Oleh: Hario Premono* Data FAO 2007 menyebutkan bahwa Indonesia merupakan produsen tuna terbesar di dunia dengan kontribusi 12,45%, dis...

Dilema: Produsen Tuna dan Udang tapi Konsumen Lele

Oleh: Hario Premono*


Data FAO 2007 menyebutkan bahwa Indonesia merupakan produsen tuna terbesar di dunia dengan kontribusi 12,45%, disusul Filipina (11,36%), Jepang (10,23%), Taiwan (8,3%), dan Korea (6,1%). Produksi tuna sendiri pada tahun 2011 sebesar 230.580 ton. Selain tuna, data FAO 2010 juga menunjukkan Indonesia merupakan produsen terbesar keempat dalam produksi udang dengan 350.000 ton, berada di bawah Cina (1,3 juta ton), Thailand (560.000 ton) dan Vietnam (370.000 ton). Hal ini menggambarkan bahwa Indonesia merupakan produsen besar tuna dan udang di dunia.

Sementara itu, data KKP 2011 menyebutkan jumlah produksi lele mencapai 330.687 ton dengan peningkatan rata-rata sebesar 39,66% disetiap tahunnya. Program budidaya lele yang digembor-gemborkan nampaknya cukup berhasil dengan peningkatan jumlah produksi yang signifikan. Ditinjau dari aspek gizi pangan, protein lele 17,7% lebih rendah dibandingkan tuna 24,3% dan udang 21%. Belum lagi kandungan omega 3 pada tuna dan udang yang bermanfaat penting bagi tubuh.

Penyebab utama peningkatan produksi ikan lele adalah meningkatnya permintaan ikan lele diberbagai daerah. Hasil SUSENAS 2008 menunjukkan bahwa penyerapan ikan lele masyarakat Indonesia mencapai 148.039 ton dengan tingkat konsumsi rata-rata 0,67 kg/kapita/tahun. Harga yang murah, nilai gizi yang cukup tinggi dan teknik budidaya yang relatif mudah menjadi faktor utama pesatnya perkembangan lele di Indonesia.


Berdasarkan data diatas, munculah beberapa pertanyaan yang memberikan suatu dilema tersendiri. Sebagai produsen terbesar tuna dan udang di dunia, masyarakat Indonesia sendiri jarang menikmati produk tuna dan udang tersebut. Namun di lain pihak, ikan lele yang baru akan dikembangkan memiliki cukup banyak permintaan. Rupanya, produk olahan berupa pecel lele menjadi magnet tersendiri bagi masyarakat Indonesia.


Permintaan Luar Negeri


Sebagai negara produsen tuna dan udang, tentu banyak permintaan dari luar negeri. Permintaan terbesar akan tuna Indonesia adalah Jepang (36,84%), Amerika (20,45%), dan Uni Eropa (12,69%). Sementara itu, kinerja ekspor tuna Indonesia terus mengalami peningkatan sejak 2009. Pada 2009, nilai ekspor tuna USD 352 juta, lalu meningkat menjadi USD 383  juta pada 2010. Sementara itu, nilai ekspor tuna tahun 2011 sebesar 141.774 ton senilai USD 499 juta naik 30,1% dibandingkan pada tahun sebelumnya. Dengan produksi pada tahun 2011 yang mencapai 230.580 ton, menunjukkan lebih dari 60% produksi tuna di Indonesia dipasarkan di luar negeri.


Permintaan luar negeri terhadap komoditi udang juga besar. KKP mencatat volume ekspor udang pada tahun 2010 sebesar 110.000 ton, yang terdiri dari jenis udang vannamei dan windu, dengan nilai ekspor mencapai USD 1,070 miliar. Nilai ekspor udang yang besar terjadi berkat adanya added value (nilai tambah) sehingga meningkatkan harga jual udang. Dengan produksi udang tahun 2010 yang mencapai 350.000 ton, menggambarkan bahwa lebih dari 30% produksi udang nasional ditujukan untuk pasar luar negeri. Namun, perlu diketahui bahwa udang yang ditujukan untuk ekspor merupakan udang yang memiliki nilai jual lebih dan nilai tambah dibandingkan udang yang dipasarkan di pasar lokal.


Pada tahun 2013 ini, KKP sendiri menargetkan adanya peningkatan nilai ekspor produk perikanan. Udang tetap menjadi salah satu komoditas unggulan yang diproyeksikan mencapai USD 1,9 miliar, diikuti tuna USD 720 juta, kepiting USD 379 juta, produk perikanan lainnya mencapai USD 541 juta. Peningkatan nilai ekspor memang akan turut serta dalam peningkatan sumber devisa Indonesia. Namun, di satu sisi masyarakat Indonesia tidak dapat menikmati kenikmatan akan kekayaan alam laut yang ada di negeri ini.


Berdasarkan pendapatan yang akan didapat, kebijakan ekspor produk perikanan memiliki potensi yang jauh lebih besar. Harga jual di pasar ekspor jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual di pasar lokal. Hal ini yang menyebabkan para pedagang maupun pemasok udang dan tuna lebih cenderung memilih menjualnya ke industri pengolahan ataupun eksportir. Permintaan yang besar dan harga jual yang tinggi menjadi daya tarik utamanya. Sementara itu, pasokan untuk kebutuhan nasional seperti dinomorduakan.


Kebijakan terkait ekspor udang dan tuna sebagai produk unggulan dari potensi laut Indonesia sebenarnya juga terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Semakin ketatnya persaingan antar negara produsen udang dan tuna, ditambah sedang goyahnya kondisi ekonomi di negara tujuan ekspor perlu diperhatikan pemerintah dan para pelaku yang memiliki kepentingan di dalamnya. Dalam hal ini, pasar lokal memiliki potensi besar untuk dimasuki seiring dengan semakin sadarnya masyarakat Indonesia akan produk pangan yang bergizi dan bernilai tinggi.


Selama ini, produk perikanan yang dijual dan dipasarkan di pasar lokal merupakan produk yang nilai jual ekspornya tidak begitu besar. Bahkan, kebanyakan merupakan produk kelas dua. Udang dan tuna jarang ditemui di pasar-pasar lokal. Meskipun ada, kebanyakan dari udang dan tuna yang dipasarkan merupakan produk yang nilai ekspornya rendah. Jenis udang yang dijualpun merupakan jenis udang selain vannamei dan windu, sedangkan tuna  yang dijual adalah jenis baby tuna. Dilema dalam kejadian ini adalah terhambatnya hak warga negara Indonesia untuk menikmati produk-produk perikanan unggul yang memiliki nilai tinggi.


Promosi dan Daya Beli Masyarakat


Tingkat konsumsi ikan yang masih rendah merupakan salah satu alasan lesunya permintaan di pasar lokal. Meskipun ada peningkatan di tahun 2011 menjadi 31,64 kg/kapita/tahun, tetapi masih lebih rendah dari Malaysia 45 kg/kapita/tahun dan Thailand 35 kg/kapita/tahun. Program Gemarikan yang dicanangkan pemerintah, selain untuk memacu peningkatan konsumsi ikan sepatutnya juga digunakan untuk mengenalkan produk perikanan Indonesia yang memiliki nilai unggul. Hal ini secara langsung juga akan mendukung salah satu kebijakan strategis KKP terkait promosi produk perikanan industri, seperti udang dan tuna.


Pemerintah dan pelaku industri perikanan, terutama udang dan tuna, sewajarnya tidak perlu takut memasuki pasar lokal. Daya beli masyarakat dan kesadaran pentingnya produk perikanan berkualitas menjadi kekuatan tersendiri di pasar lokal. Data BPS 2011 menyebutkan bahwa pendapatan per kapita masyarakat meningkat 32% atau mencapai USD 3.542. Peningkatan pendapatan per kapita yang melebihi laju inflasi akan meningkatkan daya beli masyarakat. Bahkan Aprindo (Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia) menyatakan permintaan udang dan tuna di supermarket bisa mencapai 100-150 kg/hari dan di hypermarket bisa mencapai 25 ton/bulan, itupun belum jenis yang lainnya.


Selain itu, masyarakat sendiri juga harus semakin sadar akan pentingnya konsumsi produk perikanan yang bernilai tinggi. Salah satu caranya adalah dengan memperbanyak olahan pangan yang berbahan dasar ikan tuna dan udang. Seperti halnya lele yang identik dengan pecel lele, pengolahan tuna dan udang perlu digencarkan untuk meningkatkan konsumsi dalam negeri.


Jepang, sebagai pengimpor tuna terbesar, membutuhkan tuna dan udang untuk memenuhi kebutuhan produsen produk pangan olahan. Berbagai makanan khas Jepang menggunakan daging ikan tuna, seperti sushi, sashimi, ekkado ataupun onigiri sehingga munculah kebiasan mengkonsumsi tuna dan udang. Hal inilah yang perlu ditiru, permintaan dalam negeri akan meningkat apabila banyak produk olahan yang berbahan dasar tuna dan udang. Munculnya berbagai macam usaha produk pangan seperti steak tuna, sushi, abon tuna, udang gulung, nugget, bakso, martabak dan lain sebagainya perlu didukung keberadaanya.


Peningkatan promosi dan kebutuhan akan ikan tuna dan udang memerlukan kerjasama dari berbagai pihak. Adanya kerjasama dan kesinambungan antara pemerintah, pelaku usaha, akademisi dan masyarakat diharapkan dapat menciptakan persepsi baru, yaitu bangsa Indonesia tidak hanya mampu menghasilkan, tetapi mampu memanfaatkan dan menikmati kekayaan sumber alam kelautannya.


*Ketua Komunitas Mahasiswa Peneliti “SiLandak” Jurusan Perikanan, UGM


Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Trobos Aqua April 2013

0 komentar: