Oleh: Andhika Rakhmanda* D i tengah ingar-bingar publik atas pelaksanaan pilpres, ada isu yang tak kalah seriusnya. Umur proyek kapal ...

Oleh: Andhika Rakhmanda*
Di tengah ingar-bingar publik atas pelaksanaan pilpres, ada isu yang tak kalah seriusnya. Umur proyek kapal Inka Mina yang digagas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tinggal beberapa bulan lagi. Proyek ini berupa bantuan sejumlah 1.000 kapal berkapasitas lebih dari 30 gross ton (GT) kepada nelayan di seluruh Nusantara, yang dilakukan pada 2010-2014.
Program dengan nilai bantuan mencapai Rp 1,5 miliar per kapal tersebut dimaksudkan untuk menjawab tantangan restrukturisasi armada perikanan rakyat Indonesia sebagai strategi mengentaskan nelayan dari kemiskinan, optimalisasi sumber pangan dari laut, dan upaya meningkatkan kontribusi ekonomi nasional.
Hingga saat ini, sekitar 600 unit sudah disalurkan ke seluruh Nusantara. Sayangnya, banyak permasalahan yang muncul. Beberapa kapal di berbagai daerah mangkrak atau tidak dapat beroperasi.
Sebagai contoh di Pelabuhan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta, dari empat bantuan Kapal Inka Mina yang diberikan kepada nelayan Sadeng, hanya milik KUB Barokah yang dapat beroperasi. Itu pun dengan berbagai penyesuaian-penyesuaian yang membutuhkan biaya besar.
Keluhan yang sering muncul bermacam-macam, mulai dari persoalan teknis operasional seperti ketidaksiapan modal, ketidaksesuaian spesifikasi kapal dan alat tangkap dengan kondisi daerah penangkapan, mesin kapal yang kurang dikenal nelayan, hingga persoalan sumber daya manusia, seperti sulitnya mencari anak buah kapal (ABK). Jadi, niat baik pemerintah untuk meningkatkan kemampuan nelayan menangkap ikan belum terwujud.
Akar Persoalan
Saat ini struktur armada penangkapan ikan Indonesia memang masih didominasi armada tradisonal. Karena itu, untuk memajukan perikanan harus ada modernisasi armada. Logika ini tidak salah.
Namun yang jadi persoalan adalah kuatnya cara berpikir bahwa modernisasi armada hanyalah perubahan teknologi dan bukan perubahan moda produksi baru.
Perbedaan kultur di tiap daerah dipukul rata oleh kebijakan yang seragam. Akibatnya, muncul ketegangan-ketegangan sosial di masyarakat pesisir diikuti gejala-gejala lain berkaitan dengan krisis budaya.
Pada lokasi di mana jenis peralatan tangkap berteknologi tinggi (modern) berdampingan dengan yang berteknologi tradisional, peluang munculnya ketegangan sosial semakin besar. Di samping itu, dalam penggunaan teknologi tinggi nelayan pekerja yang kurang berketerampilan (unskilled labor) cenderung semakin tertekan.
Dalam moda produksi baru, teknologi hanyalah salah satu komponen dari komponen lain terkait, seperti kelembagaan produksi serta variabel eksternal. Oleh karena itu, dalam modernisasi ada sejumlah variabel penting yang harus dipertimbangkan.
Pertama, faktor modal kerja. Kapal besar memerlukan modal besar untuk beroperasi, termasuk bahan bakar, perbekalan, dan pemeliharaan. Bagaimana menjamin akses nelayan pada kecukupan modal kerja agar bisa beroperasi secara kontinu?
Kedua, manajemen usaha. Kelompok yang lebih besar membutuhkan kemampuan manajemen usaha dan manajemen kelompok yang berbeda. Ini karena aset yang dikelola jauh berbeda dengan aset tradisional. Begitu pula ukuran kelompok kerja, dulu cukup dua sampai tiga orang untuk melaut, saat ini dibutuhkan sekitar 20 orang.
Ketiga, faktor teknologi. Nelayan perlu beradaptasi terhadap teknologi baru, seperti menggunakan mesin, alat tangkap baru, serta pemeliharaannya. Isu lainnya adalah apakah kapal dan alat tangkap sudah sesuai kebutuhan nelayan di daerah penerima?
Keempat, faktor sumber daya dan adaptasi ekologi. Apakah sumber daya ikan sebagai target pengoperasian armada baru masih cukup? Bukankah beberapa wilayah perairan sudah mengalami gejala tangkap lebih (overfishing), seperti di bagian utara Jawa misalnya? Dengan jangkauan yang lebih luas, nelayan perlu memahami siklus sumber daya serta karakteristik lingkungan perairan baru.
Ada beberapa kasus yang menunjukkan bantuan untuk nelayan gagal karena ternyata kapal dan alat tangkap baru di wilayah tersebut hanya cocok untuk musim-musim tertentu. Akibatnya, ada masa kekosongan yang membuat nelayan tidak memperoleh pendapatan.
Dari faktor-faktor di atas, tampaklah sebenarnya isu restrukturisasi armada perikanan tidak sekadar bantuan teknologi (kapal), tetapi lebih pada bagaimana kesiapan adaptasi nelayan terhadap moda produksi baru. Tidak mengherankan apabila kegagalan program-program bantuan kapal umumnya berakar pada ketidaksiapan pemerintah meningkatkan daya adaptasi nelayan.
Pelibatan Masyarakat
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization) dalam dokumen Code of Conduct Responsible Fisheries (1995) menyebutkan,  hal-hal terkait keputusan untuk melakukan konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan perlu didasarkan atas tiga pertimbangan.
Pertama, berdasar pada bukti ilmiah terbaik. Artinya, bukan satu penelitian, melainkan beberapa penelitian termutakhir dengan pembacaan dan pelibatan masyarakat yang lebih demokratis. Hal ini membutuhkan perubahan pandangan.  Para pelaku perikanan dianggap sebagai produsen pangan yang harus dihargai. Hak sosial, ekonomi, dan kultural mereka harus dilindungi dan dijadikan landasan pembuatan kebijakan.
Kedua, pengetahuan tradisional menyangkut sumber daya dan habitatnya. Pada tahap ini, keberadaan masyarakat nelayan tradisional dan lingkungannya adalah satu kesatuan yang tak luput dalam pertimbangan. Ketiga, faktor lingkungan, ekonomi, dan sosial yang relevan.
Seolah bertabrakan dengan ketiganya, program pengadaan 1.000 kapal justru menelantarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, bahkan cenderung sentralistik atau maunya “orang pusat”!
Identifikasi terhadap kasus-kasus tersebut sekurang-kurangnya dapat menjadi bahan evaluasi bagi perumusan kebijakan pemberdayaan nelayan di periode kepemimpinan Indonesia berikutnya. Artinya, kebijakan untuk mengangkat kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan hanya dapat dilakukan jika kebijakan tersebut dapat mengakar pada basis sosial budaya masyarakat nelayan di tiap daerah.
Pembangunan perikanan boleh saja disusun dalam tataran makro, tetapi dalam implementasi harus memperhatikan spesifikasi lokasi dan inisiasi lokal. Ada gejala pemerintah (pusat dan daerah) kurang begitu merespons dengan baik kemampuan lokal, terutama jika inisiasi lokal ini tidak terdapat dalam koridor proyek. Wallahu a’lam.
Kapal Inka Mina mangkrak di Pelabuhan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta

*Penulis adalah Direktur Eksekutif dan Riset Forum Kajian Perikanan Universitas Gadjah Mada.