Oleh: Arif Satria* D i tengah keterkejutan publik atas pergantian Menteri Kelautan dan Perikanan, ada isu yang tak kalah seriu...

Oleh: Arif Satria*
Di tengah keterkejutan publik atas pergantian Menteri Kelautan dan Perikanan, ada isu yang tak kalah seriusnya. Menteri yang baru tetap memasukkan modernisasi nelayan sebagai salah satu program.
Kompas selama satu minggu (10-15 Oktober 2011) telah menurunkan berita tentang persoalan yang lebih serius tentang bantuan kapal untuk nelayan sebagai bagian dari desain modernisasi nelayan. Ada rencana 1.000 kapal untuk nelayan hingga 2014. Namun, hingga saat ini baru terealisasi 46 kapal dari 60 kapal yang ditargetkan tahun 2010. Adapun target tahun 2011 adalah 253 kapal.
Kenyataannya, banyak masalah muncul di lapangan. Nelayan, antara lain, tidak bisa beroperasi karena ketidaksiapan modal sehingga niat baik pemerintah untuk meningkatkan kemampuan nelayan menangkap ikan belum terwujud.
Pertanyaannya, mengapa program seperti ini sering gagal? Adakah desain alternatifnya?

Teknologi vs adaptasi
Struktur armada penangkapan ikan kita memang masih didominasi oleh armada tradisional. Karena itu, untuk memajukan perikanan, harus ada modernisasi armada. Logika ini tidak salah. Yang jadi persoalan adalah kuatnya cara berpikir bahwa modernisasi armada hanyalah perubahan teknologi dan bukan perubahan moda produksi baru.
Dalam moda produksi baru, teknologi hanyalah salah satu komponen dari komponen lain terkait seperti hubungan atau aspek kelembagaan produksi serta variabel eksternal. Oleh karena itu, dalam modernisasi ada sejumlah variabel penting yang harus dipertimbangkan.
Pertama, faktor modal kerja. Kapal besar memerlukan modal besar untuk beroperasi, termasuk bahan bakar, perbekalan, dan pemeliharaan. Bagaimana menjamin akses nelayan pada kecukupan modal kerja agar bisa beroperasi secara kontinu?
Kedua, manajemen usaha. Kelompok yang lebih besar membutuhkan kemampuan manajemen usaha dan manajemen kelompok yang berbeda. Ini karena aset yang dikelola jauh berbeda dengan aset tradisional. Begitu pula ukuran kelompok kerja, dulu cukup 2-3 orang dan saat ini lebih dari 10 orang.
Ketiga, faktor teknologi. Nelayan perlu beradaptasi terhadap teknologi baru, seperti menggunakan mesin, alat tangkap baru, serta pemeliharaannya. Isu lainnya adalah apakah kapal dan alat tangkap sudah sesuai dengan kebutuhan nelayan?
Keempat, faktor sumber daya dan adaptasi ekologi. Apakah sumber daya ikan sebagai target pengoperasian armada baru masih cukup? Bukankah beberapa wilayah perairan sudah mengalami gejala tangkap lebih (overfishing)? Dengan jangkauan yang lebih luas, nelayan perlu memahami siklus sumber daya serta karakteristik lingkungan perairan baru. Ada beberapa kasus yang menunjukkan bahwa bantuan untuk nelayan gagal karena ternyata kapal dan alat tangkap baru di wilayah tersebut hanya cocok untuk musim-musim tertentu. Akibatnya, ada masa kekosongan yang membuat nelayan tidak memperoleh pendapatan.
Dari faktor-faktor di atas, tampaklah bahwa sebenarnya isunya tidak sekadar bantuan teknologi, tetapi lebih pada bagaimana kesiapan adaptasi nelayan terhadap moda produksi baru. Tidak mengherankan apabila kegagalan program-program bantuan kapal umumnya berakar pada ketidaksiapan pemerintah meningkatkan daya adaptasi nelayan.
Desain alternatif
Kisah sukses modernisasi armada perikanan dapat dilihat di beberapa wilayah. Pekalongan adalah salah satunya. Faktor pendorong kesuksesan adalah kemampuan nelayan beradaptasi terhadap moda produksi baru ini. Mereka bisa beradaptasi karena punya pengalaman cukup dalam mengoperasikan armada yang setingkat. Bahkan yang terjadi sebenarnya bukan adaptasi, melainkan hanya pergantian status dari anak buah kapal (ABK) menjadi nelayan pemilik. Jadi, program modernisasi mendorong mobilitas vertikal nelayan ABK, bukan perubahan skala usaha.
Lalu bagaimana terhadap nelayan kecil yang didorong menjadi nelayan dengan skala usaha menengah yang justru sekarang menuai persoalan?
Di sinilah program adaptasi diperlukan, salah satunya melalui pemagangan nelayan. Pemagangan mencakup upaya percepatan proses adaptasi terhadap manajemen usaha, keterampilan pengoperasian kapal, teknik permesinan, serta pengetahuan tentang karakteristik sumber daya.
Pola pemagangan sebaiknya melibatkan pihak koperasi atau swasta yang sukses dalam kegiatan perikanan tangkap. Jadi mestinya pemagangan dilakukan jauh-jauh hari sebelum para nelayan menerima bantuan kapal. Dengan demikian, nelayan mengetahui dan mengalami seluk-beluk moda produksi baru ini termasuk risikonya. Program sepenting ini memang sebaiknya tidak bersifat trial and error.
*) Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB
Sumber : Kompas, Jumat 25 Mei 2011

