Oleh: Andhika Rakhmanda * Ini kisah tentang seorang nelayan tua, Kasmo namanya. Aku mengenalnya ketika praktik Kerja Lapangan di sebuah ...

Cerita Syukur Pak Kasmo

Oleh: Andhika Rakhmanda*
Ini kisah tentang seorang nelayan tua, Kasmo namanya. Aku mengenalnya ketika praktik Kerja Lapangan di sebuah pulau kecil di Utara Jakarta. Bahkan jika kita berlari-lari kecil, tak sampai dua jam kita sudah bisa mengelilingi pulau kecil ini. Meski kecil, banyak orang yang menggantungkan hidupnya disini. Pulau yang padat nan kecil.
***
Malam ini laut terlihat cerah, aku melihat pak Kasmo duduk di tepian dermaga. Ia tidak melakukan aktivitasnya yang biasa, memancing cumi. Pantas saja, ini bulan purnama, laut menjadi terang, airpun pasang. Sangat sulit rasanya (atau hampir tidak mungkin) memancing dalam kondisi seperti ini.
Purnama memang indah, tapi sepertinya tidak bagi pak Kasmo. Setiap malam setelah tarawih, pak Kasmo selalu memancing cumi atau ikan lainnya untuk lauk sahur keluarga. Apa jadinya jika malam ini beliau tidak mendapatkan secuilpun ikan, mungkin saja istri dan anak-anaknya hanya makan nasi dibumbui garam asin dan kecap manis.
Kudekati pak Kasmo perlahan, ternyata dugaanku salah, beliau tidak sedang meratapi nasib. Beliau ber-dzikir. Berulang kali terdengar untaian pujian dan kebesaran terhadap Allah dan Rasul-Nya sembari kepalanya menengadah ke langit malam yang tanpa tiang itu.
“Alam ini… semesta ini, bergerak teratur dalam anasir-anasirnya, patuh terhadap ketentuan penciptanya. Manusia juga bagian dari alam, bedanya ia diberi pilihan, mau patuh atau membangkang, setiap pilihan tentu ada konsekuensinya, hanya saja ketika kita memilih yang kedua, itu berarti kita juga melawan alam, melawan semesta.” Itu gumamku ketika melihat pak Kasmo yang begitu mengimani takdir, mengimani qodo’ dan qodar.
Perihal cumi, pak Kasmo sudah menyisihkan lauk sisa buka puasa tadi sore. Pak Kasmo tidak pernah memperjuangkan dirinya untuk menjadi apa-apa dan menuntut apa-apa. Pak Kasmo lebih percaya kepada gagasan Allah terhadap dirinya, begitulah kira-kira pak Kasmo dan keluarga meyakini untuk bersungguh-sungguh berjuang menjalani hidup dalam kebahagiaan yang sederhana.
Ya, begitulah pak Kasmo. Setiap hari pak Kasmo bangun sebelum subuh, lalu menimba air di sumur untuk wudhu. Tak pernah ketinggalan adanya pak Kasmo tunduk dalam ruku’ dan sujud di sepertiga malam terakhir. Ia tahu, dan ia yakin, bahwa itulah tuntunan agama, bahwa itulah ibadah sunnah yang paling Allah cintai, bahwa itulah amal yang terus dijaga oleh Rasul.
Maka tiap kali menimba air di sumur, menarik tali karetnya yang berlumut, pada pagi buta yang dingin, pak Kasmo selalu diliputi bahagia, bahagia karena masih diberi kesempatan dan hidayah mengikuti Rasul, mencintainya, juga selalu mencintai Allah. Pak Kasmo tahu, suatu saat nanti ia mungkin akan kesulitan melakukannya, mungkin terbaring di kasur sakit-sakitan. Dan pada saat itu ia akan mengingat bahwa ia telah melakukan dengan segenap usaha yang terbaik untuk beramal dan meraih cinta Allah. Bertambahlah rasa bahagia pak Kasmo, dan bertambah pula syukurnya pada Sang Pemberi nikmat.
Mengingat itu semua, deraslah air mata pak Kasmo dalam sungkur sujudnya malam itu…
Subhanallah..
Walhamdulillah..
Karena syukur adalah mengerahkan segenap potensi untuk hal yang paling dicintai Allah (Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin).
Pulau Pramuka, 14 Ramadhan 1434 H
* Mahasiswa tingkat akhir yang sedang menyelesaikan skripsi. Pegiat Forum Kajian Perikanan UGM.
Dimuat di Republika, 21 Agustus 2013

0 komentar: