Oleh: Andhika Rakhmanda * Ini kisah tentang seorang nelayan tua, Kasmo namanya. Aku mengenalnya ketika praktik Kerja Lapangan di sebuah ...

Oleh: Andhika Rakhmanda*
Ini kisah tentang seorang nelayan tua, Kasmo namanya. Aku mengenalnya ketika praktik Kerja Lapangan di sebuah pulau kecil di Utara Jakarta. Bahkan jika kita berlari-lari kecil, tak sampai dua jam kita sudah bisa mengelilingi pulau kecil ini. Meski kecil, banyak orang yang menggantungkan hidupnya disini. Pulau yang padat nan kecil.
***
Malam ini laut terlihat cerah, aku melihat pak Kasmo duduk di tepian dermaga. Ia tidak melakukan aktivitasnya yang biasa, memancing cumi. Pantas saja, ini bulan purnama, laut menjadi terang, airpun pasang. Sangat sulit rasanya (atau hampir tidak mungkin) memancing dalam kondisi seperti ini.
Purnama memang indah, tapi sepertinya tidak bagi pak Kasmo. Setiap malam setelah tarawih, pak Kasmo selalu memancing cumi atau ikan lainnya untuk lauk sahur keluarga. Apa jadinya jika malam ini beliau tidak mendapatkan secuilpun ikan, mungkin saja istri dan anak-anaknya hanya makan nasi dibumbui garam asin dan kecap manis.
Kudekati pak Kasmo perlahan, ternyata dugaanku salah, beliau tidak sedang meratapi nasib. Beliau ber-dzikir. Berulang kali terdengar untaian pujian dan kebesaran terhadap Allah dan Rasul-Nya sembari kepalanya menengadah ke langit malam yang tanpa tiang itu.
“Alam ini… semesta ini, bergerak teratur dalam anasir-anasirnya, patuh terhadap ketentuan penciptanya. Manusia juga bagian dari alam, bedanya ia diberi pilihan, mau patuh atau membangkang, setiap pilihan tentu ada konsekuensinya, hanya saja ketika kita memilih yang kedua, itu berarti kita juga melawan alam, melawan semesta.” Itu gumamku ketika melihat pak Kasmo yang begitu mengimani takdir, mengimani qodo’ dan qodar.
Perihal cumi, pak Kasmo sudah menyisihkan lauk sisa buka puasa tadi sore. Pak Kasmo tidak pernah memperjuangkan dirinya untuk menjadi apa-apa dan menuntut apa-apa. Pak Kasmo lebih percaya kepada gagasan Allah terhadap dirinya, begitulah kira-kira pak Kasmo dan keluarga meyakini untuk bersungguh-sungguh berjuang menjalani hidup dalam kebahagiaan yang sederhana.
Ya, begitulah pak Kasmo. Setiap hari pak Kasmo bangun sebelum subuh, lalu menimba air di sumur untuk wudhu. Tak pernah ketinggalan adanya pak Kasmo tunduk dalam ruku’ dan sujud di sepertiga malam terakhir. Ia tahu, dan ia yakin, bahwa itulah tuntunan agama, bahwa itulah ibadah sunnah yang paling Allah cintai, bahwa itulah amal yang terus dijaga oleh Rasul.
Maka tiap kali menimba air di sumur, menarik tali karetnya yang berlumut, pada pagi buta yang dingin, pak Kasmo selalu diliputi bahagia, bahagia karena masih diberi kesempatan dan hidayah mengikuti Rasul, mencintainya, juga selalu mencintai Allah. Pak Kasmo tahu, suatu saat nanti ia mungkin akan kesulitan melakukannya, mungkin terbaring di kasur sakit-sakitan. Dan pada saat itu ia akan mengingat bahwa ia telah melakukan dengan segenap usaha yang terbaik untuk beramal dan meraih cinta Allah. Bertambahlah rasa bahagia pak Kasmo, dan bertambah pula syukurnya pada Sang Pemberi nikmat.
Mengingat itu semua, deraslah air mata pak Kasmo dalam sungkur sujudnya malam itu…
Subhanallah..
Walhamdulillah..
Karena syukur adalah mengerahkan segenap potensi untuk hal yang paling dicintai Allah (Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin).
Pulau Pramuka, 14 Ramadhan 1434 H
* Mahasiswa tingkat akhir yang sedang menyelesaikan skripsi. Pegiat Forum Kajian Perikanan UGM.
Dimuat di Republika, 21 Agustus 2013

Sejumlah mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada menggelar aksi simpatik dalam rangka peringatan Hari Nelayan Nasional di ...


Sejumlah mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada menggelar aksi simpatik dalam rangka peringatan Hari Nelayan Nasional di Bundaran UGM, Yogyakarta, Minggu (6/4/14). Mereka mendesak pemerintah untuk membuat kebijakan yang berpihak dan menyejahterakan pelaku perikanan Indonesia khsususnya nelayan dalam menghadapi ASEAN Economic Community 2015 | KAJIAN PERIKANAN

YOGYAKARTA – Indonesia dalam kurun waktu yang tidak lama lagi akan memberlakukan ASEAN Economic Community (AEC) bersama 9 negara Asia Tenggara lainnya. Tujuannya untuk membentuk terwujudnya pasar tunggal dan basis produksi di negara-negara Asia Tenggara. Integrasi tersebut akan dicapai melalui aliran barang, jasa, investasi, tenaga kerja dan perpindahan modal secara lebih bebas.
Hal ini banyak memunculkan keraguan dari berbagai kalangan mengingat pembentukan kawasan perdagangan bebas ASEAN yang mulai diterapkan pada 1 Januari 2015 ini akan menghilangkan hambatan perdagangan baik hambatan tarif maupun non tarif. Sampai saat ini lebih dari 99% produk yang tercakup dalam ASEAN mempunyai tarif berkisar 0-5% termasuk produk-produk perikanan.
Berkaitan dengan hal tersebut, Dewan Mahasiswa bekerjasama dengan Keluarga Mahasiswa Ilmu Perikanan (KMIP) dan Kelompok Studi Klinik Agromina Bahari (KAB) Fakultas Pertanian UGM mengadakan Diskusi Publik, Menelisik Kesiapan Sektor Perikanan dalam Menghadapi AEC 2015, di Fakultas Pertanian, Selasa (1/4). Diskusi yang menghadirkan Suadi, Ph.D, dosen Jurusan Perikanan UGM, Suwarman Partosuwiryo, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan D.I. Yogyakarta, serta Andhika Rakhmanda, mahasiswa Jurusan Perikanan UGM sebagai pembicara ini merupakan langkah awal dalam mempertemukan akademisi, pemerintah, dan mahasiswa untuk bersama-sama menyusun tindakan yang harus segera disiapkan dan dilakukan dalam menghadapi AEC 2015.
Suadi menuturkan bahwa keberadaan komunitas ASEAN 2015 tidak hanya akan membawa peluang dan pemanfaatan tetapi juga hambatan dan tantangan bagi Indonesia di bidang ekonomi dan non ekonomi termasuk pada sektor perikanan dan kelautan. “Saat ini kita merupakan salah satu negara pengekspor komoditas perikanan terbesar seperti udang dan tuna, hanya memang yang di ekspor masih sebatas bahan baku yang belum diolah,” ungkapnya.
Sementara Andhika Rakhmanda menilai permasalahan utama adalah peningkatan angka produksi perikanan yang tidak diikuti dengan manfaat yang dirasakan langsung oleh para pelaku perikanan, khususnya nelayan.
Andhika menjelaskan bahwa dengan bobot ukuran kapal dan hasil tangkapan yang berbeda, pendapatan nelayan buruh di Pelabuhan Sadeng, Gunung Kidul DIY; Pelabuhan Prigi, Trenggalek Jawa Timur; dan Pelabuhan Juwana Pati, Jawa Tengah berada pada kisaran yang hampir sama yakni 700 ribu – 1 juta per sekali trip. Artinya peningkatan produktivitas hasil tangkapan belum tentu berbanding lurus dengan meningkatnya pendapatan nelayan buruh, hal demikian dikarenakan sistem bagi hasil antara juragan (pemilik kapal) dan nelayan buruh yang diskriminatif.
“Itu rata-rata penghasilan ketika panen musim ikan, bagaimana jika tidak musim dan tidak melaut? Nelayan akan berhutang kepada juragan untuk menutupi kebutuhannya. Saat ini nelayan buruh adalah kelompok yang paling rentan di kalangan masyarakat pesisir. Kita perlu mendorong kelembagaan ekonomi alternatif bagi nelayan sebagai katup pengaman mereka dalam memenuhi kebutuhan-kebuhannya,” terang Andhika.

Diskusi Publik Fakultas Pertanian UGM, Selasa (1/4)
Dalam kesempatan yang sama, Suwarman mengakui, kurangnya penyuluh khususnya pada perikanan tangkap menjadi kendala dalam penerapan program-program atau bantuan pemerintah. Namun beliau menghimbau agar kita perlu membangun sikap optimis dalam membangun sektor perikanan dan kelautan Indonesia. Usaha perikanan saat ini masih menjadi sektor yang sangat potensial untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan PAD ataupun PDB. Kementrian Kelautan dan Perikanan telah menetapkan arah kebijakan dan strategi pembangunan perikanan dan kelautan melalui Industrialisasi Perikanan yang dalam pelaksanaannya memerlukan dukungan berbagai instansi dan stakeholder terkait. Lebih lanjut, Suwarman juga mengundang mahasiswa untuk turut berperan dalam mendukung kemajuan sektor perikanan dan kelautan sesuai dengan visi DIY “Among Tani Dagang Layar” yang digagas Sri Sultan Hamengkubuwono X. [Dila]

Ketertinggalan daerah satelit diakibatkan oleh ketidakpedulian negara dan atau pemerintah pusat sehingga penduduk di pedesaan dibiarkan de...

Ketertinggalan daerah satelit diakibatkan oleh ketidakpedulian negara dan atau pemerintah pusat sehingga penduduk di pedesaan dibiarkan dengan permasalahannya sendiri. (K.P. Clements, dalam Sabian, 2005: 44)
Harian Kompas (22/11) merilis ribuan komunitas nelayan, petambak, dan lembaga swadaya masyarakat berunjuk rasa di Jakarta, Indramayu (Jawa Barat), Jepara (Jawa Tengah), Pangkal Pinang (Bangka Belitung), Langkat (Sumatera), Bau-Bau (Sulawesi Tenggara) dan Manado (Sulawesi Utara) dalam rangka peringatan Hari Perikanan Sedunia yang jatuh pada 21 November. Mereka, antara lain, mendesak pemerintah untuk membuat kebijakan yang berpihak dan menyejahterakan pelaku perikanan di Indonesia. “Sejahtera itu hak!” tuntut mereka kepada petinggi Negeri Bahari ini.
Dengan luas laut 5,8 juta kilometer persegi dan garis pantai sepanjang 104.000 kilometer atau terpanjang kedua di dunia, laut ternyata belum mampu menyejahterakan. Nelayan Indonesia masih tergolong ke dalam kelompok masyarakat paling miskin dengan pendapatan per kapita per bulan sekitar 7-10 dollar AS[1]. Kondisi nelayan yang miskin saat ini bukan hanya terletak pada persoalan teknologi alat tangkap, ketersediaan sumberdaya dan pemerataan wilayah penangkapan, namun ada faktor lain yang menjadi perangkap dalam kebiasaan yang terpola lama dalam kehidupan masyarakat nelayan.
Perangkap Pranata Sosial
Masyarakat nelayan berbeda dari masyarakat pada umumnya. Pendapat ini didasarkan pada realitas sosial bahwa masyarakat nelayan memiliki pola-pola kebudayaan yang berbeda dari masyarakat lain sebagai hasil dari interaksi mereka dengan lingkungan beserta sumberdaya yang ada di dalamnya. Pola-pola kebudayaan ini menjadi refrensi perilaku masyarakat nelayan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Dua pranata strategis yang dianggap penting untuk memahami kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan adalah pranata penangkapan dan pemasaran ikan. Kedua pranata sosial ekonomi tersebut dipandang bersifat eksploitatif sehingga menjadi sumber potensial timbulnya kemiskinan struktural di kalangan masyarakat nelayan (lihat Masyhuri, 1999)[2].
Keberadaan kedua pranata tersebut terbentuk karena kebutuhan kontekstual atau pilihan rasional masyarakat nelayan. Mereka jarang mempersoalkan keberadaan pranata tersebut secara negatif. Mereka menyadari bahwa sistem pembagian hasil atau pemasaran hasil tangkapan, yang menempatkan para pemilik perahu atau pedagang perantara (tengkulak) memperoleh keuntungan yang lebih besar dari kegiatan tersebut, dipandang sebagai kewajaran. Pembagian tersebut dianggap sesuai dengan kontribusi, biaya, dan risiko ekonomi yang harus ditanggung dalam proses produksi dan pemasaran hasil tangkapan. Persepsi demikian terbentuk karena faktor keterpaksaan atau karena tidak ada pilihan lain yang harus dilakukan nelayan. Kalaupun diantara mereka ada yang mengeluh, mereka tidak cukup daya untuk mengubah pranata tersebut agar lebih memihak pada kepentingan nelayan, khususnya nelayan buruh.
Struktur sosial budaya yang tercermin dalam operasional kedua pranata di atas memiliki kontribusi besar dalam membentuk corak pelapisan sosial ekonomi secara umum dalam kehidupan masyarakat nelayan. Mereka yang menempati lapisan sosial atas adalah para pemilik perahu dan pedagang ikan yang sukses; lapisan tengah ditempati juragan atau pemimpin awak perahu; lapisan terbawah ditempati nelayan buruh. Mereka yang menempati lapisan atas hanya sebagian kecil dari masyarakat nelayan, sedangkan sebagian besar warga masyarakat nelayan berada pada lapisan terbawah. Pelapisan sosial ekonomi ini mencerminkan bahwa penguasaaan alat-alat produksi perikanan, akses modal, dan akses pasar hanya menjadi milik sebagian kecil masyarakat, yaitu mereka yang berada pada lapisan atas. Keadaan ini sangat potensial untuk melestarikan kemiskinan dan kesenjangan sosial di masyarakat nelayan dan mewariskannya dari generasi ke generasi.
Peran Perempuan
Mobilitas vertikal nelayan dapat terjadi berkat dukungan para istri mereka yang memiliki kecakapan berdagang (lihat Kusnadi, 2001 dan Suadi, 2012)[3]. Keterlibatan istri dalam kegiatan perdagangan sangat terbuka lebar karena sistem pembagian kerja secara seksual memungkinkannya dan sesuai dengan situasi geososial masyarakat nelayan. Dalam sistem pembagian kerja ini, nelayan bertanggung jawab terhadap urusan menangkap ikan (ranah laut), sedangkan kaum perempuan bertanggung jawab terhadap urusan domestik dan publik (ranah darat).
Sistem pembagian kerja yang telah memberikan tempat layak bagi istri nelayan dalam mengatasi persoalan kehidupan di ranah darat, merupakan “katup pengaman” untuk mengantisipasi pranata-pranata sosial ekonomi yang “dianggap pihak lain” merugikan kehidupan nelayan. Kaum perempuan terlibat penuh dalam kegiatan pranata-pranata sosial ekonomi yang mereka bentuk ––seperti arisan, kegiatan pengajian berdimensi kepentingan ekonomi, dan simpan pinjam–– serta jaringan sosial yang bisa mereka manfaatkan untuk menunjang kelangsungan hidup keluarga.
Kaum perempuan di desa-desa nelayan tidak sekedar membantu suami mencari nafkah, tetapi mereka sangat menentukan kelangsungan hidup keluarga. Dari sisi tanggung jawab sosial ekonomi keluarga ini, suami dan istri nelayan berposisi sejajar. Kaum perempuan dan pranata-pranata sosial yang ada merupakan potensi pembangunan masyarakat nelayan yang bisa dieksplorasi untuk mengatasi kemiskinan dan kesulitan ekonomi lainnya.
Diversifikasi Sumber Pendapatan
Persoalan lain yang menjadi akar kemiskinan nelayan adalah tingginya ketergantungan terhadap penangkapan. Faktor-faktor ketergantungan ini sangat beragam. Akan tetapi, jika ketergantungan itu terjadi di tengah-tengah masih tersedianya pekerjaan lain di luar sektor perikanan, tentu hal ini mengurangi daya tahan nelayan dalam menghadapi tekanan-tekanan ekonomi yang ada. Keragaman sumber pendapatan sangat membantu kemampuan nelayan dalam beradaptasi terhadap kemiskinan. Nelayan terkadang kurang menyadari bahwa kondisi ekosistem perairan mudah berubah setiap saat, sehingga dapat berpengaruh terhadap pendapatan nelayan.
Disamping itu, rendahnya keterampilan nelayan untuk melakukan diversifikasi usaha penangkapan dan keterikatan yang kuat terhadap pengoperasian satu jenis alat tangkap turut memberikan kontribusi terhadap timbulnya kemiskinan nelayan. Karena terikat pada satu jenis alat tangkap dan untuk menangkap jenis ikan tertentu maka ketika sedang tidak musim jenis ikan tersebut, nelayan tidak dapat berbuat banyak. Dengan demikian, diversifikasi penangkapan sangat diperlukan untuk membantu nelayan dalam mengatasi masalah kemiskinan.
Pranata yang terbentuk pada masyarakat pesisir Pandansimo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta dapat menjadi model diversifikasi sumber pendapatan. Selain menangkap ikan, nelayan juga bertani dan beternak sehingga ketika musim paceklik terjadi, mereka tidak kehilangan sumber pendapatan.
Kepemilikan peralatan penangkapan ikan secara kolektif yang dikelola melalui paguyuban istri nelayan telah membantu meningkatkan pendapatan nelayan, distribusi pendapatan relatif merata, sehingga mobilitas vertikal nelayan dapat diraih secara bertahap. Selain itu para perempuan juga mengolah dan memasarkan hasil tangkapan ikan sehingga nelayan tidak terlalu bergantung pada tengkulak.
Identifikasi terhadap kasus-kasus di atas sekurang-kurangnya dapat menjadi bahan perumusan kebijakan pemberdayaan nelayan. Artinya, kebijakan untuk mengangkat kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan hanya dapat dilakukan jika gagasan tersebut dapat mengakar pada basis sosial budaya masyarakat nelayan, atau dengan memperhatikan secara saksama karakteristik budaya yang mendasari pranata penangkapan nelayan. Jika tidak, kebijakan tersebut tidak akan terlaksana dengan baik, sehingga perubahan sosial budaya yang diharapkan bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Selamat Hari Perikanan Sedunia!
Penulis: Andhika Rakhmanda, Direktur Eksekutif dan Riset Forum Kajian Perikanan.

