Mangrove di Pesisir Baros, Bantul, Yogyakarta K eberadaan hutan mangrove sebagai bagian dari ekosistem pesisir memiliki fungsi ganda d...

Mangrove di Pesisir Baros, Bantul, Yogyakarta
Keberadaan hutan mangrove sebagai bagian dari ekosistem pesisir memiliki fungsi ganda dalam kehidupan masyarakat, yaitu fungsi sosial ekonomi dan lingkungan hidup. Secara sosial ekonomi, mangrove memiliki nilai ekonomi baik dari kayu, buah maupun berbagai biota didalamnya. Sementara itu, dari sisi lingkungan hidup, mangrove memiliki peran sebagai benteng alami daratan dari terjangan abrasi pantai dan flora faunanya memiliki nilai keanekaragaman hayati yang sangat tinggi.
Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantaiatau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrovetumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar,biasanya di sepanjang sisi pulau yang terlindung dari angin atau di belakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung (Nontji, 1987; Nybakken, 1992).
Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Dikatakan kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah yang berada di bawahnya termasuk tanah perkembangan muda (saline young soil) yang mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen, dan ammonium termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada bagian daratan (Kusmana, 1995). Bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Dikatakan labil karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti sediakala.
Kondisi Mangrove Saat Ini
Tekanan yang berlebihan terhadap kawasan hutan mangrove untuk berbagai kepentingan tanpa mengindahkan kaidah-kaidah pelestarian alam telah mengakibatkan terjadinya penurunan luas hutan mangrove yang cukup drastis. Berdasarkan data tahun 1984, Indonesia memiliki mangrove dalam kawasan hutan seluas 4,25 juta ha, kemudian berdasar hasil interpretasi citra landsat (1992) luasnya tersisa 3,812 juta ha (Ditjen INTAG dalam Martodiwirjo,1994); dan berdasarkan data Ditjen RRL (1999), luas hutan mangrove Indonesia tinggal 9,2 juta ha (3,7 juta ha dalam kawasan hutan dan 5,5 juta hadi luar kawasan).
Namun demikian, lebih dari setengah hutan mangrove yang ada (57,6 %), ternyata dalam kondisi rusak parah, di antaranya 1,6 juta ha dalam kawasan hutan dan 3,7 juta ha di luar kawasan hutan. Kecepatan kerusakan mangrove mencapai 530.000 ha/th. Disatu sisi upaya rehabilitasi belum optimal dan tingkat keberhasilannya masih rendah, masyarakat juga tidak sepenuhnya terlibat dalam upaya rehabilitasi mangrove, dan bahkan dilaporkan adanya kecenderungan gangguan terhadap tanaman mengingat perbedaan kepentingan.
Peranan Ekologis Mangrove
Fungsi dari mangrove telah banyak diketahui, baik sebagai tempat pemijahan ikan di perairan,pengikat sedimen yang terlarut dari sungai dan memperkecil erosi atau abrasi pantai, pelindung daratan dari tiupan angin, penyaring intrusi air laut ke daratan dan kandungan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan, penyumbang unsur hara yang tinggi bagi flora dan fauna yang hidup di daerah tersebut, tempat singgah migrasi burung, dan sebagai habitat satwa liar serta manfaat langsung lainnya bagi manusia.
Kebijakan pemerintah dalam menggalakan komoditi ekspor udang, telah turut andil dalam merubah sistem pertamabakan yang ada dalam wilayah kawasan hutan. Empang parit yang semula digarap oleh penggarap tambak petani setempat, berangsur beralih “kepemilikannya” ke pemilik modal, serta merubah menjadi tambak intensif yang tidak berhutan lagi. Padahal hasil penelitian Turner (1997) menunjukkan bahwa pembuatan 1 ha tambak ikan pada hutan mangrove akan menghasilkan ikan/udang sebanyak 287 kg/tahun, namun dengan hilangnya setiap 1 ha hutan mangrove akan mengakibatkan kerugian 480 kg ikan dan udang di lepas pantai per tahunnya. Pengurangan hutan mangrove di areal green belt sudah tentu akan menurunkan produktivitas perikanan tangkap.
Peranan Sosial Ekonomis Mangrove
Contoh pemanfaatan mangrove baik secara langsung maupun tidak langsung untuk manusia diantaranya sebagai arang dan kayu bakar, bahan bangunan, bahan baku chip, tanin, nipah yang biasa digunakan sebagai atap rumah, obat-obatan, perikanan, pertanian dan pariwisata.
Terkait dilematika sektor pertambakan udang dengan kelestarian ekosistem mangrove, konsep silvofishery atau wanamina dapai dipakai dalam mengakomodasikan kebutuhan lahan dan lapangan pekerjaan dikatkan dengan program rehabilitasi pantai dan pesisir. Kegiatan silvofishery berupa empang parit pada kawasan hutan mangrove. Empang parit ini pada dasarnya adalah semacam tumpangsari pada hutan jati, dimana ikan dan udang sebagai pengganti tanaman palawija, dengan jangka waktu 3-5 tahun. [ar]
Redaksi
Pustaka
Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. 1999. Inventarisasi dan IdentifikasiHutan Bakau (Mangrove) yang Rusak di Indonesia. Laporan Akhir. PTInsan Mandiri Konsultan. Jakarta.
Kusmana, C., S. Takeda, and H. Watanabe. 1995. Litter Production of a Mangrove Forest in East Sumatera, Indonesia. Prosidings Seminar V: Ekosistem Mangrove, Jember, 3-6 Agustus 1994: 247-265. Kontribusi MAB Indonesia No. 72-LIPI, Jakarta.
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Nybakken, J .W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. PTGramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Martodiwirjo, S. 1994. Kebijaksanaan Pengelolaan dan Rehabilitasi HutanMangrove dalam Pelita VI. Bahan Diskusi Panel Pengelolaan Hutan Mangrove, Mangrove Center, Denpasar, 26-28 Oktober 1994 (tidakditerbitkan).
Turner, R.E. 1977. Intertidal Vegetation and Commercial Yields of Penaeid Shrimp. Trans. Am. Fish. Soc. 106: 411-416.Soc. 106: 411-416.