan napas saja.
Di Belitung Timur, penolakan terhadap kapal isap juga disuarakan warga Desa Air Kelik, Kecamatan Darma. Tak lama setelah unjuk rasa di Kabupaten Belitung, warga Desa Air Kelik menyerahkan surat berisi tanda tangan warga yang menolak kapal isap kepada Badan Lingkungan Hidup setempat.
Tahun 2009, warga Desa Burong Mandi, Belitung Timur, juga mengusir kapal eksplorasi yang beroperasi di dekat pantai. Warga marah karena laut tempat mereka biasa mencari ikan keruh saat kapal eksplorasi itu berhenti di sana. Ikan pun sulit diperoleh. ”Kami naiki kapal itu dan menemukan tumpukan timah,” kata Koko Haryanto, Kepala Desa Burong Mandi.
Keresahan juga terjadi di sektor wisata. Riviani (42) dari Lembaga Layanan Pelaku Pariwisata Belitung mengatakan, sekitar 86.000 jiwa terancam kehilangan pekerjaan jika keindahan laut Belitung rusak. Kini jumlah wisatawan yang datang ke Belitung sekitar 3.000 orang sebulan, dengan uang beredar minimal Rp 3 miliar sebulan.
Kelompok Peduli Lingkungan Belitung (KPLB) memilih strategi membangun wisata ekologi di beberapa titik terluar Pulau Belitung, yaitu di Pulau Kepayang sebagai wisata ekologi terumbu karang dan penyu, Batu Mentas untuk melestarikan tarsius belitung, serta Selat Nasik sebagai wisata ekologi hutan bakau. Koordinator KPLB Budi Setiawan mengatakan, selain menarik wisatawan, wisata ekologi bertujuan membentuk sabuk pengaman guna menutup peluang masuknya kapal isap.
”Harapannya, rencana kapal isap dibatalkan jika di situ terdapat kegiatan wisata dan pelestarian,” ujarnya.
Sebaliknya, Bupati Belitung, seusai menandatangani perjanjian dengan warga, menyatakan, beberapa izin eksplorasi tambang timah laut yang telah disetujui tak mungkin dihentikan. ”Eksplorasi penting untuk pemetaan sumber daya. Ini berguna jika Indonesia menghadapi masa sulit. Jangan sampai kita mati di lumbung,” katanya.

Darmansyah menyebut kapal isap ibarat hantu yang membuat warga takut, padahal wujudnya belum terlihat. Tampaknya ancaman kapal isap di laut Belitung belum sepenuhnya berlalu. Kelegaan itu hanya sesaat.
Ilustrasi
Dimuat di Kompas, 5 November 2012

K eberadaan hutan mangrove sebagai bagian dari ekosistem pesisir memiliki fungsi ganda dalam kehidupan masyarakat, yaitu fungsi sosial ekono...

Keberadaan hutan mangrove sebagai bagian dari ekosistem pesisir memiliki fungsi ganda dalam kehidupan masyarakat, yaitu fungsi sosial ekonomi dan lingkungan hidup. Secara sosial ekonomi, mangrove memiliki nilai ekonomi baik dari kayu, buah maupun berbagai biota didalamnya. Sementara itu, dari sisi lingkungan hidup, mangrove memiliki peran sebagai benteng alami daratan dari terjangan abrasi pantai dan flora faunanya memiliki nilai keanekaragaman hayati yang sangat tinggi.


source image: radiokotabatik

Ekosistem mangrove di pesisir pantai Baros, berkurang luasannya dikarenakan pada Agustus 2011 lalu ratusan pohon bakau atau mangrove setempat hanyut terseret gelombang pantai sehingga tingkat abrasi pantai yang terjadi di pesisirnya semakin tinggi.

Sungai Opak yang bermuara di Dusun Baros, Desa Titohargo, Kecamatan Kretek, Bantul ini dikenal sangat rentan terhadap abrasi akibat gelombang pantai parangtritis dan sekitarnya sangat besar. Untuk itulah, upaya rehabilitasi mangrove menjadi salah satu alternatif solusi untuk mencegah abrasi bertambah dan menanggulangi kerawanan terhadap bencana laiinnya (banjir, tsunami).

Dept. Jaringan Eksternal Keluarga Mahasiswa Perikanan (KMIP) Universitas Gadjah Mada mengundang rekan-rekan yang peduli dan ingin beraksi untuk lingkungan yang lestari dalam..



AKSI TANAM MANGROVE

Dusun Baros, Desa Titohargo, Kecamatan Kretek, Bantul

21-22 Desember 2012

Cp:
Sandra Agustina (08561909500)
Afri Herlambang (081802733626)

Mari merapat!!!



Oleh: Andhika Rakhmanda B icara tentang Perikanan Indonesia, kita akan dihadapkan dengan berbagai macam potensi yang ada. Lautnya luas, ...

Oleh: Andhika Rakhmanda
Bicara tentang Perikanan Indonesia, kita akan dihadapkan dengan berbagai macam potensi yang ada. Lautnya luas, garis pantai yang panjang, sumberdaya alam hayati melimpah dan secara kultural masyarakat kita berasal dari nenek moyang pelaut. Namun bukan hanya potensi, kita juga dihadapkan pada realitas yang ironi.
Sumber daya perikanan yang potensial sebagai alternatif pangan dan mampu menggenjot  penerimaan ekonomi yang tinggi ternyata tidak tercermin dari kesejahteraan para pelaku perikanan itu sendiri. Nelayan  Indonesia masih tergolong kelompok masyarakat miskin dengan pendapatan per kapita per bulan sekitar 7-10 dollar AS[1].
Indikator ekonomi keragaan perikanan juga belum menunjukkan angka yang menggembirakan. Kontribusi dari sektor  perikanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih berkisar dua persen, sedangkan hasil audit BPK menunjukkan bahwa perikanan hanya memberikan kontribusi minim terhadap penerimaan negara[2]. Degradasi lingkungan yang terjadi juga memprihatinkan. Kondisi yang diametrikal ini tentu saja jika dibiarkan akan  memperburuk kinerja perikanan itu sendiri. Ada beberapa hal yang perlu dipikirkan dengan jernih mengenai kebijakan perikanan selama ini.
Kebijakan perikanan pemerintah sejak 1960-an cenderung lebih diarahkan pada penyeragaman sistem. Sebagai contoh, revolusi biru yang diterapkan pada pertambakan udang di Indonesia, mengikuti pola revolusi hijau di sektor padi. Hanya satu jenis udang saja yang ditebar di dalam tambak disertai input tinggi berupa pestisida, antibiotik dan pakan buatan. Pada pertengahan 1990an tambak udang menghadapi epidemi virus udang yang berlangsung empat tahun, menyebabkan kematian udang hampir 100% terutama di Jawa, Sulawesi dan Sumatera. Penggunaan antibiotik tetracycline secara berlebihan mendorong perkembangan galur bakteri vibrio yang resisten[3].
Ada dua hal penting berkaitan dengan intensifikasi dan monokultur budidaya ini. Pertama, penggunaan pestisida kimia secara terus menerus dalam jangka panjang telah menimbulkan resistensi dan resurjensi hama. Kedua, penggunaan satu varietas saja dalam satu sektor perikanan membuat sistem perikanan rentan.
Pada sektor perikanan tangkap, baru-baru ini Mentri Kelautan dan Perikanan, Sharif Cicip mencanangkan modernisasi nelayan sebagai salah satu programnya. Ada rencana 1.000 kapal untuk nelayan hingga 2014. Kenyataannya, banyak masalah yang muncul di lapangan. Nelayan tidak bisa beroperasi karena ketidaksiapan modal sehingga niat baik pemerintah untuk meningkatkan kemampuan nelayan menangkap ikan belum terwujud[4].
Struktur armada penangkapan ikan kita memang masih didominasi oleh armada tradisonal. Karena itu untuk memajukan perikanan harus ada modernisasi armada. Logika ini tidak salah. Yang jadi persoalan adalah kuatnya cara berpikir bahwa modernisasi armada hanyalah perubahan teknologi dan bukan perubahan moda produksi baru. Perbedaan kultur di tiap daerah dipukul rata oleh kebijakan yang seragam. Akibatnya muncul ketegangan-ketegangan sosial di masyarakat pesisir diikuti dengan gejala-gejala lain berkaitan dengan krisis budaya.
Pemerintah dan lembaga penelitian mengabaikan kajian, pengembangan dan perlindungan sistem perikanan lokal. Kalaupun ada upaya kajian, biasanya tidak tersedia dana dan dukungan politik yang memadai untuk menerapkan hasil kajian. Seluruh perangkat kebijakan dan insentif ekonomi di bidang perikanan diarahkan pada perikanan intensif dan monokultur.
Kapal Inka Mina
Memilih paradigma
Uraian diatas menunjukkan bahwa stagnansi perikanan Indonesia ini bukan persoalan kelangkaan sumberdaya atau teknologi, melainkan sebuah pilihan politik baik di tingkat lokal maupun nasional. Pemerintah bisa mengambil keputusan politik untuk memastikan semua warga tidak lapar dengan mengubah paradigma ekonomi, budaya, dan kebijakan nasional yang memihak kepada produsen pangan. Paradigma monokultur perlu diubah menjadi paradigma keberagaman dan pengembangan agroekosistem berdasarkan keunggulan lokal.
Salah urus pembangunan perikanan dapat diluruskan melalui tiga kebijakan berikut ini: Pertama, kebijakan perikanan harus menjadi bagian dari pembangunan pedesaan yang ramah petani dan nelayan, ramah lingkungan dan adil dengan sasaran agar penduduk desa tidak harus keluar desa atau keluar kabupaten untuk mendapatkan pendidikan hingga SMA, atau untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan pelayanan informasi pasar. Untuk itu, pembangunan infrastruktur (telepon, internet, listrik, jalan, teknologi pengolahan yang tepat guna) yang terkait perlu diintensifkan di pedesaan. Swasembada desa harus dijadikan tujuan utama.
Kedua, kebijakan perikanan tidak boleh bersifat seragam melainkan harus didasarkan pada keunggulan komparatif lokal. Target yang dibuat di tingkat nasional tidak harus dibebankan kepada tingkat lokal, terutama bila target tersebut dicapai melalui teknologi yang merusak sumberdaya alam dan sistem lokal.
Ketiga, kebijakan perikanan harus dirumuskan melalui konsultasi partisipatif dengan akar rumput. Hal ini membutuhkan perubahan pandangan dimana para pelaku perikanan dianggap sebagai produsen pangan yang harus dihargai. Hak sosial, ekonomi, kultural mereka harus dilindungi dan dijadikan landasan pembuatan kebijakan. Pemerintah sering memberikan insentif ekonomi berupa keringanan pajak, subsidi atau dukungan politik bagi perusahaan dan investasi di bidang industri. Hal yang sama perlu dilakukan bagi pelaku perikanan, yang jasanya justru lebih besar yaitu memberi pangan kepada seluruh rakyat Indonesia.
Perlu diingat bahwa pihak yang menguasai pangan akan menguasai dunia. Kemandirian dan kedaulatan atas pangan akan membebaskan suatu negara dari ketergantungan pada negara lain dan perusahaan multinasional. Kedaulatan atas pangan merupakan kedaulatan politik sebuah negara dan bagi negara yang kaya akan sumberdaya seperti Indonesia, tidak ada warga negara yang lapar adalah sebuah pilihan politik!
*) Mahasiswa Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada.
Tulisan ini juga dimuat di Harian Solopos, 12 Februari 2013



[1] Badan Pusat Statistik Indonesia. 2012. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia. Februari. Katalog BPS: 3101015. Jakarta
[2] Kompas. 4 September, 2012. BPK Audit Kinerja Sektor Perikanan.
[3] Jhamtani, Hira (ed.) 2003. Revolusi Biru: Menebar Udang Menuai Bencana. Jakarta: Konphalindo.
[4] Lihat Satria, Arif. 25 Mei, 2011. Modernisasi Nelayan?. Opini Harian Kompas dan Tempo. 18 Juni, 2012. Kapal Tak Cocok, Daerah Tolak Bantuan.

Oleh: Mohammad Ali Fatha Seknun* K atanya Indonesia punya wilayah laut yang luas, penduduk mayoritas nelayan dan uniknya ada instan...


Oleh: Mohammad Ali Fatha Seknun*

Katanya Indonesia punya wilayah laut yang luas, penduduk mayoritas nelayan dan uniknya ada instansi yang bertanggung jawab mengelola perikanan Indonesia. Tapi hingga kini, jika berpikir tentang nelayan yang tergambar hanyalah kemiskinan. Indonesia yang memiliki beribu jenis ikan. Anehnya, menurut data pusat kajian kelautan dan peradaban maritime (PK2PM) sampai tahun 2011 lalu ada beberapa spesies ikan seperti sardine, mackerel, dan lain-lain menduduki posisi impor tertinggi. Tidak hanya sumber daya yang dikandung oleh laut, bahkan lautnyapun tidak dapat diolah dengan optimal. Konon katanya garam yang dikonsumsi masyarakat Indonesia tidak seutuhnya produk Indonesia.
Menurut sumber dari Detik Finance September lalu, pada tahun terakhir, Indonesia berhasil mengimpor garam konsumsi hingga 495.000 ton. Belum lama mendengar PLH Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementrian Perdagangan Gunaryo mengungkapkan (14/09/12), “Tahun 2012 dilakukan perhitungan (kebutuhan), garam untuk konsumsi sebesar 1,4 juta ton sedangkan garam industri 1,8 juta ton. Khusus tahun ini kita telah hitung, melalui usulan dari Dirjen Manufaktur Kemenperin, setelah dihitung kita masih butuh 533.000 ton garam konsumsi dan itu dengan impor.” Ah, sumberdaya perikanan yang ada hanyalah pajangan yang indah.
Belum selesai pada tahapan “prestasi” (hal yang di gembar-gemborkan pers), kebijakan perikanan Indonesia layaknya puzzle. Kadang dibongkar dan kadang dipasang. Berganti menteri, berganti kebijakan. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan tak dapat dianalisis dengan jelas karena belum selesai dijalankan, muncul kebijakan baru yang menurut pemerintah “baru” lebih baik dan lebih tepat diterapkan. Apa sektor perikanan Indonesia hanya sampai pada taraf percobaan?
Akhirnya penduduk Indonesia kurang merasakan manfaat perikanan dalam hidupnya. Sumber daya perikanan dirasa tidak penting dan tidak dihiraukan keberadaannya. Menurut catatan harian Kompas baru-baru ini (3/9/12), lahan mangrove di Jakarta mengalami penyusutan besar-besaran yakni dari 1134. ha (hectare) pada tahun 1960 dan sekarang hanya tinggal 45 ha yang digunakan untuk lapangan golf, kawasan perumahan dan fasilitas sekunder lainnya. Ditambah lagi dengan pencurian ikan yang semakin meningkat setiap tahunnya. Ada apa dengan perikanan Indonesia, apakah perikanan Indonesia sedang berada di ujung jalan?


* Penulis merupakan anak timur yang besar di pesisir, penggiat Forum Kajian Perikanan UGM

Oleh: Suadi* Orientasi pembangunan yang berbasis perikanan dan kelautan di Selatan Jawa akhir-akhir ini semakin gencar dikumandangk...

Oleh: Suadi*
Orientasi pembangunan yang berbasis perikanan dan kelautan di Selatan Jawa akhir-akhir ini semakin gencar dikumandangkan. Daerah-daerah yang masyarakatnya secara historis tidak memiliki akar sejarah yang kuat dalam menggantungkan hidup mereka dari hasil laut juga berlomba-lomba mengeluarkan anggaran daerahnya untuk pengembangan wilayah pesisir. Hal ini nampak dari rencana pembangunan pelabuhan baik di Bantul, Kulonprogo, Gunungkidul, Purworejo, Kebumen, dan daerah-daerah lainnya. Kondisi semacam ini sangat positif jika masing-masing daerah dapat berbagi peran dengan baik, sehingga dengan dukungan tersebut pembangunan pesisir akan memiliki sokongan yang kuat menuju keberhasilan.
Wanita merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pembangunan pesisir karena posisinya yang strategis dalam kegiatan berbasis perikanan dan kelautan sebagai pedagang pengecer, pengumpul ikan, pedagang besar, buruh upahan, maupun tenaga pengolah hasil perikanan. Namun demikian, dalam berbagai aspek kajian ataupun program-program pembangunan pesisir mereka tidak banyak tersentuh. Ketika berbicara tentang nelayan yang terlintas dalam pikiran adalah kaum pria yang sebagian atau seluruh hidupnya berjuang menghadapi gelombang besar atau angin kencang untuk memperoleh hasil tangkapan ikan. Pikiran demikianlah yang mendorong lahirnya program pembangunan perikanan yang bias gender seperti nampak pada berbagai program pemberdayaan masyarakat pesisir. Kondisi demikian telah dianggap sebagai hal yang lumrah karena dalam budaya kita, wanita telah lama dikonstruksi secara sosial maupun budaya untuk menjadi ”kanca wingking” yang hanya berkutat pada berbagai urusan rumah tangga bahkan seperti dikatakan Djohan (1994) geraknyapun dibatasi dalam lingkup rumah tangga. Sehingga artikulasi peran wanita nelayan dalam kehidupan sosial dan budaya di pesisir menjadi kurang atau tidak tampak.
Keterbatasan ekonomi keluargalah yang menuntut wanita nelayan termasuk anak-anak mereka bekerja di daerah pesisir. Dalam kegiatan perikanan laut wanita nelayan berperan sangat strategis terutama pada ranah pasca panen dan pemasaran hasil perikanan. Di beberapa wilayah bahkan peranan wanita nelayan, juga sering menyentuh wilayah yang dianggap sebagai dunia kerja kaum laki-laki yaitu penangkapan ikan seperti yang banyak ditemukan dalam kegiatan penangkapan kepiting di daerah mangrove Teluk Bintuni Papua. Peran produktif ini, bagi wanita nelayan bahkan sering mengalahkan peran reproduktif atau domestiknya. Hasil kajian Widaningroem dkk. (1998) di pantai selatan Yogyakarta menunjukkan bahwa walaupun peran reproduktif yang dilakukan oleh wanita seperti membersihkan rumah, mencuci, dan menyiapkan makanan mencapai angka 80% dari alokasi waktu setiap harinya, ketika mereka melakukan aktivitas produktif di pesisir, peran tersebut ditinggalkan sementara dan diserahkan kepada kepada anak atau ibu/nenek mereka. Kontribusi nelayan ini terhadap pendapatan keluargapun, dapat mencapai separuh dari pendapatan suami.
Pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia seharusnya memperhatikan kondisi wanita maupun pria atau bersifat gender sensitive. Peran wanita dapat dioptimalkan apabila faktor penghambat yang melingkupinya teridentifikasi dengan baik. Walaupun secara kuantitatif jumlah wanita lebih banyak dari kaum pria, belum banyak rencana pembangunan yang benar-benar mendasarkan pada kebutuhan kaum wanita, padahal mereka bekerja pada dua fungsi sekaligus, reproduktif dan produktif. Pengembangan program pembangunan yang tidak bias gender memiliki arti yang sangat penting di daerah pesisir disebabkan tidak hanya karena secara kuantitatif jumlah kaum wanita lebih banyak, tetapi karena peran wanita nelayan yang sangat strategis. Partisipasi wanita dalam berbagai aktivitas produktif di pesisir juga telah banyak terbukti mampu mempertahankan keberlanjutan ekonomi rumah tangga nelayan. Kesempatan peran wanita nelayan juga memiliki peluang yang cukup baik karena suami mereka memiliki kebiasan yang baik yaitu menyerahkan hasil usaha melaut mereka kepada kaum wanita dan sekaligus memberikan kepercayaan kepada wanita untuk mengelola keuangan tersebut. Hal ini tentunya menjadikan wanita lebih mandiri dan berani memutuskan hal-hal penting bagi keluarga dan dirinya. Dukungan internal tersebut akan lebih optimal jika program-program intervensi oleh pemerintah juga menyentuh kaum wanita nelayan.
Berbagai program pembangunan ke depan perlu menyediakan kesempatan kepada wanita nelayan untuk memiliki peluang yang sejajar dengan pria. Optimalisasi peran wanita nelayan dalam pembangunan pesisir hanya dapat dilakukan melalui integrasi kebijakan pembangunan dan pemberdayaan perempuan ke dalam kebijakan nasional, propinsi atau kabupaten/kota baik pada ranah perencanaan, pelaksanaan, pemantauan maupun evaluasi pembangunan. Upaya ini tidaklah mudah dilakukan jika tidak didukung adanya kesadaran dan kepekaan para pengambil kebijakan tentang kesetaraan dan keadilan gender yang diikuti oleh program-program yang dapat menjamin keterlibatan para wanita.
Pembagian peran yang sejajar khususnya dari aspek ekonomi perikanan dimana wanita yang mengurusi pasca panen dan pemasaran hasil perikanan termasuk pengawetan, pengolahan, distribusi dan pemasaran hasil, sementara pria pada aspek produksi melalui kegiatan penangkapan ikan dapat menjadi salah satu cara mendorong partisipasi wanita yang lebih baik. Peran ini didasari pada berbagai kesulitan dalam kegiatan produksi perikanan laut. Penguatan aspek pasca panen dan pemasaran tidak hanya bermakna bagi para wanita nelayan, tetapi aktivitas perikanan secara keseluruhan karena aspek ini menjadi titik terlemah kegiatan produksi perikanan. Program penguatan dapat dilakukan misal melalui penguatan kelembagaan usaha berbasis kelompok. Penguatan ini memiliki makna positif karena dapat memperkuat bargaining position para wainta terhadap pesaing yang umumnya kaum pria dengan modal yang lebih besar, mempermudah akses terhadap modal, pasar, informasi dan teknologi. Pada akhirnya, pengembangan program pembangunan yang berbasis perikanan dan kelautan yang terpadu dengan kegiatan lainnya seperti wisata bahari merupakan peluang besar bagi aktualasisasi peran wanita nelayan.
*)Dosen Jurusan Perikanan Universitas Gadjah Mada
(Keterangan foto: Selepas magrib di Pantai Kuwaru, istri nelayan sedang mengolah ikan, yang sebenarnya dilakukan bersama dengan anak-anak dan suaminya)

Oleh: Arif Satria* D i tengah keterkejutan publik atas pergantian Menteri Kelautan dan Perikanan, ada isu yang tak kalah seriu...

Oleh: Arif Satria*
Di tengah keterkejutan publik atas pergantian Menteri Kelautan dan Perikanan, ada isu yang tak kalah seriusnya. Menteri yang baru tetap memasukkan modernisasi nelayan sebagai salah satu program.
Kompas selama satu minggu (10-15 Oktober 2011) telah menurunkan berita tentang persoalan yang lebih serius tentang bantuan kapal untuk nelayan sebagai bagian dari desain modernisasi nelayan. Ada rencana 1.000 kapal untuk nelayan hingga 2014. Namun, hingga saat ini baru terealisasi 46 kapal dari 60 kapal yang ditargetkan tahun 2010. Adapun target tahun 2011 adalah 253 kapal.
Kenyataannya, banyak masalah muncul di lapangan. Nelayan, antara lain, tidak bisa beroperasi karena ketidaksiapan modal sehingga niat baik pemerintah untuk meningkatkan kemampuan nelayan menangkap ikan belum terwujud.
Pertanyaannya, mengapa program seperti ini sering gagal? Adakah desain alternatifnya?

Teknologi vs adaptasi
Struktur armada penangkapan ikan kita memang masih didominasi oleh armada tradisional. Karena itu, untuk memajukan perikanan, harus ada modernisasi armada. Logika ini tidak salah. Yang jadi persoalan adalah kuatnya cara berpikir bahwa modernisasi armada hanyalah perubahan teknologi dan bukan perubahan moda produksi baru.
Dalam moda produksi baru, teknologi hanyalah salah satu komponen dari komponen lain terkait seperti hubungan atau aspek kelembagaan produksi serta variabel eksternal. Oleh karena itu, dalam modernisasi ada sejumlah variabel penting yang harus dipertimbangkan.
Pertama, faktor modal kerja. Kapal besar memerlukan modal besar untuk beroperasi, termasuk bahan bakar, perbekalan, dan pemeliharaan. Bagaimana menjamin akses nelayan pada kecukupan modal kerja agar bisa beroperasi secara kontinu?
Kedua, manajemen usaha. Kelompok yang lebih besar membutuhkan kemampuan manajemen usaha dan manajemen kelompok yang berbeda. Ini karena aset yang dikelola jauh berbeda dengan aset tradisional. Begitu pula ukuran kelompok kerja, dulu cukup 2-3 orang dan saat ini lebih dari 10 orang.
Ketiga, faktor teknologi. Nelayan perlu beradaptasi terhadap teknologi baru, seperti menggunakan mesin, alat tangkap baru, serta pemeliharaannya. Isu lainnya adalah apakah kapal dan alat tangkap sudah sesuai dengan kebutuhan nelayan?
Keempat, faktor sumber daya dan adaptasi ekologi. Apakah sumber daya ikan sebagai target pengoperasian armada baru masih cukup? Bukankah beberapa wilayah perairan sudah mengalami gejala tangkap lebih (overfishing)? Dengan jangkauan yang lebih luas, nelayan perlu memahami siklus sumber daya serta karakteristik lingkungan perairan baru. Ada beberapa kasus yang menunjukkan bahwa bantuan untuk nelayan gagal karena ternyata kapal dan alat tangkap baru di wilayah tersebut hanya cocok untuk musim-musim tertentu. Akibatnya, ada masa kekosongan yang membuat nelayan tidak memperoleh pendapatan.
Dari faktor-faktor di atas, tampaklah bahwa sebenarnya isunya tidak sekadar bantuan teknologi, tetapi lebih pada bagaimana kesiapan adaptasi nelayan terhadap moda produksi baru. Tidak mengherankan apabila kegagalan program-program bantuan kapal umumnya berakar pada ketidaksiapan pemerintah meningkatkan daya adaptasi nelayan.
Desain alternatif
Kisah sukses modernisasi armada perikanan dapat dilihat di beberapa wilayah. Pekalongan adalah salah satunya. Faktor pendorong kesuksesan adalah kemampuan nelayan beradaptasi terhadap moda produksi baru ini. Mereka bisa beradaptasi karena punya pengalaman cukup dalam mengoperasikan armada yang setingkat. Bahkan yang terjadi sebenarnya bukan adaptasi, melainkan hanya pergantian status dari anak buah kapal (ABK) menjadi nelayan pemilik. Jadi, program modernisasi mendorong mobilitas vertikal nelayan ABK, bukan perubahan skala usaha.
Lalu bagaimana terhadap nelayan kecil yang didorong menjadi nelayan dengan skala usaha menengah yang justru sekarang menuai persoalan?
Di sinilah program adaptasi diperlukan, salah satunya melalui pemagangan nelayan. Pemagangan mencakup upaya percepatan proses adaptasi terhadap manajemen usaha, keterampilan pengoperasian kapal, teknik permesinan, serta pengetahuan tentang karakteristik sumber daya.
Pola pemagangan sebaiknya melibatkan pihak koperasi atau swasta yang sukses dalam kegiatan perikanan tangkap. Jadi mestinya pemagangan dilakukan jauh-jauh hari sebelum para nelayan menerima bantuan kapal. Dengan demikian, nelayan mengetahui dan mengalami seluk-beluk moda produksi baru ini termasuk risikonya. Program sepenting ini memang sebaiknya tidak bersifat trial and error.
*) Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB
Sumber : Kompas, Jumat 25 Mei 2011

Oleh: Imam Wibisono* B erbicara mengenai maritim Indonesia, sejenak kita teringat tentang kejayaan nusantara di masa silam. Saa...


Oleh: Imam Wibisono*


Berbicara mengenai maritim Indonesia, sejenak kita teringat tentang kejayaan nusantara di masa silam. Saat negeri ini masih berupa kerajaan-kerajaan yang tersebar di penjuru nusantara. Kerajaan-kerajaan tersebut sebagian besar memiliki kekuatan maritim yang luar biasa tangguh. Bukan hanya di bidang militer, tapi juga di bidang perekonomian dan perdagangan.
Lihat saja kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang luas wilayahnya mencapai Asia Tenggara dan Asia Selatan. Hal ini bukan semata-mata akibat ekspansi militer yang dilakukan, tetapi juga berkat dukungan terhadap kepentingan perekonomian dan perdagangan yang tinggi saat itu. Sebagai penguasa wilayah penghasil rempah-rempah dan hasil laut yang melimpah merupakan suatu keunggulan strategis yang dimiliki oleh kerajaan Sriwijaya dan Majapahit untuk menunjang kehidupan masyarakatnya.
Kerajaan lainnya adalah kerajaan Samudera Pasai. Kerajaan Islam pertama di nusantara yang secara politik masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit ini juga memanfaatkan potensi maritimnya secara optimal. Letak geografis yang strategis di selat Malaka membuat kerajaan Samudera Pasai sungguh-sungguh dalam mengembangkan kekuatan maritimnya terutama di sektor perdagangan. Saat itu selat malaka jalur utama masuknya kapal-kapal asing ke nusantara.
Sejarah memang telah mentorehkan catatan emas kejayaan maritim nusantara dalam kitab-kitab dan manuskrip-manuskrip usang. Namun bagaimanakah kondisi maritim saat ini, saat nusantara telah bersatu menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia? Kejayaan maritim yang besar itu seakan runtuh mengikuti runtuhnya kerajaan-kerajaan besar di Nusantara.
Meskipun memiliki laut yang lebih luas dari daratannya yakni sekitar 5.6 juta km2, Indonesia saat ini lebih bangga disebut sebagai negara agraris daripada negara maritim karena swasembada beras yang pernah dicapai di masa pemerintahan Presiden Soeharto. Padahal dewasa ini kontribusi yang dihasilkan dari sektor pertanian sendiri juga tidak terlalu membanggakan, begitupun dengan sektor kelautan.
Berdasarkan data yang didapatkan dari Bappenas, kontribusi sektor perikanan dan kelautan Indonesia hanya US$ 1.76 milyar atau sekitar 20%. Padahal di negara kepulauan lainnya, kontribusi sektor perikanan terhadap GDP masing-masing negara sangat besar. Contohnya adalah Islandia yang sektor perikanannya menyumbangkan kontribusi sebesar 65%. Negara lain adalah Norwegia 25%, Korea Selatan sebesar 37%, RRC 48.4%, dan Jepang 54%. Bahkan China yang hanya memiliki luas perairan 8,8% dibanding Indonesia memiliki kontribusi sebesar US$ 34 milliar.
Kontribusi sektor perikanan terhadap GDP yang sangat kecil ini diakibatkan oleh kurang seriusnya perhatian dalam mengembangkan sektor perikanan dan kelautan, banyaknya penyelewengan oleh oknum di instansi berwenang, serta kurang baiknya sistem pertahanan kelautan sehingga sering membiarkan pencurian ikan oleh kapal-kapal asing.
Jika negara saja merasa dirugikan dengan kondisi tersebut, maka kondisi para nelayan yang merupakan ujung tombak sektor perikanan tak jauh berbeda. Dari survei yang dilakukan oleh LSM KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) yang pada tahun 2011, Jumlah nelayan Indonesia berkisar 2.8 juta jiwa, berkurang 25 % sejak 10 tahun terakhir. Berkurangnya minat untuk menjadi nelayan dikarenakan penghasilan yang didapat sangat kecil. Jumlah rata-rata penghasilan nelayan (termasuk buruh nelayan) per hari hanya sebesar Rp 30.499, lebih kecil bila dibandingkan dengan upah pekerja bangunan sebesar Rp 48.301 sehari.
Dampak perubahan iklim dan keterbatasan teknologi menjadi faktor utama yang membuat nelayan kesulitan untuk meningkatkan hasil tangkapannya. Hal ini juga diperparah oleh kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan bagi nelayan, pencemaran laut yang tinggi, pungutan liar perikanan, kecurangan tengkulak, serta tidak berfungsinya tempat pelelangan ikan.
Masyarakat nelayan miskin hingga saat ini tidak mempunyai hak atas kuasa sumber daya perikanan karena keterbatasan sumber daya dan keterbatasan akses mereka. Kawasan laut kebanyakan diakses dan didominasi oleh pemilik modal dan birokrat, atau kolaborasi keduanya. Penyerobotan wilayah tangkap oleh nelayan-nelayan besar bahkan nelayan nelayan asing cenderung diabaikan oleh pemerintah, sehingga wilayah tangkap nelayan tradisional menjadi terbatas, dan terbatas pula sumber daya perikanannya.
Permasalahan komplek yang mendera dunia maritim dan nelayan Indonesia ini, tidak sepantasnya selalu menjadi keluh kesah tanpa solusi. Kita harus mampu memberikan optimisme bahwa masih ada cara untuk mengangkat sektor maritim Indonesia tanpa harus melulu bergantung pada pemerintah. Jika pemerintah belum juga memberdayakan nelayan dengan baik, maka harus ada peran dari kalangan tertentu seperti akademisi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang benar-benar murni memberdayakan nelayan.
Para akademisi maupun LSM dapat membantu nelayan dalam menghasilkan teknologi-teknologi perikanan yang dapat membantu usaha perikanan tangkap maupun budidaya, memberikan penyuluhan dan pelatihan, membantu membuat model usaha yang semestinya dimiliki oleh nelayan, serta membantu dalam mencarikan modal bagi usaha tersebut.
Sejatinya, dalam upaya mendukung peningkatan kualitas hidup nelayan, pelatihan dan pendampingan sangat diperlukan. Akademisi dan LSM dapat mengambil peran tersebut jika pemerintah belum benar-benar serius untuk memperhatikan nasib nelayan. Hal tersebut bukanlah sesuatu yang sulit untuk diterapkan. Banyak hasil karya penelitian maupun kajian modern mengenai perikanan dan kelautan yang selama ini hanya menghiasi lemari perpustakaan yang sebenarnya mampu menjadi bahan pelatihan dan pendampingan. Maka sekaranglah saatnya hasil penelitan maupun kajian tersebut diterapkan menjadi program pemberdayaan oleh akademisi dan LSM sesuai dengan kondisinya untuk kesejahteraan masyarakat nelayan.
Akademisi dan LSM memang dapat memberikan pendampingan langsung kepada nelayan. Namun, peran pemerintah juga tetap diperlukan terutama untuk mendukung keberlanjutan program pemberdayaan tersebut. Akademisi maupun LSM dapat menjadi fasilitator bagi nelayan ke pemerintah untuk dapat mengakses kemudahan-kemudahan yang seharusnya memang bisa didapatkan oleh nelayan, juga berfungsi mengawal perbaikan regulasi di sektor perikanan dan kelautan yang selama ini dianggap merugikan nelayan tradisional, baik mengenai penangkapan ikan, perdagangan, ekspor-impor, dan keamanan.
Hubungan yang baik antara nelayan, akademisi/LSM, dan pemerintah akan mempermudah terlaksananya program pemberdayaan dengan baik. Bentuk pendampingan pemberdayaan dengan model seperti ini rasanya akan lebih mempercepat peningkatan kesejahteraan hidup nelayan. Hal ini dikarenakan para ahli yang peduli dengan kondisi perikanan dan kelautan Indonesia dapat langsung memberikan kontribusi nyatanya bagi kehidupan nelayan.
Jika pendampingan terhadap nelayan terus dioptimalkan hingga nelayan mampu berkembang secara mandiri dan berdaya, bukan tidak mungkin kejayaan maritim nusantara masa silam akan kembali hadir. Habis Gelap terbitlah Terang.
*) Mahasiswa Program Studi Pemuliaan Tanaman UGM, Ketua Klinik Agromina Bahari periode 2010, Public Relation Manager at Agroraya Madani Indonesia.