Oleh: Imam Wibisono* B erbicara mengenai maritim Indonesia, sejenak kita teringat tentang kejayaan nusantara di masa silam. Saa...


Oleh: Imam Wibisono*


Berbicara mengenai maritim Indonesia, sejenak kita teringat tentang kejayaan nusantara di masa silam. Saat negeri ini masih berupa kerajaan-kerajaan yang tersebar di penjuru nusantara. Kerajaan-kerajaan tersebut sebagian besar memiliki kekuatan maritim yang luar biasa tangguh. Bukan hanya di bidang militer, tapi juga di bidang perekonomian dan perdagangan.
Lihat saja kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang luas wilayahnya mencapai Asia Tenggara dan Asia Selatan. Hal ini bukan semata-mata akibat ekspansi militer yang dilakukan, tetapi juga berkat dukungan terhadap kepentingan perekonomian dan perdagangan yang tinggi saat itu. Sebagai penguasa wilayah penghasil rempah-rempah dan hasil laut yang melimpah merupakan suatu keunggulan strategis yang dimiliki oleh kerajaan Sriwijaya dan Majapahit untuk menunjang kehidupan masyarakatnya.
Kerajaan lainnya adalah kerajaan Samudera Pasai. Kerajaan Islam pertama di nusantara yang secara politik masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit ini juga memanfaatkan potensi maritimnya secara optimal. Letak geografis yang strategis di selat Malaka membuat kerajaan Samudera Pasai sungguh-sungguh dalam mengembangkan kekuatan maritimnya terutama di sektor perdagangan. Saat itu selat malaka jalur utama masuknya kapal-kapal asing ke nusantara.
Sejarah memang telah mentorehkan catatan emas kejayaan maritim nusantara dalam kitab-kitab dan manuskrip-manuskrip usang. Namun bagaimanakah kondisi maritim saat ini, saat nusantara telah bersatu menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia? Kejayaan maritim yang besar itu seakan runtuh mengikuti runtuhnya kerajaan-kerajaan besar di Nusantara.
Meskipun memiliki laut yang lebih luas dari daratannya yakni sekitar 5.6 juta km2, Indonesia saat ini lebih bangga disebut sebagai negara agraris daripada negara maritim karena swasembada beras yang pernah dicapai di masa pemerintahan Presiden Soeharto. Padahal dewasa ini kontribusi yang dihasilkan dari sektor pertanian sendiri juga tidak terlalu membanggakan, begitupun dengan sektor kelautan.
Berdasarkan data yang didapatkan dari Bappenas, kontribusi sektor perikanan dan kelautan Indonesia hanya US$ 1.76 milyar atau sekitar 20%. Padahal di negara kepulauan lainnya, kontribusi sektor perikanan terhadap GDP masing-masing negara sangat besar. Contohnya adalah Islandia yang sektor perikanannya menyumbangkan kontribusi sebesar 65%. Negara lain adalah Norwegia 25%, Korea Selatan sebesar 37%, RRC 48.4%, dan Jepang 54%. Bahkan China yang hanya memiliki luas perairan 8,8% dibanding Indonesia memiliki kontribusi sebesar US$ 34 milliar.
Kontribusi sektor perikanan terhadap GDP yang sangat kecil ini diakibatkan oleh kurang seriusnya perhatian dalam mengembangkan sektor perikanan dan kelautan, banyaknya penyelewengan oleh oknum di instansi berwenang, serta kurang baiknya sistem pertahanan kelautan sehingga sering membiarkan pencurian ikan oleh kapal-kapal asing.
Jika negara saja merasa dirugikan dengan kondisi tersebut, maka kondisi para nelayan yang merupakan ujung tombak sektor perikanan tak jauh berbeda. Dari survei yang dilakukan oleh LSM KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) yang pada tahun 2011, Jumlah nelayan Indonesia berkisar 2.8 juta jiwa, berkurang 25 % sejak 10 tahun terakhir. Berkurangnya minat untuk menjadi nelayan dikarenakan penghasilan yang didapat sangat kecil. Jumlah rata-rata penghasilan nelayan (termasuk buruh nelayan) per hari hanya sebesar Rp 30.499, lebih kecil bila dibandingkan dengan upah pekerja bangunan sebesar Rp 48.301 sehari.
Dampak perubahan iklim dan keterbatasan teknologi menjadi faktor utama yang membuat nelayan kesulitan untuk meningkatkan hasil tangkapannya. Hal ini juga diperparah oleh kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan bagi nelayan, pencemaran laut yang tinggi, pungutan liar perikanan, kecurangan tengkulak, serta tidak berfungsinya tempat pelelangan ikan.
Masyarakat nelayan miskin hingga saat ini tidak mempunyai hak atas kuasa sumber daya perikanan karena keterbatasan sumber daya dan keterbatasan akses mereka. Kawasan laut kebanyakan diakses dan didominasi oleh pemilik modal dan birokrat, atau kolaborasi keduanya. Penyerobotan wilayah tangkap oleh nelayan-nelayan besar bahkan nelayan nelayan asing cenderung diabaikan oleh pemerintah, sehingga wilayah tangkap nelayan tradisional menjadi terbatas, dan terbatas pula sumber daya perikanannya.
Permasalahan komplek yang mendera dunia maritim dan nelayan Indonesia ini, tidak sepantasnya selalu menjadi keluh kesah tanpa solusi. Kita harus mampu memberikan optimisme bahwa masih ada cara untuk mengangkat sektor maritim Indonesia tanpa harus melulu bergantung pada pemerintah. Jika pemerintah belum juga memberdayakan nelayan dengan baik, maka harus ada peran dari kalangan tertentu seperti akademisi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang benar-benar murni memberdayakan nelayan.
Para akademisi maupun LSM dapat membantu nelayan dalam menghasilkan teknologi-teknologi perikanan yang dapat membantu usaha perikanan tangkap maupun budidaya, memberikan penyuluhan dan pelatihan, membantu membuat model usaha yang semestinya dimiliki oleh nelayan, serta membantu dalam mencarikan modal bagi usaha tersebut.
Sejatinya, dalam upaya mendukung peningkatan kualitas hidup nelayan, pelatihan dan pendampingan sangat diperlukan. Akademisi dan LSM dapat mengambil peran tersebut jika pemerintah belum benar-benar serius untuk memperhatikan nasib nelayan. Hal tersebut bukanlah sesuatu yang sulit untuk diterapkan. Banyak hasil karya penelitian maupun kajian modern mengenai perikanan dan kelautan yang selama ini hanya menghiasi lemari perpustakaan yang sebenarnya mampu menjadi bahan pelatihan dan pendampingan. Maka sekaranglah saatnya hasil penelitan maupun kajian tersebut diterapkan menjadi program pemberdayaan oleh akademisi dan LSM sesuai dengan kondisinya untuk kesejahteraan masyarakat nelayan.
Akademisi dan LSM memang dapat memberikan pendampingan langsung kepada nelayan. Namun, peran pemerintah juga tetap diperlukan terutama untuk mendukung keberlanjutan program pemberdayaan tersebut. Akademisi maupun LSM dapat menjadi fasilitator bagi nelayan ke pemerintah untuk dapat mengakses kemudahan-kemudahan yang seharusnya memang bisa didapatkan oleh nelayan, juga berfungsi mengawal perbaikan regulasi di sektor perikanan dan kelautan yang selama ini dianggap merugikan nelayan tradisional, baik mengenai penangkapan ikan, perdagangan, ekspor-impor, dan keamanan.
Hubungan yang baik antara nelayan, akademisi/LSM, dan pemerintah akan mempermudah terlaksananya program pemberdayaan dengan baik. Bentuk pendampingan pemberdayaan dengan model seperti ini rasanya akan lebih mempercepat peningkatan kesejahteraan hidup nelayan. Hal ini dikarenakan para ahli yang peduli dengan kondisi perikanan dan kelautan Indonesia dapat langsung memberikan kontribusi nyatanya bagi kehidupan nelayan.
Jika pendampingan terhadap nelayan terus dioptimalkan hingga nelayan mampu berkembang secara mandiri dan berdaya, bukan tidak mungkin kejayaan maritim nusantara masa silam akan kembali hadir. Habis Gelap terbitlah Terang.
*) Mahasiswa Program Studi Pemuliaan Tanaman UGM, Ketua Klinik Agromina Bahari periode 2010, Public Relation Manager at Agroraya Madani Indonesia.