Mengembalikan Daulat Warga Pesisir Sumber daya perikanan yang potensial sebagai alternatif pangan dan mampu menggenjot    penerimaan eko...

Rilis : Aksi Untuk Nelayan Kami

Mengembalikan Daulat Warga Pesisir

Sumber daya perikanan yang potensial sebagai alternatif pangan dan mampu menggenjot  penerimaan ekonomi yang tinggi ternyata tidak tercermin dari kesejahteraan para pelaku perikanan itu sendiri. Nelayan  Indonesia masih tergolong kelompok masyarakat miskin dengan pendapatan per kapita per bulan sekitar 7-10 dollar AS.
Melihat kondisi Perikanan Indonesia, kita akan dihadapkan dengan berbagai macam potensi yang ada. Namun bukan hanya potensi, kita juga dihadapkan pada realitas yang ironi. Sumber daya perikanan yang potensial sebagai alternatif pangan dan mampu menggenjot  penerimaan ekonomi yang tinggi ternyata tidak tercermin dari kesejahteraan para pelaku perikanan itu sendiri. Nelayan  Indonesia masih tergolong kelompok masyarakat miskin dengan pendapatan per kapita per bulan sekitar 7-10 dollar AS[1].
Indikator ekonomi keragaan perikanan juga belum menunjukkan angka yang menggembirakan. Kontribusi dari sektor  perikanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih berkisar dua persen, sedang hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan bahwa perikanan hanya memberikan kontribusi minim terhadap penerimaan negara[2]. Kondisi yang diametrikal ini tentu saja jika dibiarkan akan  memperburuk kinerja perikanan itu sendiri. Ada beberapa hal yang perlu dipikirkan dengan jernih mengenai kebijakan perikanan selama ini.
Kebijakan yang melupakan nelayan
Apakah karena menjadi nelayan lalu miskin ataukah karena miskin lalu menjadi nelayan?
Belum diketahui secara pasti berapa jumlah nelayan yang miskin saat ini, data yang tersedia hanyalah jumlah masyarakat pesisir miskin sebanyak 7,87 juta di tahun 2011[3]. Tak adanya data kemiskinan nelayan ini mempersulit pertanggungjawaban pemerintah terhadap publik.
Berdasarkan analisis kami, kebijakan pemerintah dalam pembangunan perikanan selama ini tidak menyentuh lapisan terbawah masyarakat nelayan, khusunya nelayan buruh. Kebijakan pembangunan perikanan lebih berorientasi pada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional dan bersifat parsial.
Sebagai contoh baru-baru ini Mentri Kelautan dan Perikanan, Sharif Cicip mencanangkan modernisasi nelayan sebagai salah satu programnya. Pemerintah memandang persoalan kemiskinan nelayan dapat diselesaikan hanya dengan perubahan armada dari tradisional ke modern. Ada rencana 1.000 kapal untuk nelayan hingga 2014. Kenyataannya, banyak masalah yang muncul di lapangan. Nelayan tidak bisa beroperasi karena ketidaksiapan modal sehingga niat baik pemerintah untuk meningkatkan kemampuan nelayan menangkap ikan belum terwujud.
Struktur armada penangkapan ikan kita memang masih didominasi oleh armada tradisonal. Karena itu untuk memajukan perikanan harus ada modernisasi armada. Logika ini tidak salah. Yang jadi persoalan adalah kuatnya cara berpikir bahwa modernisasi armada hanyalah perubahan teknologi dan bukan perubahan moda produksi baru. Perbedaan kultur di tiap daerah dipukul rata oleh kebijakan yang seragam. Akibatnya muncul ketegangan-ketegangan sosial di masyarakat pesisir diikuti dengan gejala-gejala lain berkaitan dengan krisis budaya.
Kemudian terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.30 Th 2012 Desember lalu, disebutkan di dalam BAB XIV Ketentuan Lain-Lain Pasal 88 permen ini mengijinkan Kapal penangkap ikan berukuran diatas 1.000 (seribu) GT dengan menggunakan alat penangkapan ikan purse seine yang dioperasikan secara tunggal di WPP-NRI dapat mendaratkan ikan di luar pelabuhan pangkalan, baik pelabuhan di dalam negeri maupun pelabuhan di luar negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal. Pertanyaanya adalah, “ikan kita untuk siapa dan mau diapakan?”
Dalam kondisi, tingkat eksploitasi sumberdaya ikan (SDI) di Wilayah Penangkapan Perikanan (WPP) Negara Republik Indonesia telah melampaui jumlah tangkap berkelanjutan (JTB), status usaha perikanan tangkap yang masih sekitar 90% tergolong skala usaha kecil, kebijakan usaha perikanan tangkap yang tidak konsisten dan berpola “top-down”.
Maka kami menuntut, Pertama, moratorium perizinan usaha perikanan tangkap dan penataan kembali kapal penangkapan ikan di Wilayah Penangkapan Perianan (WPP) Indonesia sebagaimana yang pernah dilakukan melalui Kepmen KP No 60 Tahun 2001.
Kedua, kebijakan perikanan harus dirumuskan melalui konsultasi partisipatif dengan masyarakat nelayan. Hal ini membutuhkan perubahan pandangan dimana nelayan dianggap sebagai produsen pangan yang harus dihargai. Hak sosial, ekonomi, kultural mereka harus dilindungi dan dijadikan landasan pembuatan kebijakan. Pemerintah sering memberikan insentif ekonomi berupa keringanan pajak, subsidi atau dukungan politik bagi perusahaan dan investasi di bidang industri. Hal yang sama perlu dilakukan bagi pelaku perikanan, yang jasanya justru lebih besar yaitu memberi pangan kepada seluruh rakyat Indonesia. Swasembada desa harus dijadikan tujuan utama.
Mengundang kawan-kawan yang peduli Nelayan dalam
AKSI SIMPATIK #UntukNelayanKami
Sabtu, 6 April 2013 Pukul 09.00 WIB
Bunderan Universitas Gadjah Mada long march to KM 0 Yogyakarta
Bawa Jaket Karung Gonimu
Nelayan Pantai Depok Kabupaten Bantul Yogyakarta
Tim Kajian Keilmuan Klinik Agromina Bahari dan Tim Advokasi Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada




[1] Badan Pusat Statistik Indonesia. 2012. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia. Februari. Katalog BPS: 3101015. Jakarta
[2] Kompas. 4 September, 2012. BPK Audit Kinerja Sektor Perikanan.
[3] Badan Pusat Statistik, 2011.  Jumlah dan Presentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan, dan Indeks Keparahan Kemiskinan.


0 komentar: