Judul : Menjala Kesejahteraan: Bunga Rampai Pemikiran Perikanan dan Kelautan Penulis : Andhika Rakhmanda Muhammad Ali Yafi Arsyil W...


















Judul :
Menjala Kesejahteraan: Bunga Rampai Pemikiran Perikanan dan Kelautan

Penulis :
  1. Andhika Rakhmanda
  2. Muhammad Ali Yafi
  3. Arsyil Wisuda
  4. Aditiya Yanuar
  5. Feri Setiawan
  6. Irfan Teguh Prima
  7. Moh. Ali Fatha Seknun
  8. Silvi Fitria
  9. Himawan Akhmandin S.
  10. Yunita Dwi Astuti
  11. Ali Ahsan
  12. Topandi
  13. Luqman Hakim
  14. Mohd. Yunus
  15. Dyah Savitri Pritadrajati
  16. Mohammad Takdir Ilahi
Sambutan dan Pengantar :
  1. