Oleh: Musthofa Ghulayayni Ada hal penting yang tidak lagi menjadi perhatian publik dan bahkan kesedian literatur sejarah yang juga mi...

Negara Maritim Hanya Puing Sejarah

Oleh: Musthofa Ghulayayni

Ada hal penting yang tidak lagi menjadi perhatian publik dan bahkan kesedian literatur sejarah yang juga minim mengenai cerita maritim negeri ini, mengakibatkan isu tentang maritim seakan sudah punah dan tidak lagi menjadi penting untuk diperhitungkan apalagi untuk diperjuangkan. Terakhir kali isu maritim yang berkembang yaitu soal konflik “Ambalat” antara perairan perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Itu pun tidak mampu membangkitkan etos bangsa ini untuk mengkaji kembali tentang sejarah maritimnya kecuali sikap reaksioner dengan semangat nasionalisme yang setengah matang.
Sementara kelatahan media televisi, internet dan koran menggiring masyarakat pada sebuah isu-isu fiktif yang cenderung provokatif misalnya, terorisme, penistaan sebuah agama, dan masih banyak tayangan-tayangan cabul lainnya yang menjebak pada sikap heroisme semata. Maksud penulis bukan berarti semua itu tidak penting, akan tetapi akan memunculkan sentiment masyarakat ketika memandang kelompok atau golongan lain yang tidak sealiran dengannya.
Lalu apakah persoalan maritim masih layak untuk dibahas? Maritim merupakan sebagian terbesar dari secuil kekayaan alam  Indonesia, oleh karena itu, patut untuk dipahami oleh bangsa yang mengaku hidup di nusantara. Maka jangan kerdil bagi mereka yang merasa menjadi anak seorang nelayan atau pelaut. Kalau kita pernah menyaksikan video dokumenternya Pramoedya A. Toer ketika diwawancarai oleh wartawan asing tahun 1999, beliau bilang: “Jauh sebelum muncul istilah Nusantara pada masa Majapahit, kerajaan Singasari sudah menggunakan nama Dipantara, itu karena secara geografis pulau-pulau di Indonesia disatukan oleh kebesaran lautnya. Kemudian pada masa kolonial, Indonesia disatukan secara admintratif. Baru pada masa Soekrano disatukan secara politik.”
Tidak salah ketika Indonesia dikenal dengan negara maritim, di mana kejayaan bangsa kita bermula dari keberanian menaklukkan laut. Mengenai kejayaan maritim ini sebetulnya sudah sejak lama menggelora di bumi pertiwi ini, bahkan jauh sebelum masa kemerdekaan. Misalnya pada zaman kerajaan Sriwijaya, dari ibu kotanya Palembang di tepi Sungai Musi, tampaknya telah membangun Angkatan Laut Kerajaan yang terdiri dari para pelaut nomaden, yang lebih kuat dari pada wilayah-wilayah tetangganya. Kemudian pada akhir abad ke-7, angkatan laut tersebut telah mendominasi jalur perniagaan laut melalui Asia Tenggara. Sebuah inskripsi yang ditemukan di dekat Palembang menjelaskan bagaimana Raja Sriwijaya pada 23 April 683 M berusaha mendapatkan siddhayatra(sebuah proses menuju kekuatan supernatural) dengan 20.000 parjurit berdiri di atas kapal untuk menaklukkan musuh bebuyutannya karajaan Melayu (Jambi) dan mengukuhkan kekuasaannya terhadap masyarakat di sepanjang Sungai Batanghari.
Sebelumnya tak pernah ada kerajaan di Indonesia yang memiliki kekuatan dan kemakmuran seperti itu, yang keunggulannya didasarkan pada aliansinya dengan seluruh masyarakat bahari yang strategis antara Jawa dan Genting Tanah Kra, yang memegang kendali atas pintu masuk menuju Indonesia dan China. Sejak itu, Sriwijaya dihormati baik oleh pasar india maupun China dengan diberikannya “status perniagaan istimewa” oleh China.
Di luar itu semua, kita telah mengetahui bahwa bangsa Indonesia telah berpengalaman dalam hal bahari selama ribuan tahun. Seperti yang ditulis oleh O.W. Wolters: “Keandalan bangsa Melayu sebagai pelaut tidak hanya dikenal pada masa I Tsing, yang berlayar ke India dengan salah satu kapal mereka. Kepandaian mereka pada abad ke-7 itu diraih melalui petualangan gagah berani menembus samudera dalam waktu yang panjang.”
Akan tetapi, pada abad ke-10 kajayaan Sriwijaya mulai hancur akibat sebab internal maupun dari luar. Pada 922 M, berkali-kali wilayahnya diserbu oleh (kerajaan) Jawa. Selama kekuasaan Dinasti Sung (960-1279), pedagang China yang melakukan perniagaan dengan Jawa dan pulau-pulau sebelah timur mulai menjelajah ke tengah laut melalui pelabuhan-pelabuhan penyimpan barang di Jambi dan Palembang ternyata memberikan ancaman bagi Sriwijaya.
Permasalahan tersebut makin kacau ketika orang-orang Arab melebarkan sayapnya ke Pantai Timur Afrika, juga mengancam monopoli Indonesia di Selat Malaka. Pada kuartal ketiga abad ke-12, seorang penulis China mengatakan: “dari semua kerajaan asing yang kaya raya yang memiliki simpanan barang-barang berharga dan banyak macamnya, tak ada yang melebihi bangsa Ta-Shih (Arab). Posisi kedua ditempati oleh She-p’o (Jawa), sementara San-fo-chi (Sriwijaya) di tempat ketiga.” (K. Hall.Maritime and State Development. Hal:195).
Dan pada tahun 1025, angkatan laut Rajendra, putra dari Raja pertama Cola yang didukung oleh kerajaan Khmer, Ankor, di bawah pemerintahan Suryavarman ke-1 menyerang dan membungkam Palembang. Meskipun pengaruh Cola di Selat Malaka tetap kuat hingga lima puluh tahun berikutnya, keadaan dunia sudah berubah untuk selamanya. Dalam kondisi “sakit parah”, Sriwijaya tetap berusaha berjalan meski terseok-seok. Tetapi akhirnya, mendekati akhir abad ke-13, Sriwijaya harus memberi jalan bagi ekspansi wilayah Kerajaan Majapahit di Jawa Timur.
Kerajaan Majapahit (1293-1478 M) selanjutnya berkembang menjadi kerajaan maritim besar yang memiliki pengaruh dan kekuasaan yang luas meliputi wilayah Nusantara. Dengan kekuatan armada lautnya, Patih Gajah Mada mampu berperang untuk memperluas wilayah kekuasaan sekaligus menanamkan pengaruh untuk melaksanakan hubungan dagang dan interaksi budaya.
Bukti-bukti sejarah tersebut di atas tidak bisa dielakkan bahwa kejayaan bahari bangsa Indonesia sudah bertumbuh sejak puluhan ribu tahun yang lalu. Namun dalam perjalanannya kemudian mengalami keredupan.
Keredupan itu bermula  ketika terjadi perubahan arus modal dan perniagaan di Nusantara pada tahun 1511. Malaka, bandar besar di Asia, jatuh ke tangan Portugis. Malaka adalah wilayah strategis di Semenanjung yang pernah dikuasai dua kerajaan besar, Sriwijaya dan Majapahit. Kejatuhan Malaka bukan sekadar hilangnya sebuah wilayah, tapi menandai perubahan arus perdagangan dunia di Asia. Kapal-kapal niaga dari Arab, Eropa, dan India tak berani singgah di bandar itu lagi, menghindari Portugis.
Belanda kemudian menendang Portugis dan mengganti menjarah serta menjajah Indonesia. Sekitar abad ke-18, masyarakat Indonesia dibatasi untuk berhubungan dengan laut, misalnya larangan berdagang selain dengan pihak Belanda. Dari penjajahan tersebut, pola hidup dan orientasi bangsa dibelokkan dari orientasi maritim ke orientasi agraris (darat) untuk mengahasilkan komoditas perdagangan rempah-rempah yang merupakan primadona dan menguntungkan pihak penjajah. Akibatnya, budaya bahari bangsa Indonesia memasuki masa suram.
Kondisi hilangnya orientasi pembangunan maritim bangsa Indonesia semakin jauh tatkala memasuki era Orde Baru. Kebijakan pembangunan nasional lebih diarahkan ke pembangunan berbasis daratan (land based oriented development) yang dikenal dengan agraris, bahakan dengan bangga indonesia dideklarasikan sebagai negara agraris penghasil produk rempah-rempah dan produksi pertanian yang spektakuler. Kebijakan Orde Baru ini sejalan dengan perlakuan pemerintah kolonial Belanda saat menjajah bangsa Indonesia.
Lantas bagaimana di masa Orde Lama dibawah pimpinan Soekarno? Pada zaman pemerintahan Bung Karno sebagai presiden selalu terkumandang semangat maritim, namun dalam implementasi kebijakan pembangunan khusus dibidang laut sepertinya tidak serius, mungkin karena pada masa itu beliau masih sibuk dengan membangun karakter bangsa (character nation building) dengan kecemasan suatu hari nanti Belanda akan menjajah kembali Nusantara. Namun paling tidak sudah ada upaya menggelorakan semangat maritim. Salah satu statement Bung Karno pada National Maritime Convention (NMC) 1963: “Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan national building bagi negara Indonesia. Maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan kita harus menguasai armada yang seimbang”.
Rupanya  pernyataan Bung Karno di atas telah dikubur dalam-dalam oleh rezim Orde Baru, Soeharto, melalui kekonyolannya dengan melanjutkan pola orientasi darat (agraris) yang pernah ditanamkan oleh kolonial Belanda. Dampaknya kemudian setelah memasuki era reformasi, orientasi pembangunan nasional semakin tidak jelas. Seakan setiap proyek pembangunan nasional dimanfatkan dengan baik oleh para pejabat korup negeri ini untuk mengakumulasi kekayaan pribadinya.
Di titik lain, wilayah laut indonesia diserahkan begitu saja kepada perusahaan-perusahaan yang mampu membayar insentif lebih besar di banding mengembangkan dan membudidayakan masyarakat pesisir yang akses ekonominya dapat dipenuhi hanya dengan melaut (nelayan). Akhirnya, para pemodal asing terus melakukan eksploitasi terhadap potensi laut, terutama apa yang biasa disebut dengan Liqued Natural Gas (LNG) yang terletak di tengah laut (off shore). Maka tidak jarang terjadi kekerasan pada para nelayan akibat pelarangan terhadap wilayah tangkap ikan yang kini sepenuhnya telah dikuasai oleh para pemodal asing.
Sangat miris sekali Indonesia hari ini, khususnya masyarakat pinggir pantai, yang dulunya mereka sangat jaya dengan kebanggaan terhadap kebesaran lautnya serta keberaniannya mengarungi samudera. Hari ini, tak banyak orang bangga karena bertempat tinggal di tepi laut, bahkan keinginan melaut mereka menjadi pupus karena pemerintah tak lagi memperhatikan mereka, begitu juga masyarakat kebanyakan menilai kerdil pada profesi nelayan dan mengagung-agungkan kerja menjadi PNS serta berambisi sebagai pejabat yang muaranya adalah korupsi.
Pengalaman yang penulis dapatkan ketika mudik ke Kalimantan Selatan tepatnya di desa Rampak Kotabaru, banyak dari mereka khususnya yang remaja ketika mendengar desa rampak pasti sangat sinis dan sentimen hanya karena orang rampak adalah keturunan orang Bajau yang sampai hari ini masih melaut dengan warna kulit mereka yang hitam. Pemuda berusia 16 tahun yang sedang memperbaiki gondrong (alat yang biasa digunakan untuk menangkap ikan). Pemuda tersebut berucap ketika penulis tanya tentang kondisi sosailnya:
“Enggih ka’ae…kada tahu’ kenapa urang kotabaru neh sinis banar amun mandangar lun neh urang rampak, dasar bujur punk kita neh keturunan bajau, tapi kada usah kaya itu jua seakan kami nang urang rampak neh kadida’ harganya. Padahal bubuhan kotabaru neh amun nukar iwak dari kami. Sebujurnya bubuhan nang melaut lain dari pada kami itu amun di tengah laut inya’ tuh nukar wan kapal ganal nang mamakai bom ma’ambil iwak di laut. Amun bubuhan kita dasar bujur manangkap pakai gondrong.”
Hal demikian biasa terjadi karena sangat lemahnya pengetahuan mereka tentang sejarah. Padahal kalau kita tahu tentang siapa suku Bajau, maka kita semua pasti akan berterima kasih dan merasa bangga pada mereka. Bahwa bangsa Bajau atau Bajo adalah salah satu pelaut handal yang keberadaannya tersebar di kepulauan Indonesia. Oleh karena itu, bangsa Bajo memiliki potensi untuk menjadi angkatan laut Kerajaan Sriwijaya.
Pemanfaatan potensi sumber daya nasional secara berlebihan dan tak terkendali dapat merusak atau mempercepat berkurangnya sumber daya nasional. Pesatnya perkembangan  teknologi  dan  tuntutan  penyediaan  kebutuhan sumber daya yang semakin besar mengakibatkan laut menjadi sangat penting bagi pembangunan nasional. Oleh karena itu, perubahan orientasi pembangunan nasional Indonesia ke arah pendekatan bahari merupakan suatu hal yang sangat penting dan mendesak. wilayah laut harus dapat dikelola secara profesional dan proporsional serta senantiasa diarahkan pada kepentingan asasi bangsa Indonesia di laut. Beberapa fungsi laut yang harusnya menjadi pertimbangan pemerintah dalam menetapkan kebijakan-kebijakan berbasis bahari adalah laut sebagai media pemersatu bangsa, media perhubungan, media sumberdaya, media pertahanan dan keamanan sebagai negara kepulauan serta media untuk membangun pengaruh ke seluruh dunia demi kesejahteraan bangsa Indonesia itu sendiri.
Namun semua itu hanyalah puing sejarah bagi Indonesia hari ini tatkala jatuh ke tangan rezim bejat di bawah kendali neo-kolonialisme dengan kekuasaan buta yang tak peduli pada nilai-nilai humanis.
Poin di atas sungguh jelas bahwa posisi nelayan bukanlah sebuah profesi hina dan picik, sampai kemudian kita diasingkan dari kehidupan masyarakat lantaran sebuah warna kulit yang hitam serta profesi nelayan yang tidak seperti mereka: para pejabat dengan pakaian rapi bernaung dibawah gedung mewah dengan suhu AC segar tanpa polusi. Tapi kami benar-benar bangga sebagai anak cucu dari keturunan kami yang gagah berani mengarungi samudera walau hanya beratapkan langit di bawah sengatan matahari yang membakar, tapi disetiap tetes peluh mereka adalah masa depan sekaligus nyawa kami sebagaimana Sriwijaya dan Majapahit.
Apakah itu namanya “pembangunan” kalau rakyat kecil selalu jadi korban, haruskah untuk “stabilitas negara” penguasa korbankan mereka yang lemah? Maka tulisan ini sebenarnya adalah suara mereka (pelaut) yang dibungkam selama ratusan tahun.***
*) Penulis  merupakan mahasiswa Jurusan Sosiologi Universitas  Wijaya Kusuma Surabaya


1 komentar:

  1. ;-( Baiklah. Jadi sedih banget. Membaca ini membuat saya berpikir tentang sesuatu yg baru. Ok. Just Wait and see what will we do next..

    BalasHapus