Oleh: Musthofa Ghulayayni Ada hal penting yang tidak lagi menjadi perhatian publik dan bahkan kesedian literatur sejarah yang juga mi...

Oleh: Musthofa Ghulayayni

Ada hal penting yang tidak lagi menjadi perhatian publik dan bahkan kesedian literatur sejarah yang juga minim mengenai cerita maritim negeri ini, mengakibatkan isu tentang maritim seakan sudah punah dan tidak lagi menjadi penting untuk diperhitungkan apalagi untuk diperjuangkan. Terakhir kali isu maritim yang berkembang yaitu soal konflik “Ambalat” antara perairan perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Itu pun tidak mampu membangkitkan etos bangsa ini untuk mengkaji kembali tentang sejarah maritimnya kecuali sikap reaksioner dengan semangat nasionalisme yang setengah matang.
Sementara kelatahan media televisi, internet dan koran menggiring masyarakat pada sebuah isu-isu fiktif yang cenderung provokatif misalnya, terorisme, penistaan sebuah agama, dan masih banyak tayangan-tayangan cabul lainnya yang menjebak pada sikap heroisme semata. Maksud penulis bukan berarti semua itu tidak penting, akan tetapi akan memunculkan sentiment masyarakat ketika memandang kelompok atau golongan lain yang tidak sealiran dengannya.
Lalu apakah persoalan maritim masih layak untuk dibahas? Maritim merupakan sebagian terbesar dari secuil kekayaan alam  Indonesia, oleh karena itu, patut untuk dipahami oleh bangsa yang mengaku hidup di nusantara. Maka jangan kerdil bagi mereka yang merasa menjadi anak seorang nelayan atau pelaut. Kalau kita pernah menyaksikan video dokumenternya Pramoedya A. Toer ketika diwawancarai oleh wartawan asing tahun 1999, beliau bilang: “Jauh sebelum muncul istilah Nusantara pada masa Majapahit, kerajaan Singasari sudah menggunakan nama Dipantara, itu karena secara geografis pulau-pulau di Indonesia disatukan oleh kebesaran lautnya. Kemudian pada masa kolonial, Indonesia disatukan secara admintratif. Baru pada masa Soekrano disatukan secara politik.”
Tidak salah ketika Indonesia dikenal dengan negara maritim, di mana kejayaan bangsa kita bermula dari keberanian menaklukkan laut. Mengenai kejayaan maritim ini sebetulnya sudah sejak lama menggelora di bumi pertiwi ini, bahkan jauh sebelum masa kemerdekaan. Misalnya pada zaman kerajaan Sriwijaya, dari ibu kotanya Palembang di tepi Sungai Musi, tampaknya telah membangun Angkatan Laut Kerajaan yang terdiri dari para pelaut nomaden, yang lebih kuat dari pada wilayah-wilayah tetangganya. Kemudian pada akhir abad ke-7, angkatan laut tersebut telah mendominasi jalur perniagaan laut melalui Asia Tenggara. Sebuah inskripsi yang ditemukan di dekat Palembang menjelaskan bagaimana Raja Sriwijaya pada 23 April 683 M berusaha mendapatkan siddhayatra(sebuah proses menuju kekuatan supernatural) dengan 20.000 parjurit berdiri di atas kapal untuk menaklukkan musuh bebuyutannya karajaan Melayu (Jambi) dan mengukuhkan kekuasaannya terhadap masyarakat di sepanjang Sungai Batanghari.
Sebelumnya tak pernah ada kerajaan di Indonesia yang memiliki kekuatan dan kemakmuran seperti itu, yang keunggulannya didasarkan pada aliansinya dengan seluruh masyarakat bahari yang strategis antara Jawa dan Genting Tanah Kra, yang memegang kendali atas pintu masuk menuju Indonesia dan China. Sejak itu, Sriwijaya dihormati baik oleh pasar india maupun China dengan diberikannya “status perniagaan istimewa” oleh China.
Di luar itu semua, kita telah mengetahui bahwa bangsa Indonesia telah berpengalaman dalam hal bahari selama ribuan tahun. Seperti yang ditulis oleh O.W. Wolters: “Keandalan bangsa Melayu sebagai pelaut tidak hanya dikenal pada masa I Tsing, yang berlayar ke India dengan salah satu kapal mereka. Kepandaian mereka pada abad ke-7 itu diraih melalui petualangan gagah berani menembus samudera dalam waktu yang panjang.”
Akan tetapi, pada abad ke-10 kajayaan Sriwijaya mulai hancur akibat sebab internal maupun dari luar. Pada 922 M, berkali-kali wilayahnya diserbu oleh (kerajaan) Jawa. Selama kekuasaan Dinasti Sung (960-1279), pedagang China yang melakukan perniagaan dengan Jawa dan pulau-pulau sebelah timur mulai menjelajah ke tengah laut melalui pelabuhan-pelabuhan penyimpan barang di Jambi dan Palembang ternyata memberikan ancaman bagi Sriwijaya.
Permasalahan tersebut makin kacau ketika orang-orang Arab melebarkan sayapnya ke Pantai Timur Afrika, juga mengancam monopoli Indonesia di Selat Malaka. Pada kuartal ketiga abad ke-12, seorang penulis China mengatakan: “dari semua kerajaan asing yang kaya raya yang memiliki simpanan barang-barang berharga dan banyak macamnya, tak ada yang melebihi bangsa Ta-Shih (Arab). Posisi kedua ditempati oleh She-p’o (Jawa), sementara San-fo-chi (Sriwijaya) di tempat ketiga.” (K. Hall.Maritime and State Development. Hal:195).
Dan pada tahun 1025, angkatan laut Rajendra, putra dari Raja pertama Cola yang didukung oleh kerajaan Khmer, Ankor, di bawah pemerintahan Suryavarman ke-1 menyerang dan membungkam Palembang. Meskipun pengaruh Cola di Selat Malaka tetap kuat hingga lima puluh tahun berikutnya, keadaan dunia sudah berubah untuk selamanya. Dalam kondisi “sakit parah”, Sriwijaya tetap berusaha berjalan meski terseok-seok. Tetapi akhirnya, mendekati akhir abad ke-13, Sriwijaya harus memberi jalan bagi ekspansi wilayah Kerajaan Majapahit di Jawa Timur.
Kerajaan Majapahit (1293-1478 M) selanjutnya berkembang menjadi kerajaan maritim besar yang memiliki pengaruh dan kekuasaan yang luas meliputi wilayah Nusantara. Dengan kekuatan armada lautnya, Patih Gajah Mada mampu berperang untuk memperluas wilayah kekuasaan sekaligus menanamkan pengaruh untuk melaksanakan hubungan dagang dan interaksi budaya.
Bukti-bukti sejarah tersebut di atas tidak bisa dielakkan bahwa kejayaan bahari bangsa Indonesia sudah bertumbuh sejak puluhan ribu tahun yang lalu. Namun dalam perjalanannya kemudian mengalami keredupan.
Keredupan itu bermula  ketika terjadi perubahan arus modal dan perniagaan di Nusantara pada tahun 1511. Malaka, bandar besar di Asia, jatuh ke tangan Portugis. Malaka adalah wilayah strategis di Semenanjung yang pernah dikuasai dua kerajaan besar, Sriwijaya dan Majapahit. Kejatuhan Malaka bukan sekadar hilangnya sebuah wilayah, tapi menandai perubahan arus perdagangan dunia di Asia. Kapal-kapal niaga dari Arab, Eropa, dan India tak berani singgah di bandar itu lagi, menghindari Portugis.
Belanda kemudian menendang Portugis dan mengganti menjarah serta menjajah Indonesia. Sekitar abad ke-18, masyarakat Indonesia dibatasi untuk berhubungan dengan laut, misalnya larangan berdagang selain dengan pihak Belanda. Dari penjajahan tersebut, pola hidup dan orientasi bangsa dibelokkan dari orientasi maritim ke orientasi agraris (darat) untuk mengahasilkan komoditas perdagangan rempah-rempah yang merupakan primadona dan menguntungkan pihak penjajah. Akibatnya, budaya bahari bangsa Indonesia memasuki masa suram.
Kondisi hilangnya orientasi pembangunan maritim bangsa Indonesia semakin jauh tatkala memasuki era Orde Baru. Kebijakan pembangunan nasional lebih diarahkan ke pembangunan berbasis daratan (land based oriented development) yang dikenal dengan agraris, bahakan dengan bangga indonesia dideklarasikan sebagai negara agraris penghasil produk rempah-rempah dan produksi pertanian yang spektakuler. Kebijakan Orde Baru ini sejalan dengan perlakuan pemerintah kolonial Belanda saat menjajah bangsa Indonesia.
Lantas bagaimana di masa Orde Lama dibawah pimpinan Soekarno? Pada zaman pemerintahan Bung Karno sebagai presiden selalu terkumandang semangat maritim, namun dalam implementasi kebijakan pembangunan khusus dibidang laut sepertinya tidak serius, mungkin karena pada masa itu beliau masih sibuk dengan membangun karakter bangsa (character nation building) dengan kecemasan suatu hari nanti Belanda akan menjajah kembali Nusantara. Namun paling tidak sudah ada upaya menggelorakan semangat maritim. Salah satu statement Bung Karno pada National Maritime Convention (NMC) 1963: “Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan national building bagi negara Indonesia. Maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan kita harus menguasai armada yang seimbang”.
Rupanya  pernyataan Bung Karno di atas telah dikubur dalam-dalam oleh rezim Orde Baru, Soeharto, melalui kekonyolannya dengan melanjutkan pola orientasi darat (agraris) yang pernah ditanamkan oleh kolonial Belanda. Dampaknya kemudian setelah memasuki era reformasi, orientasi pembangunan nasional semakin tidak jelas. Seakan setiap proyek pembangunan nasional dimanfatkan dengan baik oleh para pejabat korup negeri ini untuk mengakumulasi kekayaan pribadinya.
Di titik lain, wilayah laut indonesia diserahkan begitu saja kepada perusahaan-perusahaan yang mampu membayar insentif lebih besar di banding mengembangkan dan membudidayakan masyarakat pesisir yang akses ekonominya dapat dipenuhi hanya dengan melaut (nelayan). Akhirnya, para pemodal asing terus melakukan eksploitasi terhadap potensi laut, terutama apa yang biasa disebut dengan Liqued Natural Gas (LNG) yang terletak di tengah laut (off shore). Maka tidak jarang terjadi kekerasan pada para nelayan akibat pelarangan terhadap wilayah tangkap ikan yang kini sepenuhnya telah dikuasai oleh para pemodal asing.
Sangat miris sekali Indonesia hari ini, khususnya masyarakat pinggir pantai, yang dulunya mereka sangat jaya dengan kebanggaan terhadap kebesaran lautnya serta keberaniannya mengarungi samudera. Hari ini, tak banyak orang bangga karena bertempat tinggal di tepi laut, bahkan keinginan melaut mereka menjadi pupus karena pemerintah tak lagi memperhatikan mereka, begitu juga masyarakat kebanyakan menilai kerdil pada profesi nelayan dan mengagung-agungkan kerja menjadi PNS serta berambisi sebagai pejabat yang muaranya adalah korupsi.
Pengalaman yang penulis dapatkan ketika mudik ke Kalimantan Selatan tepatnya di desa Rampak Kotabaru, banyak dari mereka khususnya yang remaja ketika mendengar desa rampak pasti sangat sinis dan sentimen hanya karena orang rampak adalah keturunan orang Bajau yang sampai hari ini masih melaut dengan warna kulit mereka yang hitam. Pemuda berusia 16 tahun yang sedang memperbaiki gondrong (alat yang biasa digunakan untuk menangkap ikan). Pemuda tersebut berucap ketika penulis tanya tentang kondisi sosailnya:
“Enggih ka’ae…kada tahu’ kenapa urang kotabaru neh sinis banar amun mandangar lun neh urang rampak, dasar bujur punk kita neh keturunan bajau, tapi kada usah kaya itu jua seakan kami nang urang rampak neh kadida’ harganya. Padahal bubuhan kotabaru neh amun nukar iwak dari kami. Sebujurnya bubuhan nang melaut lain dari pada kami itu amun di tengah laut inya’ tuh nukar wan kapal ganal nang mamakai bom ma’ambil iwak di laut. Amun bubuhan kita dasar bujur manangkap pakai gondrong.”
Hal demikian biasa terjadi karena sangat lemahnya pengetahuan mereka tentang sejarah. Padahal kalau kita tahu tentang siapa suku Bajau, maka kita semua pasti akan berterima kasih dan merasa bangga pada mereka. Bahwa bangsa Bajau atau Bajo adalah salah satu pelaut handal yang keberadaannya tersebar di kepulauan Indonesia. Oleh karena itu, bangsa Bajo memiliki potensi untuk menjadi angkatan laut Kerajaan Sriwijaya.
Pemanfaatan potensi sumber daya nasional secara berlebihan dan tak terkendali dapat merusak atau mempercepat berkurangnya sumber daya nasional. Pesatnya perkembangan  teknologi  dan  tuntutan  penyediaan  kebutuhan sumber daya yang semakin besar mengakibatkan laut menjadi sangat penting bagi pembangunan nasional. Oleh karena itu, perubahan orientasi pembangunan nasional Indonesia ke arah pendekatan bahari merupakan suatu hal yang sangat penting dan mendesak. wilayah laut harus dapat dikelola secara profesional dan proporsional serta senantiasa diarahkan pada kepentingan asasi bangsa Indonesia di laut. Beberapa fungsi laut yang harusnya menjadi pertimbangan pemerintah dalam menetapkan kebijakan-kebijakan berbasis bahari adalah laut sebagai media pemersatu bangsa, media perhubungan, media sumberdaya, media pertahanan dan keamanan sebagai negara kepulauan serta media untuk membangun pengaruh ke seluruh dunia demi kesejahteraan bangsa Indonesia itu sendiri.
Namun semua itu hanyalah puing sejarah bagi Indonesia hari ini tatkala jatuh ke tangan rezim bejat di bawah kendali neo-kolonialisme dengan kekuasaan buta yang tak peduli pada nilai-nilai humanis.
Poin di atas sungguh jelas bahwa posisi nelayan bukanlah sebuah profesi hina dan picik, sampai kemudian kita diasingkan dari kehidupan masyarakat lantaran sebuah warna kulit yang hitam serta profesi nelayan yang tidak seperti mereka: para pejabat dengan pakaian rapi bernaung dibawah gedung mewah dengan suhu AC segar tanpa polusi. Tapi kami benar-benar bangga sebagai anak cucu dari keturunan kami yang gagah berani mengarungi samudera walau hanya beratapkan langit di bawah sengatan matahari yang membakar, tapi disetiap tetes peluh mereka adalah masa depan sekaligus nyawa kami sebagaimana Sriwijaya dan Majapahit.
Apakah itu namanya “pembangunan” kalau rakyat kecil selalu jadi korban, haruskah untuk “stabilitas negara” penguasa korbankan mereka yang lemah? Maka tulisan ini sebenarnya adalah suara mereka (pelaut) yang dibungkam selama ratusan tahun.***
*) Penulis  merupakan mahasiswa Jurusan Sosiologi Universitas  Wijaya Kusuma Surabaya


Oleh: Himawan Akhmadin * S ubsektor perikanan memiliki peran penting sebagai penyumbang protein bagi masyarakat Indonesia. Ikan memi...

Oleh: Himawan Akhmadin*


Subsektor perikanan memiliki peran penting sebagai penyumbang protein bagi masyarakat Indonesia. Ikan memiliki kandungan gizi yang berbeda-beda, namun secara umum memiliki kandungan gizi yang lebih baik daripada daging ternak (read meal). Potensi tersebut, semakin nampak dengan hadirnya program yang dicanangkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad, yakni Gemarikan (Gerakan Makan Ikan). Gerakan ini sendiri bertujuan untuk meningkatkan konsumsi makan ikan yang masih rendah. Lalu, mengapa harus mengkonsumsi ikan?

Karena pada umumnya ikan mengandung protein yang dibutuhkan kesehatan manusia. Dengan makan ikan yang cukup maka dapat memberikan dua keuntungan bagi kita. Pertama, baik untuk kesehatan dan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap berbagai macam penyakit. Kedua, asam lemak tak jenuh, termasuk omega-3, yang terkandung dalam ikan, sangat membantu perkembangan sel otak yang dapat meningkatkan kecerdasan (IQ) manusia. Dalam mewujudkan generasi bangsa yang berkualitas dengan asupan gizi yang cukup, maka sangat diperlukan sosialisasi, pendidikan maupun informasi yang tepat kepada seluruh anak bangsa sejak dini bahwa betapa pentingnya konsumsi ikan. Dengan demikian maka perlu ditingkatkannya usaha budidaya dalam setiap daerah untuk memasok persediaan ikan yang dikonsumsi pada tiap harinya. 

Selain fungsi membangun sumber daya manusia unggul, perikanan dapat dijadikan sebagai sumber ekonomi masyarakat jika termaksimalkan. Artinya pula telah mengarah pada peran pemberdayaan. Untuk itu, memang gampang-gampang susah jika perikanan akan dikembangkan yang untuk mendongkrak perekonomian masyarakat. Dikatakan gampang karena tidak terlalu menguras energi dan dikatakan susah karena butuh ketelatenan serta teknik-teknik mendasar agar dapat meraup keuntungan yang menjanjikan.

Potensi perikanan Indonesia tidak hanya berupa perairan laut namun juga terdapat dalam perairan tawar. Di dalam dunia perikanan dikenal tiga jenis bidang usaha, yaitu usaha perikanan tangkap, usaha perikanan budidaya atau akuakultur dan usaha perikanan pengolahan. Masing – masing jenis bidang usaha ini mempunyai karakteristik operasional produksi tersendiri yang akan berpengaruh langsung terhadap munculnya berbagai jenis biaya.

Budidaya perikanan telah menjadi salah satu primadona dalam sub sektor perikanan nasional. Usaha perikanan budidaya atau akuakultur adalah sebuah kegiatan usaha yang bertujuan untuk memproduksi ikan dalam sebuah wadah pemeliharaan yang terkontrol serta berorientasikan kepada keuntungan. Budidaya ikan kian banyak diminati berbagai kalangan, mulai dari kalangan awam (pemula) hingga kalangan elit dalam sektor industrialisi. Perkembangan budidaya semakin pesat mengingat bahwa permintaan terhadap ikan konsumsi semakin besar. Dalam hal ini berbagai macam aplikasi teknologi juga telah digunakan untuk menunjang produksi, dari yang paling sederhana hingga yang telah tersistematis.

Menilik Potensi Perikanan di Bojonegoro

Kabupaten Bojonegoro adalah salah satu kabupaten di Jawa Timur yang sebagian besar wilayahnya merupakan daratan, Namun bukan berarti sektor perikanan tidak dapat dikembangkan. Sebaliknya sektor perikanan lah yang kiranya merupakan usaha strategis yang harusnya dapat dimaksimalkan oleh masyarakat. Mengapa demikian? karena hemat penggunaan lahan, dapat memanfaatkan lahan marginal dengan hemat air, teknologi budidaya dan dan pembenihannya mudah diterapkan oleh masyarakat, sehingga usaha dapat dikembangkan dengan skala kecil hingga industri.

Daerah Bojonegoro sendiri, kompisisi lahanya terdiri dari : area tanah sawah (32,58 %), tanah kering (22,42 %), hutan Negara (40,15 %), perkebunan (0,26 %) dan lain-lain (4,59 %). (Bojonegoro dalam angka, 2011). Sedangkan khsusus untuk tanah kering (22,42 %) terdiri atas lahan kosong, gersang, rawa-rawa maupun lahan bekas padi gagal panen. Lahan-lahan tersebut lah yang selayaknya menjadi lahan ekonomis yang dapat diolah dan dikelola menjadi lahan budidaya perikanan.

Memang tekstur dan struktur tanah menentukan kemampuan pematang menahan air, beban bangunan serta tingkat rembesan air. Faktor kimia dan biologi akan berpengaruh terhadap kesuburan air kolam. Meskipun demikian, lahan marjinal atau bermasalah menggunakan plastik atau terpal atau dibangun dengan konstruksi permanen.

Di sepanjang daerah Bojonegoro pada umumnya dialiri oleh sungai Bengawan Solo dan Waduk Pacal untuk daerah yang tidak dialiri sungai Bengawan Solo. Produksi Ikan di Bojonegoro saat ini terbagi atas Penangkapan/ Catching dan Budidaya/Fishery Household. Kegiatan penangkapan dilakukan pada perairan umum, sedangkan Budidaya dilakukan dalam media kolam, sawah tambak dan mina padi. Namun dalam statistik tercatat bahwa kegiatan budidaya yang mendominasi masih dalam taraf media kolam dalam jumlah kecil, sawah tambak pada beberapa wilayah saja dan mina padi yang masih belum terealisasikan di Bojonegoro. Hal inilah yang harusnya bisa lebih dimaksimalkan lagi, mengingat produksi perikanan tidak tergantung musim. Selain itu, jenis komoditas, ukuran, dan bentuk produk dapat disesuaikan dengan permintaan pasar.

Persoalan produksi, lantas tidak bisa dilepaskan dari aspek pemasaran. Demikian juga dalam bisnis ikan di daerah Bojonegoro. Di tengah persaingan usaha produk perikanan yang semakin ketat, pemasaran itu sendiri dapat dilakukan dalam berbagai macam bentuk serta inovasi yang memungkinkan. Salah satu kegiatan pemasaran yang efektif adalah melalui promosi. Apalagi dalam upaya mengatasi kejenuhan pasar dan masalah dengan jenis baru, seleksi (breeding) dan impor. Kegiatan promosi merupakan salah satu kegiatan pemasaran yang paling penting. Kegiatan promosi diharapkan akan meningkatkan jumlah permintaan produk perikanan. Promosi produk dapat dilakukan melalui kemasan, cara penjualan, potongan harga, proses produksi dan sebagainya. Salah satu bentuk promosi yang efektif dilakukan adalah dengan kampanye makan ikan dengan mengedepankan wacana sebagai makanan sehat dan bergizi. Isu wabah penyakit flu burung (unggas) dan sapi gila pada produk daging sapi ternyata juga dapat mempengaruhi terhadap pemintaan produk perikanan khususnya ikan (Mahyudin, 2007).

Promosi Melalui Produk Olahan Ikan

Panen ikan lalu memasarkan atau menjual ikan hasil panen secara langsung, itu barangkali merupakan hal biasa dan sering dilakukan tani ikan pada umumnya. Akan tetapi jika hasil panen ikan tersebut diolah terlebih dahulu mungkin akan berbeda lagi ceritanya. Kenapa berbeda? dalam hal nilai ekonomis tentunya. Nilai ekonomis produk ikan hasil olahan lebih tinggi daripada ikan mentah. Ini yang kiranya perlu lebih dipahami lagi oleh masyarakat luas. Selain memiliki nilai ekonomis yang tinggi, tentunya juga dapat membantu pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan sehingga sumberdaya manusia sekitar dapat termaksimalkan. Hal ini juga dapat menekan laju pengangguran yang ada pada lingkungan sekitar, perkotaan maupun pedesaan.

Pada umumnya ikan air tawar memiliki tekstur daging yang lembut dan juga ketebalan dagingnya merupakan alasan tersendiri mengapa banyak masyarakat menyukai ikan ini. Sifat ini menyebabkan ikan air tawar (lele, patin, nila, dsb.) mudah dan cocok untuk diolah selain dijadikan ikan pindang juga bisa dibuat berbagai produk olahan ikan seperti : fillet, baso, otak-otak, pempek, sosis, kerupuk, tempura ikan, ikan asap, ikan asin dan nugget ikan (Dani, 2005). Produk-produk olahan ikan ini belum terlalu popular pada daerah jawa khususnya namun lebih banyak popular di daerah luar jawa. Hal ini bukan berarti produk olahan tersebut kurang peminat ataupun tidak memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Namun sebaliknya potensi ini lah yang mestinya dapat dikembangkan oleh masyarakat, karena produk olahan dapat meningkatkan nilai jual ikan relatif tinggi dibandingkan ikan non olahan.

Memasuki Arena Pemasaran

Banyak pola pemasaran yang ditawarkan untuk mendistribusikan hasil panen maupun pasca panen. Seperti yang telah dijelaskan pada bacaan sebelumnya yakni promosi. Setelah kegiatan promosi tersebut tentunya produk akan menuju ke sesi pemasaran dan mengalami proses jual beli dalam suatu wadah yang dinamakan pasar. Pasar sendiri dapat digolongkan menjadi bermacam-macam, pasar tradisional, pasar swalayan dan sebagainya.

Sebagai contohnya, Pemasaran lele konsumsi dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama adalah penjualan secara langsung kepada pedagang pengumpul. Para pedagang biasanya berkeliling ke petani ikan dan kolam pemeliharaan lele sambil menanyakan jadwal panen. 
Selanjutnya, beberapa minggu sebelum panen, pedagang akan kembali. Dengan demikian, setiap panen lele selalu ada pedagang pengumpul yang siap membeli hasil panen. Kedua adalah dengan menawarkan hasil panen ke pasar. Biasanya di pasar ada pedagang yang siap membeli hasil panen lele dalam keadaan hidup. Sebaiknya petani menghubungi pedagang beberapa hari sebelum panen. Pemasaran lele tidak terbatas pada ukuran konsumsi saja. Lele ukuran benih pun dapat dipasarkan ke pasar. Pemasaran benih biasanya ke pedagang benih eceran atau pedagang benih pengumpul. Biasanya petani pembesar ikan ikan lele sudah langganan pada peternak atau pembenih lele. Harga benih biasanya ditentukan oleh ukuran.

Umumnya pemasaran ikan lele pada masyarakat dilakukan olah pedagang pengumpul langsung datang ke kolam pembesaran sekaligus melakukan penyortiran. Harga penjualan langsung di kolam relative murah lebih murah dibandingkan jika dikirim ke tempat pedagang sekitar Rp. 5000,00 per kg. Sistem penjualan langsung di tempat kolam relatif lebih mudah dan menguntungkan bagi petani ikan atau pembudidaya pemula karena tidak menanggung kematian ikan selama transportasi dan penyusutan bobot lele atau perbedaan timbangan. Para pedagang pengumpul biasanya menginginkan ikan lele dengan ukuran tertentu, yaitu ukuran 8-12 ekor/kg. selain ukuran tersebut, harga ikan lele dihargai lebih murah sekitar Rp. 1.000,00 - Rp. 1.500,00. Harga lokal sangat bervariasi tergantung dari jauh dekatnya sumber komoditas dan jumlah permintaan dan penawaran terhadap komoditas tersebut.

Selain faktor lahan, berbicara budidaya ikan maka tidak bisa jauh dengan perairan. Di daerah rawa-rawa maupun lahan bekas padi gagal panen dapat mengandalkan tadah air hujan sebagai sumber pengairannya. Selain itu pengadaan air juga dapat dilakukan dengan sistem resirkulasi, yaitu sistem budidaya ikan yang memanfaatkan air kolam secara berulang-ulang sehingga dapat menghemat pemakaian air. Agar tidak membahayakan kehidupan ikan, karena penurunan kualitas air, sebelum air dipergunakan kembali air harus disaring terlebih dahulu supaya sisa makanan dan kotoran hasil metabolisme akan terbuang. Dengan demikian, kualitas air akan tetap terjaga dalam kondisi yang memadai untuk kehidupan ikan.

Pasar ikan benih dan ikan konsumtif di Indonesia menjadi 3 bagian, (Bejo, 2005): pasar tradisional, pasar potensial, dan pasar temporer. Pasar tradisional baik benih maupun ikan konsumsi terdapat di pasar-pasar tradisional Bojonegoro, pasar kecamatan, karena memang para pembeli disini umumnya para pengecer maupun langsung para konsumen.  Pasar temporer merupakan pasar yang dapat terjadi sewaktu-waktu dalam waktu yang tidak tentu (tidak rutin) pasar ini biasanya terjadi pada peristiwa tertentu. Misalnya pasar murah, bazaar dan sebagainya. Sedangkan terakhir adalah pasar potensial khususnya benih ukuran kecil. Benih-benih tersebut dapat dipasarkan di pasar local untuk system pembesaran di kolam, keramba, dan pen. Disebut potensial karena jumlahnya cukup besar dan terus meningkat.

Sanggupkah Bojonegoro menjadikan Perikanan sebagai salah satu sektor dalam merintis pengembangan wilayah, sehingga tercipta perikanan terpadu, sektor yang mampu menunjang otonomi daerah?

* Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Perikanan Universitas Gadjah Mada. Ketua Ikatan Mahasiswa Bojonegoro Periode 2012.


Oleh: Johanis Hiariey Pendahuluan Perikanan sejak zaman dahulu telah merupakan sumber pangan bagi umat manusia, penyedia lapangan kerja,...

Oleh: Johanis Hiariey
Pendahuluan
Perikanan sejak zaman dahulu telah merupakan sumber pangan bagi umat manusia, penyedia lapangan kerja, dan memberikan manfaat ekonomi bagi mereka yang terlibat dalam kegiatan perikanan. Dengan meningkatnya pengetahuan dan perkembangan perikanan yang dinamis, disadari bahwa walaupun bersifat dapat dibaharui (renewable resources), ketersediaan sumberdaya ikan bukanlah tak terbatas. Perkembangan perikanan telah mengubah pola pemanfaatan sumberdaya ikan dari sekedar sumber pangan menjadi cara hidup (way of life) dan kebutuhan ekonomi.

Di Indonesia perkembangan perikanan pada abad ke 15 dan 16 oleh kelompok etnis Bajini, Makasar, Bugis dan Bajo telah dilakukan perdagangan teripang dan trochusdengan pedagang Cina. Kegiatan perikanan Indonesia sebelum tahun 1900-an masih bersifat subsisten didominasi oleh masyarakat pesisir untuk memenuhi kebutuhan pangan dan perdagangannya terbatas. Perikanan subsisten kemudian menjadi komersil, dan pada tahun 1900-an perikanan berkembang cukup drastis sejalan dengan urbanisasi, perkembangan transportasi dan sistem pemasaran.Dalam sejarah peradaban manusia, perikanan telah menduduki tempat penting dalam struktur ekonomi wilayah tertentu. Misalnya, sumberdaya ikan telah digunakan sebagai sumber pendapatan masyarakat Phoenic dan Yunani kuno. Pada zaman kekaisaran Romawi kuno, akivitas pelelangan ikan bahkan pernah tercatat setara dengan US$ 24000 saat ini. Pada periode Sebelum Masehi dan Mesir kuno perikanan telah menjadi aktivitas ekonomi bagi kehidupan masyarakat saat itu. Pada masyarakt Eropa di abad pertengahan khususnya Islandia telah memanfaatkan ikan sebagai “mata uang” yang sah. Penangkapan ikan paus telah menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi Amerika di abad ke-19, dimana minyak ikan merupakan komoditas penting yang digunakan bagi kebutuhan penerangan rumah tangga hingga pelumas mesin serta barang lainnya yang diekstrak (Fauzi, 2010).
Kegiatan perikanan di abad modern telah bergeser dari urusan ekonomi lokal menjadi ekonomi global dengan nilai perdagangan mencapai miliaran dollar. Nilai perdagangan produk perikanan global mencapai US$ 15 milyar pada tahun 1950-an, dan terus meningkat mencapai US$ 86 milyar pada tahun 2006 (Food and Agriculture Organization, FAO, 2009). Bahkan perikanan dunia abad modern ini telah menjadi sektor industri makanan yang berkembang dinamis, dan telah menarik perhatian berbagai negara termasuk Indonesia untuk mengambil keuntungan melalui investasi pada armada perikanan modern dan industri pengolahan dalam merespon perkembangan permintaan ikan global. Akibatnya terjadi eskalasi yang luar biasa menyangkut eksploitasi sumberdaya ikan yang terus meningkat dan menimbulkan krisis perikanan.
Selain itu, perkembangan perikanan global di abad modern telah berperan dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani untuk lebih dari 2,9 milyar penduduk dunia, penyediaan lapangan kerja untuk 43,5 juta jiwa, peningkatan teknologi penangkapan ikan, perubahan modal penangkapan ikan, dan sebagai “mesin pertumbuhan” ekonomi regional tertentu (Fauzi, 2010).
Perikanan Indonesia pada periode tahun 2000-2006 telah menghasilkan devisa US$ 2,10 milyar dari ekspor hasil perikanan (DKP 2007). Nilai perikanan Indonesia berdasarkan landing value pada tahun 2006 menghasilkan US$ 91 milyar dari perikanan tangkap, dan budidaya US$79 milyar seperti dicatat oleh FAO (2009). Selain itu, perkembangan produksi perikanan tangkap juga diperlihatkan oleh Indonesia, yaitu tercatat 800.000 ton pada tahun 1968 dan meningkat tajam menjadi lebih dari 4 juta ton pada tahun 2003. FAO mengemukakan bahwa indikasi overexploitation stok ikan ekonomis penting, modifikasi ekosistem, kerugian ekonomi yang nyata, konflik global dalam pengelolaan dan perdagangan ikan telah mengancam keberlanjutan perikanan dalam jangka panjang dan kontribusi perikanan terhadap suplai pangan.
Kegiatan perikanan yang terus berkembang sesuai peradaban manusia hingga pada zaman modern ini menggambarkan kondisi eksploitasi sumberdaya ikan telah dilakukan secara besar-besaran hampir di seluruh dunia. Eksploitasi telah menimbulkan permasalahan degradasi stok sumberdaya dan lingkungan laut karena ulah manusia. Bahkan masyarakat internasional sangat pesimis dengan kondisi sumberdaya ikan di zaman ini, seperti diungkapkan oleh Boris Worm pada tahun 2006 bahwa kematian sumberdaya ikan sangat cepat terjadi Fauzi, 2007). Disimpulkan pula bahwa kehilangan keragaman hayati laut yang terjadi akan menurunkan kapasitas laut untuk menyediakan pangan bagi manusia. Bila trend eksploitasi sumberdaya ikan saat ini tidak berubah, akan berdampak serius terhadap krisis perikanan dunia termasuk Indonesia.
Pengelolaan perikanan yang buruk akan berdampak terhadap keberlanjutan perikanan seperti yang dialami oleh pemerintah Kanada dalam pembangunan perikanan pada tahun 1980-an (Fauzi, 2005). Kegagalan pembangunan perikanan ketika itu ternyata disebabkan oleh overcapacity sehingga perikanan di pantai Barat Kanada sulit berkembang. Dikemukakan pula, bahwa perkembangan pesat di bidang teknologi penangkapan ikan tidak saja berdampak positif terhadap produksi ikan secara global, tetapi juga berdampak negatif terhadap menurunnya beberapa stok ikan di berbagai perairan. Penurunan ini menimbulkan masalah ekonomi selain  masalah sosial yang cukup pelik. Selanjutnya dijelaskan bahwa berdasarkan bukti-bukti ilmiah menurunnya stok sumberdaya ikan lebih disebabkan oleh penangkapan yang berlebihan dibandingkan faktor alamiah. Sehingga masalah utama krisis perikanan adalah tidak terkendalinya intervensi manusia dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya ikan.
Menurut catatan FAO (2009), pada tahun 2007 sekitar 28% stok ikan dunia berstatus overexploited, dan sekitar 52% berstatus fully-exploited, sedangkan hanya sekitar 20% stok ikan dunia berstatus moderately exploited. Kondisi stok ikan overexploited sekitar 52% mengindikasikan krisis perikanan dunia.
Di Indonesia, dengan perbedaan kondisi lingkungan yang tidak homogen, perbedaan karakter sumberdaya ikan dan tipologi perikanan menghendaki suatu perencanaan pengelolaan perikanan  berbasis Wilayah Pengelolaan Perikanan, WPP (Nurhakim, et al., 2007). Berdasarkan hasil kajiannya, tingkat eksploitasi sumberdaya ikan pada WPP di seluruh Indonesia adalah bervariasi. Sekitar 50% potensi sumberdaya ikan di perairan Indonesia berstatus over-exploited dan fully exploited artinya peluang pengembangan kedepan adalah semakin kecil.
Secara teoritis, penambahan alat tangkap pada kondisi regulated open-access tanpa memperhatikan kapasitas perikanan akan menyebabkan kegiatan penangkapan tidak efisien. Kelebihan kapasitas perikanan dapat menimbulkan overfishing, inefisiensi dan pemborosan sumberdaya ekonomi pada kegiatan perikanan, masalah subsidi, dan kemiskinan nelayan. Dengan kata lain, kelebihan kapasitas dapat mengarah pada tekanan terhadap potensi sumberdaya ikan, kelebihan modal atau kapal penangkap dan “under-utilizatiton” kapasitas penangkapan yang mengarah pada pemborosan sumberdaya ekonomi. Pada kondisi tersebut penting untuk melakukan reorientasi alokasi sumberdaya ekonomi dalam mengembangkan bisnis perikanan yang berbasis sumberdaya ikan dan lingkungan, dimana sumberdaya ikan mestinya dipandang sebagai stok modal yang sebaiknya dikelola secara bertanggungjawab dan berkelanjutan. Dalam hal ini efisiensi alokasi faktor produksi penting diterapkan dengan mempertimbangkan keberlanjutan potensi sumberdaya ikan, sehingga bukan saja dapat memenuhi kaidah pembangunan berkelanjutan tetapi juga mampu meraup keuntungan ekonomi yang maksimal.
Kapasitas perikanan bersifat krusial dan telah mendapat perhatian FAO sejak tahun 1999. Perhatian FAO tersebut diwujudkan melalui seruannya agar perikanan di dunia termasuk Indonesia dikelola dalam kapasitas perikanan yang efisien, equitable, dan transparan. Dalam perspektif  pengembangan perikanan ke depan, kapasitas perikanan merupakan dimensi penting untuk menghasilkan informasi strategis bagi arahan implementasi kebijakan, ketika timbul gejala penurunan produksi perikanan tangkap.
Pendekatan berbasis sumberdaya adalah seiring dengan pemikiran Gubernur California Arnold Schwarzenegger yang dikemukakan dalam wawancaranya pada majalah Fortune edisi April 2007, bahwa “Market based solutions alone  won’t work! … This is the new direction we are going to go! Inilah arah baru yang seharusnya diikuti. Arah baru pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan ramah terhadap sumberdaya alam dan lingkungan. The new direction ini seakan menjungkirbalikan pandangan eksploitasi secara berlebihan tanpa memperhatikan kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan (Fauzi, 2007).
Karakteristik Sumberdaya Ikan
Perikanan atau fishing memiliki karakteristik yang berbeda dengan aquaculture. Perbedaan tersebut bukan hanya terbatas pada mobilitas sumberdaya dan proses eksploitasi, tetapi juga dalam struktur kepemilikan sumberdaya. Eksploitasi sumberdaya ikan berlangsung sesuai doktrin res nullius artinya objek yang seharusnya bisa dimiliki tetapi tidak bisa dimiliki secara individu. Karakteristik tersebut kemudian menimbulkan kepemilikan bersifat common property, namun ketika ikan tersebut telah ditangkap, maka menjadi milik seseorang (Fauzi, 2010).
Konsep tentang sumberdaya alam sebagai common property telah diperdebatkan sekitar 50 tahun lalu oleh para ahli. Disebutkan bahwa institusi common propertytelah memainkan peranan penting dalam pengelolaan sumberdaya alam hingga saat ini dan telah mendapat perhatian ahli, setelah Garret Hardin mengemukakan berbagai dampak pemanfaatan sumberdaya dalam artikelnya Tragedy of The Commons.
Sumberdaya ikan sebagai common property dimulai dengan tulisan Gordon yang berjudul The Economic Theory of Common Property Resources: The Fishery dalamJournal of Political Economy terbitan tahun 1954. Dikemukakan bahwa sumberdaya ikan menjadi khas dan tidak biasa karena sifat common property. Dampak pengelolaan sumberdaya common property yaitu tidak membuat keadaan buruk nelayan dan inefisiensi produksi perikanan menjadi lebih baik.
Karakteristik common property sebagai sifat khas sumberdaya terdiri dari tiga sifat utama (Nikijuluw, 2002). Pertama, sifat ekskludabilitas berkaitan dengan pengendalian dan pengawasan terhadap akses sumberdaya. Implementasi pengendalian dan pengawasan pada sumberdaya ikan dengan sifat mobilitas pada perairan laut merupakan suatu tugas yang sulit dan mahal. Otoritas pengelolaan sumberdaya cukup sulit untuk mengetahui dan memaksa pebisnis keluar dari bisnis yang telah digelutinya. Sifat substrakbilitas, merupakan situasi ketika seseorang mampu dan dapat menarik seluruh atau sebagian manfaat dan keuntungan yang dimiliki orang lain. Sekalipun para pengguna melakukan kerjasama dalam pengelolaan sumberdaya, aksi seseorang memanfaatkan sumberdaya ikan berpengaruh terhadap kemampuan pihak lain yang memanfaatkan sumberdaya yang sama.  Sifat ini menimbulkan kompetisi terselubung sekalipun dibawah payung kerjasama. Ketiga, sifat indivisibilitas, yang menggambarkan bahwa sumberdaya common property sulit dipisahkan dan dibagi-bagi.
Walaupun pembagian dan pemisahan menurut batas-batas geografis serta administrasi dapat dilakukan oleh otoritas manejemen bagi kepentingan penggunaannya, akan tetapi pada kenyataannya tidak mudah dilakukan. Secara faktual, sumberdaya common property, umumnya tidak mengenal batas-batas dimaksud. Keseluruhan sifat common property ini mengindikasikan bahwa pengendalian dan pengawasan sumberdaya agak sulit dilakukan, sehingga pengelolaan sumberdaya ikan menuntut suatu pendekatan yang khas.
Dari sudut pandang ekonomi sumberdaya, adanya kepemilikan yang jelas, akan mendorong produsen memanfaatkan seluruh faktor produksi secara efisien untuk menghasilkan produksi dengan biaya minimal. Namun, dalam kasus perikanan dengan sifat common property, maka siapa saja yang memiliki alat tangkap dapat menangkap ikan, dan nelayan tidak dapat mencegah nelayan lain untuk menangkap. Ini menimbulkan kompetisi diantara nelayan untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya.
Peningkatan laju pemanfaatan sumberdaya ikan akan menimbulkan krisis perikanan ketika laju eksploitasi sumberdaya ikan telah melampaui kemampuan regenerasinya. Penangkapan yang berlebihan dapat menimbulkan penurunan stok sumberdaya ikan dan pemulihannya dapat dilakukan melalui pengurangan tekanan terhadap sumberdaya. Ketika nelayan kurang menyadari bertambahnya biaya marjinal dalam penangkapan ikan maka secara keseluruhan terlalu banyak modal atau kapital dialokasikan pada perikanan, sehingga akan mengarah pada overexploitation sumberdaya ikan.
Tantangan untuk mempertahankan ketersediaan stok sumberdaya ikan secara berkelanjutan adalah sangat kompleks, ditinjau dari sisi pemanfaatan dan kelestarian sumberdaya ikan. Kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan: “berapa jumlah potensi sumberdaya ikan yang dapat ditangkap tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap keberlanjutan usaha perikanan dan kondisi sumberdaya ikan untuk masa mendatang?” Pertanyaan tersebut sulit dijawab tanpa suatu penelitian ilmiah melalui evaluasi kinerja usaha perikanan berupa kapasitas dan efisiensi, serta status pemanfaatan sumberdaya.
Konsep Dasar Ekonomi Perikanan
Artikel Gordon, Scott, dan Schaefer merupakan tiga artikel utama tentang disiplin ekonomi perikanan yang menghasilkan pemikiran dasar teori ekonomi perikanan, khususnya perikanan open access (Anderson, 2002). Dari sudut pandang ekonomi, perikanan diartikan sebagai suatu stok sumberdaya ikan dan perusahaan yang memiliki potensi untuk mengeksploitasi stok tersebut. Dikemukakan bahwa variabel yang krusial dari stok ikan adalah ukuran dan tingkat pertumbuhan. Tingkat pertumbuhan tergantung pada reproduksi, pertumbuhan individu, dan mortalitas. Sedangkan variabel utama dari perusahaan adalah total upaya penangkapan, hasil tangkapan, biaya dan penerimaan perikanan. Upaya penangkapan merupakan ukuran dari jumlah kapal, kemampuan tangkap, distribusi spasial, waktu yang dialokasikan pada penangkapan, dan skill ABK.
Dalam analisis logistik Schaefer, pertumbuhan stok ikan diasumsikan sebagai fungsi dari ukuran beratnya. Biomasa stok ikan secara alamiah cenderung meningkat dan bervariasi tergantung pada ukurannya dan akan terus bertumbuh hingga pada suatu berat maksimum, dan dipertahankan keseimbangannya. Kondisi ini disebut sebagai ukuran keseimbangan alamiah. Jika dimisalkan (xt) adalah pertumbuhan populasi ikan pada periode t, dan r merupakan tingkat pertumbuhan intrinsik dari populasi, sertaK sebagai daya dukung lingkungan atau keseimbangan alamiah stok ikan pada suatu daerah terbatas maka pertumbuhan stok ikan pada periode t adalah fungsi dari populasi awal, tingkat pertumbuhan alamiah populasi ikan, dan daya dukung lingkungan. Fungsi pertumbuhan populasi ikan tersebut dikenal sebagai density dependent growth (Fauzi, 2004).
Pada kondisi keseimbangan di mana laju pertumbuhan sama dengan nol, tingkat pertumbuhan populasi akan sama dengan daya dukung lingkungan. Kondisi maksimum pertumbuhan akan tercapai pada kondisi setengah dari daya dukung lingkungan atau sebesar K/2. Kondisi maksimum pertumbuhan (K/2) ini dikenal sebagai maximum sustainable yield (MSY). Selanjutnya, perubahan stok ikan menurut waktu dapat digambarkan sebagai kurva sigmoid. Perubahan stok ikan untuk mencapai keseimbangan maksimum adalah dipengaruhi oleh daya dukung lingkungan (K) dan tingkat pertumbuhan intrinsik (r). Perubahan stok tersebut terjadi secara alamiah atau tanpa intervensi manusia berupa eksploitasi sumberdaya ikan.
Model fungsi pertumbuhan logistik merupakan salah satu bentuk fungsi density dependent growth yang cukup sederhana dan banyak digunakan dalam kajian ekonomi sumberdaya perikanan. Ini disebabkan penggunaan model produksi surplus hanya membutuhkan data hasil tangkapan rata-rata (CPUEt) sebagai variabel tak bebas, dengan variabel bebas biomasa Xt, upaya penangkapan Et, dan tingkat penangkapan. Parameter lain yang dibutuhkan adalah laju pertumbuhan alamiah, daya dukung lingkungan, dan kemampuan penangkapan.
Model produksi surplus merupakan model matematis sederhana yang populer untuk mengkaji stok ikan berdasarkan data hasil tangkapan (catch) dan upaya penangkapan (effort). Dengan bertambahnya upaya penangkapan, hasil tangkapanpun terus bertambah hingga mencapai titik maksimum yang disebut titik MSY. Penambahan upaya penangkapan setelah titik MSY, menghasilkan produksi yang menurun. Model ini dapat digunakan untuk menentukan tingkat upaya optimal yang dapat menghasilkan produksi ikan lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok ikan dalam jangka panjang, atau hasil tangkapan lestari, MSY.
Pada usaha penangkapan ikan, kapal dan input lainnya secara langsung dapat dikendalikan oleh nelayan, kecuali produksi yang tidak dapat dikendalikan secara langsung. Ini disebabkan oleh jumlah produksi tergantung pada tingkat upaya penangkapan dan besarnya populasi ikan. Dengan menggunakan model produksi yang didasarkan pada sifat biologis dapat diketahui potensi produksi dari sumberdaya ikan sekaligus tingkat produksi maksimum yang dapat dicapai. Namun, model tersebut belum menggambarkan perilaku dan potensi ekonomi industri penangkapan ikan dan keuntungan ekonomi maksimum bagi masyarakat. Dengan demikian, dibutuhkan suatu pendekatan yang dapat memadukan kekuatan ekonomi yang mempengaruhi penangkapan ikan dan aspek biologis sumberdaya ikan. Pendekatan tersebut dikenal sebagai model bioekonomi Gordon-Schaefer, yang didasarkan pada model produksi surplus yang dikembangkan oleh Graham. Model bioekonomi Gordon-Schaefer (GS) bermanfaat untuk mengkaji aspek ekonomi dengan kendala biologi sumberdaya ikan, berapa tingkat input atau faktor produksi perikanan (jumlah kapal GT, trip, dan sebagainya) yang harus dikendalikan untuk menghasilkan manfaat ekonomi maksimum. Disamping itu, model bioekonomi berguna untuk menjelaskan konsep economic overfishing dan perikanan open access.
Intervensi manusia melalui kegiatan penangkapan ikan merupakan fungsi dari kemampuan penangkapan (q), stok ikan (x), dan upaya penangkapan (E). Hasil dari intervensi manusia adalah berupa hasil tangkapan atau produksi ikan. Dengan demikian, pertumbuhan stok ikan menurut waktu akibat intervensi manusia melalui penangkapan ikan adalah merupakan selisih dari pertumbuhan populasi alamiah dan produksi ikan melalui penangkapan. Atau dapat dikatakan bahwa tingkat pertumbuhan stok menurut waktu dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti upaya penangkapan, kemampuan penangkapan dan stok ikan
Jika diasumsikan terjadi kondisi “keseimbangan pertumbuhan” atau pertumbuhan ikan menurut waktu sama dengan nol, 0, maka model pertumbuhan Schaefer dapat ditransformasikan untuk menentukan suatu hubungan antara upaya penangkapan (effort) dan hasil penangkapan ikan (output). Pada kondisi tersebut, pertumbuhan populasi adalah dimanfaatkan seluruhnya. Selanjutnya, berdasarkan pendekatan fungsi pada kondisi keseimbangan tersebut maka dapat diestimasi koefisien kemampuan penangkapan, upaya penangkapan, daya dukung lingkungan, pertumbuhan populasi  dan stok ikan.
Pada model bioekonomik dalam perikanan open access, dengan diasumsikan bahwa fungsi produksi perikanan berada dalam kondisi keseimbangan biologis seperti diuraikan sebelumnya maka nilai pendapatan bersih (Ï€) dari kegiatan penangkapan ikan adalah selisih antara total revenue (TR) dan total cost (TC). Pada saat TR =TC, terjadi produksi keseimbangan, sehingga pendapatan bersih atau rente ekonomi sumberdaya ikan adalah nol, (Ï€) = 0. Jika biomasa berada pada kondisi keseimbangan maka produksi yang dihasilkan akan berada dalam keseimbangan biologis maupun ekonomis, dikenal sebagai keseimbangan bioekonomi (bioeconomic equilibrium). Selanjutnya, dalam kondisi keseimbangan jangka panjang, upaya penangkapan ikan akan berkurang bahkan berhenti ketika nilai TR ≤ TC, karena penerimaan ekonomi yang dihasilkan adalah sama dengan biaya penangkapan bahkan lebih kecil, sehingga rangsangan untuk masuk maupun keluar industri perikanan menjadi berkurang bahkan tidak ada. Pada kondisi ini unit penangkapan ikan mengalami kerugian.
Kemudian, jika kurva TC memotong kurva TR pada tingkat upaya penangkapan yang lebih besar dari pada upaya yang dibutuhkan untuk mencapai MSY, maka kondisi tersebut mengindikasikan over-exploitation. Jika tingkat upaya penangkapan ikan berada pada posisi sebelah kiri dari pada upaya penangkapan yang dibutuhkan untuk kondisi TR = TC, maka penerimaan rata-rata per unit upaya penangkapan (AR) adalah lebih besar dari pada biaya rata-rata per unit penangkapan ikan (AC), atau AR>AC. Kondisi ini merangsang unit penangkapan untuk memperbesar upaya penangkapan bahkan akan memotivasi unit penangkapan baru untuk memasuki usaha penangkapan ikan.
Gambar 1. Keseimbangan bioekonomi model Gordon-Schaefer
(Diadopsi dari Fauzi, 2010 dan dimodifikasi)

Selain MEY, MSY dan OAY, konsep rente ekonomi yang telah dikemukakan sebelumnya digunakan sebagai indikator ekonomi untuk mengukur keberlanjutan perikanan. Rente ini terjadi jika perikanan dikelola optimal, dan rente ekonomi maksimal yang dihasilkan adalah profit pada MEY. Artinya, pada rente maksimal, perikanan berlangsung efisien. Sebagi contoh, model bioekonomi GS digunakan oleh Hiariey (2009) untuk menjelaskan tingkat pemanfaatan sumberdaya pelagis kecil di WPP-714 Maluku pada berbagai rezim pengelolaan (Tabel 1).
Tabel 1.  Hasil analisis bioekonomi pengelolaan pelagis kecil
Variabel (unit)SimbolRezim Pengelolaan
MEYMSYOpen Acces
Upaya (trip)E7747,717945,4815495,41
Produksi (ton)H57535,2357589,575184,11
Rente ekonomi (Rp Juta)Ï€200542,58200499,420,00
Biomassa (ton)X491794,57480716,7222156,15
Model GS yang dianalisis telah mengakomodir prinsip dasar pengelolaan perikanan. Informasi yang dihasilkan berupa upaya penangkapan, produksi lestari, biomasa, dan rente ekonomi dapat digunakan sebagai informasi awal untuk mengetahui status pengelolaan sumberdaya pelagis kecil pada rezim MEY, MSY, dan open access. Hasil analisis pada Tabel 1 menggambarkan kapasitas output tertinggi terjadi pada MSY dibandingkan MEY dan open access, namun MSY menghasilkan profit yang lebih rendah dari pada MEY. Hasil analisis di atas memberikan implikasi terhadap: (i) peningkatan produksi ikan pada MSY; (ii) perluasan kesempatan kerja bagi masyarakat nelayan pada open access; dan (iii) pengembangan perikanan tangkap secara ekonomis ditinjau dari sisi rente ekonomi dan keberlanjutan sumberdaya ikan pada MEY. Ke-tiga implikasi tersebut searah dengan tiga pilar utama kebijakan pembangunan nasional saat ini, yaitu pro-jobpro-poorpro-growth, termasuk pro-environment.
Masalah Overfishing dan Overcapacity
A. Overfishing
Karakteristik sumberdaya ikan common property resources dan open access (Gordon 1954), menimbulkan kompetisi dalam proses penangkapan. Umumnya, kondisiopen access akan menimbulkan economic overfishing, karena perikanan tidak terkontrol. Kondisi tersebut berdampak terhadap pengelolaan sumberdaya ikan berupa eksploitasi berlebihan (over-exploitation), investasi berlebihan (over-capitalization), dan tenaga kerja berlebihan (over-employment).
Hingga kini masih ada pandangan bahwa sumberdaya ikan adalah tak terbatas sehingga tidak dibutuhkan pembatasan dalam kegiatan penangkapan. Anggapan tersebut adalah sejalan dengan pemikiran Hugo Grotius yang tertulis dalam Ocean and Law Coastal Journal, bahwa penangkapan di laut bersifat bebas sehingga tidak mungkin menghabiskan kekayaan laut tersebut. Namun, dengan bertambahnya penduduk dunia dan berkembangnya teknologi kelautan, menjadi semakin jelas gambaran kepada kita bahwa sumberdaya ikan dapat habis, apabila dieksploitasi secara tidak baik. Eksploitasi sumberdaya ikan secara kontinu menghendaki berbagai upaya untuk mengendalikan “race to fish”, yang mengarah pada overcapacity dan overfishing (Rogoffs, 2009). Kebanyakan perikanan saat ini dicirikan oleh exces capacity pada armada penangkapan, nelayan, dan penerimaan ekonomi rendah, yang pada gilirannya menimbulkan overfishing (Gambar 1).
Overfishing dapat diartikan sebagai jumlah ikan yang tertangkap melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahankan stok ikan dalam daerah penangkapan tertentu (FAO, 2005). Intinya, overfishing merupakan suatu gejala atau masalah ekonomi mendasar dibanding masalah overfishing itu sendiri (Schmid and Cox, 2005).Overfishing merupakan masalah serius bagi nelayan yang hidupnya tergantung pada sumberdaya ikan, dan bagi masyarakat yang ekonominya tergantung pada penangkapan ikan, serta mereka yang bergantung pada sumberdaya ikan sebagai sumber pangan.
Economic overfishing berkaitan dengan jumlah input (kapal penangkap) yang dialokasikan dalam proses penangkapan. Atau jumlah input yang dibutuhkan lebih besar dari pada jumlah input pada tingkat rente ekonomi maksimum. Ini dapat dijelaskan melalui pendekatan GS dengan formula, dinamika stok; dan rente ekonomi.
Economic overfishing dapat berakibat economic loss yang sangat besar. Sebagai contoh, nilai pendaratan ikan di Great Britain dari tahun 1960 hingga 1999, berkurang sebesar 80%, yaitu dari £880 juta menjadi £196 juta (Mac Garvin 2001). Dampak overfishing terhadap economic loss pernah dihitung olah Fauzi (2005) terhadap  satu jenis ikan pelagis kecil di Jawa Tengah mencapai nilai sebesar 20 milyar rupiah per tahun. Kedua contoh economic loss tersebut, setidaknya menggambarkan bahwaoverexploitation stok ikan menimbulkan masalah ekologi dan ekonomi.
Overfishing dan overcapacity yang melanda perikanan dunia juga berdampak terhadap rente, produksi ikan, dan sumberdaya ikan. Misalnya, pengurangan rente sumberdaya yakni penerimaan global sekitar US $95 milyar sedangkan total biaya penangkapannya mencapai US $92 milyar pada tahun 2005 (Srinivasan et. al., 2012). Selain itu, dikemukakan bahwa konsumsi ikan terus meningkat sekitar 9% dari tahun 2002 hingga 2006, sedangkan hasil tangkapan perikanan dunia dalam dua dekade terakhir mengalami stagnasi. Diestimasi pula bahwa pada saat ini sekitar 1/3 stok perikanan dunia telah mengalami overexploitation.
Indikator  overfishing suatu wilayah perairan (Nikijuluw 2002) antara lain: (i) menurunnya produksi dan produktivitas penangkapan; (ii) ukuran ikan yang menjadi target penangkapan semakin kecil; (iv)  hilangnya spesies ikan yang menjadi target penangkapan ikan; dan (4)  munculnya spesies ikan non-target dalam jumlah banyak. Fenomena overfishing akan terus meningkat dengan menurunnya hasil penangkapan ikan ekonomis penting serta gejala produksi yang tidak stabil sehingga grafik penangkapan dalam satuan waktu berfluktuatif atau tak menentu.
Pemecahan masalah overfishing merupakan suatu tugas yang kompleks, sehingga tidak bisa dipecahkan secara parsial tetapi perlu melibatkan stakeholder. Pemberian subsidi pada sektor perikanan tanpa memperhatikan jumlah stok ikan bukan merupakan solusi tepat, karena pemberian subsidi tersebut akan menambah kapasitas penangkapan ikan tetapi stok ikan relatif tidak bertambah. Konsekuensinya akan menimbulkan masalah overcapacity, maupun overfishing. Thomas Hojrup dariUniversity of Copenhagen, Brussels, dalam tulisannya berjudul Fish for the Future menyimpulkan bahwa untuk mengurangi “overfishing” dituntut suatu kemauan dan itikad baik untuk mengendalikan perikanan secara efektif (Hojrup, 2011). Beberapa usulan kegiatan dalam mengurangi overfishing antara lain, adalah:
(a)      Efisiensi ekonomi berbasis kegiatan
  • Menghilangkan subsidi bagi pengadaan armada baru dan modernisasi kapal penangkap;
  • Pengurangan kapasitas perikanan;
  • Mentransfer hak/izin penangkapan sebagai suatu aset kebutuhan finansial;
(b)      Kegiatan kelembagaan
  • Peningkatan efisiensi kelembagaan dalam pengelolaan perikanan;
  • Implementasi CCRF pada rencana pembangunan perikanan secara baik dan kontinu;
  • Efisiensi ekonomi dan kelembagaan pada kegiatan internasional;
(c)      Kegiatan bersifat generik
  • Pengembangan kegiatan budidaya;
  • Pengembangan kegiatan pasca panen perikanan.
Solusi overfishing berkaitan dengan solusi overcapacity, karena keduanya diibaratkan dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan. Oleh sebab itu, uraian berikut ini akan mengetengahkan kapasitas perikanan.
B. Kapasitas Perikanan
FAO pada tahun 2005 mencatat bahwa rata-rata ikan menyuplai 16% dari protein hewani, yang dikonsumsi manusia. Disamping itu, sekitar 200 juta penduduk dunia, bergantung pada industri penangkapan berskala kecil hingga skala besar. Sekitar 47% stok ikan global telah fully exploited, dan 18% overexploited yang menggambarkan semakin kecil peluang pengembangan perikanan tangkap. Armada global mencapai 3,8 juta tahun 1995 dimana 1,2 juta kapal memiliki palkah. Selanjutnya, FAO memperkirakan 25% tangkapan global tak sampai ke pasar, dan rata-rata 25 ton ikan non-target dibuang ke laut tiap tahun sejak tahun 2000an. Konsumsi ikan negara maju diperkirakan 26 kg perkapita pertahun, sedangkan konsumsi Negara berkembang sekitar 9 kg per kapita per tahun. Hal tersebut diatas merupakan konsekuensi dari overcapacity dan overfishing.
Kapasitas berdasarkan konsep teknologi diartikan sebagai output potensil maksimum yang dapat diproduksi oleh perusahaan atau industri, dengan teknologi, stok kapital dan faktor produksi lainnya tanpa keterbatasan faktor produksi dalam jangka pendek (Pascoe et al., 2003). Dari sisi ekonomi konsep kapasitas dapat diartikan sebagai tingkat output yang dapat diproduksi untuk memenuhi tujuan perilaku ekonomi seperti memaksimumkan keuntungan atau meminimumkan biaya (Morison 1985, dan Coelli et al. dalam Pascoe et al., 2003). Kapasitas perikanan secara umum diartikan sebagai faktor input dalam proses produksi (Lindebo 2004). Pada perikanan tangkap skala kecil atau tradisional, konsep kapasitas tersebut diartikan sebagai ukuran modal dan nelayan.
Fungsi produksi menggambarkan hubungan teknis antara input dan output. Bagaimana perubahan output sebagai respons terhadap transformasi input adalah bersifat urgen untuk dicermati dalam pemanfaatan sumberdaya yang dapat pulih. Pada beberapa proses produksi, output mulai meningkat bersamaan dengan meningkatnyainput, dan mungkin mencapai tingkat tertinggi pada penggunaan input tertentu. Penambahan input berikutnya akan menurunkan tingkat produksi. Pola tranformasiinput dan output tersebut berlaku dalam perikanan tangkap di mana stok sumberdaya ikan bersifat biologis..
Konsep kapasitas secara teknologi menggambarkan kondisi teknologi yang bersifat increasing, decreasing, dan constant returns to scale, dalam jangka panjang di mana tidak ada input tetap. Teknologi akan bersifat increasing, decreasing, atau constant return to scale, jika secara berturut-turut terjadi peningkatan input secara proporsional yang menghasilkan kelebihan, kurang, atau sama proporsi peningkatan dalam output. Konsep kapasitas tersebut sangat bermanfaat dalam menganalisis pola pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan.
Sejak konsep kapasitas perikanan dikemukakan oleh FAO tahun 1999 masalah kapasitas perikanan telah menjadi perhatian utama dunia dalam pengembangan sektor perikanan (Kirkley et al. 2004). Ini disebabkan kebijakan pembangunan perikanan berdasarkan kapasitas perikanan (capacity utilization dan capacity measurement) dipandang sebagai suatu konsep dan isu strategis yang mampu memberikan arahan kebijakan baru tentang revitalisasi dan rekonstruksi pembangunan perikanan di masa yang akan datang (Brown 2006).
Kapasitas penangkapan menurut FAO didefinisikan sebagai jumlah ikan maksimum pada periode waktu tertentu yang dapat diproduksi oleh armada penangkapan jika dimanfaatkan penuh, pada biomassa dan struktur umur stok ikan dan kondisi teknologi saat itu (FAO 1998). Pendekatan ini dapat menghasilkan informasi dasar tentang kapasitas dan pemanfaatan kapasitas yang bermanfaat untuk mengetahui status armada penangkapan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dalam jangka pendek.
Kelebihan kapasitas diakibatkan oleh kombinasi peningkatan jumlah kapal, perbaikan teknologi, dan ekspansi upaya penangkapan. Excess capacity merupakan perbandingan relatif antara tingkat output potensial (maksimum) terhadap tingkat output pengamatan dalam jangka pendek. Excess capacity terjadi bila perubahan dalam penawaran dan permintaan yang menyebabkan ketidakseimbangan pasar, sehingga perusahaan akhirnya mempunyai kapasitas untuk menangkap ikan terlalu banyak. Sedangkan overcapacity adalah perbedaan output potensial maksimum yang dapat diproduksi dan tingkat output optimum yang diinginkan dalam jangka panjang (misalnya konsep MSY, atau MEY). Perkembangan overcapacity merupakan konsekuensi dari hak kepemilikan sumberdaya yang tak jelas dan cara nelayan bereaksi terhadap pengaruh dan insentif yang dihadapi (FAO, 2005). Overcapacity dapat menimbulkan berbagai masalah dalam perikanan, yaitu (i) kelebihan investasi(overcapitalization) dan kelebihan tenaga kerja dalam industri penangkapan; (ii) deplesi stok sumberdaya ikan, overfishing dan degradasi habitat; (iii) penurunan tingkat pengembalian modal dan tenaga kerja, serta kualitas nelayan dan keluarganya; (iv) penggunaan sumberdaya, kapital stok, dan seluruh faktor produktif lainnya tidak efisien.
Dalam konteks perikanan Indonesia, pengukuran kapasitas perikanan sangat penting dan strategis bagi revitalisasi pembangunan perikanan. Konsep kapasitas pada skala mikro telah diterapkan oleh Fauzi dan Anna (2005) dengan teknik Data Envelopment Analysis, DEA, dan menyimpulkan bahwa excess capacity memang terjadi pada perikanan Indonesia dan menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup signifikan. Pendekatan Stochastic Production Frontier, SPF dan DEA, diterapkan oleh Hiariey (2009) dalam mengkaji status eksploitasi sumberdaya pelagis kecil di perairan Maluku, dan menyimpulkan bahwa efisiensi perikanan pelagis kecil pada musim Timur lebih tinggi dibandingkan pada musim Barat. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa kajian kapasitas khususnya pada wilayah dengan perkembangan perikanan yang pesat seperti Maluku sangat dibutuhkan untuk menghasilkan informasi ilmiah bagi perumusan strategi kebijakan pembangunan perikanan tangkap berkelanjutan.
Contoh berikut ini merupakan hasil riset tentang evaluasi kapasitas perikanan dan efisiensi penangkapan ikan pelagis di Provinsi Maluku.
Tabel 1.  Status kapasitas dan input penangkapan pelagis kecil di WPP-714

Periode/TahunTingkat efesiensiExcess capacityStatusInput penangkapan
Upaya (trip)API (unit)
19851.00000Fully utilizedDipertahankan
19860.909-55 800-349Excess capacityDikurangi
19871.00000Fully utilizedDipertahankan
19881.00000Fully utilizedDipertahankan
19890.838-120 124-651OvercapacityDikurangi
19900.897-74 468-429OvercapacityDikurangi
19910.931-56 501-289OvercapacityDikurangi
19920.951-63 512-209OvercapacityDikurangi
19930.915-61 508-369OvercapacityDikurangi
19940.882-87 392-561OvercapacityDikurangi
19950.925-65 761-400OvercapacityDikurangi
19960.849-107 286-826OvercapacityDikurangi
19970.881-87 869-616OvercapacityDikurangi
19980.763-175 004-1369OvercapacityDikurangi
19990.931-38 966-334OvercapacityDikurangi
20001.00000Fully utilizedDipertahankan
20010.869-59 836-871Excess capacityDikurangi
20020.903-34 987-812Excess capacityDikurangi
20030.890-36 685-1098Excess capacityDikurangi
20040.849-46 027-1690Excess capacityDikurangi
20051.00000Fully utilizedDipertahankan
20061.00000Fully utilizedDipertahankan
Sumber: Hiariey and Baskoro, 2010.
Kapasitas berlebih sejak tahun 1989 hingga 1999 secara kontinyu mengindikasikan perikanan pelagis kecil di perairan WPP-714 mengalami overcapacity dalam jangka panjang, periode 1989 – 1999. Kondisi overcapacity tersebut menimbulkan kelebihan eksploitasi sumberdaya pelagis kecil dan penggunaan seluruh input dalam penangkapan semakin tidak efisien.
Uraian ini menunjukan betapa pentingnya informasi pengukuran kapasitas, untuk dipertimbangkan oleh pemegang otoritas pengelolaan sumberdaya guna mengambil langkah-langkah strategis untuk mengukur kapasitas perikanan menurut skala waktu, skala ruang, dan skala unit usaha sesuai WPP di Indonesia. Hasil pengukuran kapasitas kemudian dipersanding dengan peta potensi sumberdaya ikan menurut WPP untuk mendiskripsikan perkembangan kinerja perikanan dalam rangka revitalisasi pembangunan perikanan kedepan.
Pengelolaan Fishing Capacity Ke Depan
Masalah overcapacity dan  overfishing perlu dipecahkan untuk mengatasi krisis perikanan. Kebijakan pengelolaan perikanan saat ini setidaknya melihat kondisi sumberdaya ikan yang sehat pada masa lalu, sebaiknya direkonstruksi kembali untuk tujuan pembangunan sumberdaya ikan berbasis kapasitas. Pengelolaan berbasis kapasitas dimaksudkan sebagai implementasi kebijakan dan ukuran teknis kapasitas bertujuan untuk menyeimbangkan antara input perikanan dan produksi. Tanpa pengelolaan yang efektif, kapasitas penangkapan akan terus meningkat melalui masuknya kapal penangkap ke industri penangkapan, atau melalui peningkatan investasi pada perikanan sepanjang masih ada profit. Pengembangan kerangka kebijakan bagi pengelolaan kapasitas penangkapan membutuhkan perhatian otoritas manejemen perikanan secara simultan dalam mengembangkan kebijakan untuk membatasi akses dan atau mengenakan fee pada akses.
Di Indonesia, kebijakan pembangunan perikanan mengacu pada kebijakan pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan, yang diamanatkan dalam Undang-Undang No.31 Tahun 2004. Undang-Undang tersebut telah memberikan mandat kepada pemerintah untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya ikan bagi kesejahteraan masyarakat. Mandat tersebut  dilaksanakan melalui fungsi-fungsi, sebagai berikut (Nikijuluw 2002):
Fungsi alokasi, dilakukan melalui peraturan untuk membagi sumberdaya menurut tujuan yang telah ditetapkan; Fungsi distribusi, dijalankan oleh pemerintah demi perwujudan keadilan dan kewajaran sesuai pengorbanan atau biaya yang ditanggung setiap orang, selain keberpihakan pemerintah kepada mereka yang lebih lemah; Fungsi stabilisasi, dimaksudkan agar kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan tidak berpotensi menimbulkan kondisi instabilitas yang dianggap dapat merusak tatanan sosial ekonomi masyarakat.
Manfaat ekonomi dan keberlanjutan stok ikan dapat terwujud jika perikanan dikelola secara berhati-hati dengan memperhatikan tingkat penggunaan input optimal dalam eksploitasi sumberdaya ikan. Tingkat penggunaan input secara efisien dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan, dan penilaian terhadap penggunaan inputakan memberikan kesimpulan mengenai kondisi kapasitas perikanan di suatu wilayah.
Indikasi excesscapacity dan overcapacity pada pengelolaan perikanan menghendaki suatu rencana pengelolaan perikanan (RPP) berbasis kapasitas dalam rangka pembangunan perikanan berkelanjutan. Rencana pengembangan perikanan membutuhkan informasi status sumberdaya ikan, kapasitas perikanan, efisiensi penangkapan dan alokasi optimal unit penangkapan. Pengembangan sebaiknya mengacu pada pandangan “pengelolaan perikanan berbasis kapasitas dan efisiensi bagi kesejahteraan masyarakat”, untuk menyeimbangkan faktor-faktor input penangkapan terhadap keberlanjutan potensi sumberdaya ikan.
Dalam konteks kapasitas, pembangunan perikanan tangkap perlu dilakukan dengan memperhatikan aspek status sumberdaya ikan, sistem manejemen dan strategi investasi (Soemakaryo 2006). Oleh karena itu, pengembangan perikanan sebaiknya mengacu pada: (i) landasan redistribusi, partisipatif, dan sustainable; (ii) sistem manejemen sumberdaya manusia seutuhnya; (iii) sumberdaya ikan terbatas dan kondisi overfishing; (iv) limiting entry atau efisiensi manejemen; (v) kapital dan teknologi diutamakan bagi small medium enterprises.
Perubahan paradigma perlu diikuti dengan pendekatan labor intensive untuk menyerap tenaga kerja nelayan, namun perlu dibarengi penggunaan capital technology intensive untuk meningkatkan catch ability. Implementasi capital technology intensive dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian sebaiknya diterapkan pada perikanan off-shore, untuk menghindari tergusurnya kapal berukuran kecil pada perikanan in-shore, yang sekaligus meminimalkan social cost akibat overinvestment.
Penutup
Kebebasan pemanfaatan dan kesulitan pengawasan terhadap sumberdaya ikan menghendaki suatu Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) berlandaskan kapasitas secara terpadu oleh daerah dengan wilayah administratif yang berbeda (provinsi/kabupaten/kota) namun secara langsung memanfaatkan sumberdaya ikan pada WPP yang sama. RPP tersebut setidaknya dapat memberikan arah untuk pengelolaan yang lebih jelas, terorganisir, dan transparan bagi keberlanjutan pengelolaan sumberdaya ikan secara optimal.
Keberhasilan pengelolaan kapasitas penangkapan merupakan fokus bagi pencapaian perikanan berkelanjutan. Kelebihan kapasitas (kapital atau kapal) dapat mengakibatkan inefisiensi usaha penangkapan ikan, karena terlalu banyak kapital yang menganggur dan pemborosan sumberdaya ekonomi (Kirkley et al. 2004).Greenpeace Organization dalam artikelnya berjudul “Tackling fleet overcapacity” diterbitkan bulan April 2012, telah mengusulkan program untuk mereduksiovercapacity, yaitu: (i) mengestimasi kapasitas penangkapan yang mengacu pada pembatasan penangkapan; (ii) membuat strategi pengurangan kapasitas secara tahunan minimal dalam konteks regional dengan rinci, kriteria jelas, target dan tepat waktu; dan (iii) menentukan ukuran untuk mengurangi kapasitas armada dengan memperhatikan aspek sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pesisir (Richartz, 2012).
Pengelolaan sumberdaya ikan yang efektif menghendaki pertimbangan aspek manfaat ekonomi dan keberlangsungan sumberdaya ikan. Sumberdaya ikan sebaiknya dipandang sebagai “mesin pertumbuhan” yang ditransformasi menjadi man-made capital, sehingga menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi. Namun, pemanfaatan sumberdaya ikan perlu dilakukan secara hati-hati karena adanya faktor ketidakpastian. Dengan demikian, pemanfaatan sumberdaya ikan dengan mempertimbangkan manfaat ekonomi dan kelestarian sumberdaya diharapkan dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
Daftar Pustaka
  1. Anderson L.G., 2002. Fisheries Economics. Volume 1. University of Delaware, USA.
  2. Brown J., 2006. Fishing Capacity Management in the EU Post 2002 CFP Reform. Institute for European Environmental Policy. 40pp. www.ieep.eu/publication/pdfs/fisheries [22 Februari 2008].
  3. DKP 2007. Statistik Kelautan dan Perikanan, Tahun 2006. Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Jakarta.
  4. FAO, 2005. Fishing capacity, efficiency, equitable, transparent Management. United Nation Environment Program, FAO.
  5. FAO, 2008. Fisheries Management. FAO Technical Guidline for Responsible Fisheries. Rome.
  6. FAO, 2009. The State of World Fisheries and Aquaculture 2008. Food and Agriculture Organization, Rome, Italy.
  7. FAO, 2010. The State of World Fisheries and Aquaculture 2009. Food and Agriculture Organization, Rome, Italy.
  8. Fauzi A., 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Teori dan Aplikasi. PT Gramedia Pustaka Utama.
  9. Fauzi A., dan S. Anna, 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan.  PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
  10. Fauzi A., 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Isu, Sintesis, dan Gagasan. PT Gramedia Pustaka Utama.
  11. Fauzi A., 2007. Economic of Nature’s Non-Convexity. Reorientasi Pembangunan Ekonomi Sumber Daya Alam dan Implikasinya bagi Indonesia. Institut Pertanian Bogor.
  12. Fauzi A., 2010. Ekonomi Perikanan. Teori, Kebijakan, dan Pengelolaan. PT Gramedia Pustaka Utama. Kompas Gramedia. Jakarta.
  13. Gordon, S., 1957. The Economic Theory of  a Common-Property Resource: The Fishery. Journal of Political Economics. Vol. 62, pp.124-142.
  14. Hiariey, J., 2009. Status Eksploitasi Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil di Perairan Maluku dan Kapasitas Penangkapannya. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
  15. Hiariey, J and M.S. Baskro, 2010. Fishing Capacity of the Small-Pelagic Fishery at Banda Sea, Moluccas. Journal of Coastal Development. Research Institute, Diponegoro University, Indonesia and Indonesian Association of Oceanologist, Vol. 14 No.2, February 2010.
  16. Hojrup, Th., 2011. Fish for the Future: Transferable fishing concessions. The solution to overfishing or a problem in itself? University of Copenhagen.
  17. Kirkley J.E., CJM Paul, and D. Squires., 2004. Deterministic and Stochastic Capacity Estimation for Fishery Capacity Reduction. Marine Resources Economics, Marine Resources Foundation, USA. Vol 19, pp. 271-294.
  18. Lindebo E., 2004. Managing capacity in Fisheries. Food and Resources Institute, FOI, Rolighedsvej, 2004.
  19. MacGarvin, M. 2001. Now or never: The cost of Canada’s cod collapse and disturbing parallels with the UK. A WWF Report.
  20. Nikijuluw, 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Kerjasama P3R dengan PT Pustaka Cidesindo. Jakarta.
  21. Nurhakim S., V.P.H Nikijuluw., D. Nogroho dan B.I. Prisanto. 2007. Status Perikanan Menurut Wilayah Pengelolaan. Informasi Dasar Pemanfaatan Berkelanjutan. Pusat Riset Perikanan Tangkap, BRKP, Departemen Kelautan dan Perikanan.
  22. Pascoe S., J.E. Kirkley., D. Gebroval, and C.M.J Paul., 2003. Measuring and Assessing Capacity in Fisheries. 2. Issue and Methods. FAO Fisheries Technical Paper, 433/2. FAO, UN, Rome. 2003.
  23. Richartz, S., 2012. Tackling fleet overcapacity. Guidelines for an improved analysis of the balanca between fleet capacity and fishing opportunity. Greenpeace Organization.
  24. Rogoffs, M., 2009. Overfishing and Sustainable Fisheries: A Program for Political Action. Ocean and Coastal Law Journal, vol.14:2.
  25. Schmid, Carl Ch and A. Cox., 2005. Tackling Incentive to Over-fish. Prepare for the Confrence on International Fisheries Governance. Fisheries Division of OECD.
  26. Soemokaryo, S. 2006. Manajemen Industri Perikanan Indonesia dalam Era Liberisasi Perdagangan dan Otonomi Daerah. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya, Malang.
  27. Srinivasan U. Th., R. Watson., and U.R. Sumaila, 2012. Global Fisheries Losses at the Exclusive Economic Zone Level, 1950 to present. Marine Policy. 36 (2012), Elsivier.
  28. Undang-Undang Republik Indonesia No 31 Tahun 2004 yang diubah dalam UU RI No. 45 Tahun 2009.