Ilustrasi [Source: Rolfe Honda Belconen, Canberra]

[1] Badan Pusat Statistik Indonesia. 2012. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia. Februari. Katalog BPS: 3101015. Jakarta.
[2] Masyhuri. 1999. Pemberdayaan Nelayan Tertinggal dalam Mengatasi Krisis Ekonomi: Telaah terhadap Sebuah Pendekatan. Jakarta: PEP-LIPI, hlm. 15-34.
[3] Kusnadi. 2001. Pangamba’ Kaum Perempuan Fenomenal: Pelopor dan Penggerak Perekonomian Masyarakat Nelayan. Bandung: PT Humaniora Utama Press.
Suadi. 2012. Wanita Nelayan: Antara Peran Domestik dan Produktif. Artikel Kajian Perikanan, 27 September.
___
Artikel ini pernah dimuat di Media Patriot Indonesia, Edisi 1-15 Desember 2013. Selamat Hari Nelayan 6 April 2014

Kegiatan Penangkapan Ikan yang Tidak Sesuai Aturan RFMOS Apa Itu RFMO's? source image: dkp.acehprov.go.id Regional Fisherie...

Kegiatan Penangkapan Ikan yang Tidak Sesuai Aturan RFMOS

Apa Itu RFMO's?

source image: dkp.acehprov.go.id

Regional Fisheries Management Organizations (RFMO’s) atau organisasi pengolahan perikanan regional merupakan organisasi-organisasi yang mengelola prikanan pada suatu kawasan perairan yang dibentuk sebagai pelaksanaan UNCLOS 1982, UN Fish Stock Agreement 1995, FAO-CCRF dan atau konvensi/ persetujuan bagi pembentukan RFMOs.
RFMOs memiliki tanggung jawab dalam mengatur konservasi dan pengelolaan sumberdaya ikan yang bersifat highly migratory and stradling fish stock pada perairan tertentu yang disepakati bersama di laut bebas ( High Seas). Keanggotaan RFMOs adalah negara dan Entitas Perikanan.
Terdapat beberapa organisasi RFMO’s di dunia yang berkaitan dengan Indonesia yaitu:
  1. CCSBT (Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna), Indonesia telah menjadi anggota (member) sejak 8 April 2008.
  2. IOTC (Indian Ocen Tuna Commission), Indonesia telah menjadi anggota (Contracting Party) sejak Juni 2007.
  3. WCPFC (Western and Central Pasific Fisheries Commission), Indonesia menjadi Ngara bekerjasama bukan anggota (Cooperating Non Member).
  4. IATTC (Inter-American Tropical Tuna Commission)
  5. ICCAT (International Commission for the Conservation of Antlantic Tunas)

Pengertian IUU Fishing Menurut IPOA - FAO

IUU Fishing (Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing) adalah penangkapan ikan yang dilakukan secara tidak sah (illegal), tidak dilaporkan (unreported) atau yang belum, dan tidak diatur (unregulated) di Wilayah Pengolahan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI).
Penangkapan ikan illegal (illegal fishing)
Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh orangatau kapal perikanan berbendera asing atau berbendera Indonesia di WPP-RI tanpa izin atau bertentangan dengan perarturan perundang-undangan yang berlaku.
Penangkapan ikan yang tidak dilaporkan (unreported fishing
Kegiatan penangkapan ikan yang tidak pernah dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar kepada instansi yang berwenang, tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional.
Penangkapan ikan yang tidak diatur (unregulated fishing)
Kegiatan penangkapan ikan pada suatu area penangkapan atau sediaan ikan di WRP-RI yang belum diterapkan sesuai ketentuan pelestarian dan pengelolaan atau kegiatan yang dilaksanakan dengan cara yang tidak sesuai dengan tanggung jwab negara untuk pelestarian dan pengelolaan sumber daya ikan sesuai hukum internasional.

Kegiatan Penangkapan Ikan yang Disebut IUU Fishing Menurut RFMOs

source image: nmfs.noaa.gov
Berdasarkan resolusi IOTC 09/03 on establishing a list of vessels presumed to have caarriedout illegal, unregulated, and unreported fishing in the IOTC Area dan Coversation and Management Measure (CMM): 07/03 to establish a list of vessels presumed to have carried out illegal, unregulated and unreported fishing activities in the Western Central Pasific Ocean (WCPO), pengertian IUU Fishing adalah:
  • Menangkap/ memanen ikan tuna  atau ikan seperti ikan tuna di wilayah konvensi RFMOs, namun tidak terdaftar dalam daftar kapal RFMOs yang diijinkan menangkap tuna dan ikan seperti tuna di wilayah konvensi, atau
  • Menangkap/ memanen ikan tuna  atau ikan seperti ikan tuna di wilayah konvensi RFMOs,ketika negara benderanya tidak mempunyai kuota, terkena pembatasan ikan hasil tangkapan atau alokasi upaya penangkaan (effort) berdasarkan tindakan pengelolaan dan koservasi RFMOs, atau\
  • Tidak mencatat atu tidak melaporkan ikan hasil tangkapan di wilayah konvensi RFMOs sesuai dengan persyarata pelaporan RFMOs, atau membuat laporan palsu, atau
  • Menangkap atau mendaratkan ikan yang berukuran belum cukup, yang bertentangan dengan tindakan konservas RFMOs, atau
  • Menangkap ikan selama musim penangkapan ikan ditutup atau daam wilayah penangkapan ikan yang tertutup yang bertentangan dengan tindakan konservasi RFMOs, atau
  • Menggunakan  alat penangkapan ikan yang dilarang, yang bertentangan dengan tindakan konservasi RFMOs, atau
  • Memindahkan hasil tangkapan, atau turut serta dalam operasi penangkapan ikan gabungan/ bersama seperti memberikan pasokan logistik  atau pasokan bahan bakar kepada kapal-kapal yang tercantum dalam daftar kapal IUU, atau
  • Menangkap/ memanen ikan tuna  atau ikan seperti ikan tuna di perairan yuridiksi nasional sebuah negara pantai pada wilayah konvensi RFMOs tanpa ijin dan/atau dengan cara melanggar peraturan perundang-undangan negara pantai tersebut, (tanpa mengurangi hak berdaulat negara pantai untuk mengambil tindakan terhadap kapal-kapal tersebut), atau
  • Menangkap/ memanen ikan tuna  atau ikan seperti ikan tuna di wilayah konvensi RFMOs,dengan kapal penangkap ikan tanpa kebangsaan, atau
  • Terlibat dalam operasi penangkapan ikan, termasuk pemindahan ikan hasil tangkapan, pemasokan logistk atau bahan bakar, yang bertentangan dengan setiap tindakan pengelolaan  dan konservasi RFMOs lainnya.

Jika Melihat Kapal yang Diduga Melakukan IUU Fishing

Dalam rangka membantu kewaijiban pemerintah untuk meberantas dan mengurangi kegiatan IUU Fishing, maka jika melihat kapal yang diduga melakukan kegiatan IUU Fishing, diharapkan dapat melakukan minimal hal-hal sebagai berikut:
  • Mencatat  NAMA kapal;
  • Mencatan BENDERA kapal;
  • Mengamil FOTO kapal;
  • Mencatat TANGGAL kegiatan IUU Fishing;
  • Mencatan POSISI (LINTANG DAN BUJUR) kapal yang diduga melakukan kegiatan IUU Fishing;
  • Mencatat KEGIATAN IUU FISHING yang dilakukan oleh kapal tersebut. (lihat poin 3)
  • LAPORKAN data dan informasi serta foto (a) sampai (f) kepada Kepala Pelabuhan Perikanan Perikanan di pelabuhan pendaratan;
  • Kepala Pelabuhan Perikanan melaporkan data dan informasi serta foto yang diduga melakukan IUU Fishing kepada Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap dan Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan.

Tindakan Negara Terhadap Kegiatan IUU Fishing

Sesuai resolusi IOTC 09/03 on establishing a list of vessels presumed to have caarriedout illegal, unregulated, and unreported fishing in the IOTC Area dan Coversation and Management Measure (CMM): 07/03 to establish a list of vessels presumed to have carried out illegal, unregulated and unreported fishing activities in the Western Central Pasific Ocean (WCPO), serta berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka negara berkewajiban untuk:
  • Melarang kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut yang mengibarkan bendera negara pihak untuk tidak mengambil bagian dalam setiap pemindahan hasil tangkapan dengan kapal yang tercantum dalam daftar kapal IUU.
  • Menjamin kapal-kapal yang tercantum dalam daftar kapal IUU yang memasuki pelabuhan secara sukarela, tidak diijinkan untuk mendaratkan atau memindahkan ikan hasil tangkapan, mengisi bahan bakar, mengisi logistik atau terlibat dalam transaksi perdagangan lainnya.
  • Melarang penyewaan kapal yang tercantum dalam daftar kapal IUU. 
  • Menolak memberikan bendera negara kepada kapal yang tercantum dalam daftar IUU, kecuali kapal tersebut telah berganti pemilik dan pemilik baru telah menunjukkan bukti yang cukup bahwa pemilik dan operator sebelumnya tidak mempunyai kepentingan dan/atau ikatan hukum, kepentingan keuangan di dalamnya, atau kekuasaan untuk mengendalikan kapal tersebut atau telah mempertimbangkan fakta-fakta yang relevan, negara bendera memberikan benderanya kepada kapal tersebut dan tidak akan mengakibatkan IUU Fishing.
  • Melarang melakukan impor, pendaftaran atau pemindahan ikan atau ikan seperti tuna dari kapal yang tercantum dalam daftar kapal IUU.
  • Menghimbau para pedagang, importir,perusahaan pengangkutan ikan dan pihak lain membatalkan transaksi dan pemindahan ikan tuna dan ikan seperti tuna yang ditangkap oleh kapal yang tercantum dalam daftar kapal IUU.
  • Mengumpulkan dan tukar-menukar dengan Negara pihak lainnya, setiap informasi yang dimaksudkan untuk mencari, mengawasi dan mencegah pemalsuan sertifikat impor/ ekspor ikan tuna dan ikan seperti tuna dari kapal-kapal yang tercantum dalam kapal IUU.
Disarikan dari berbagai sumber.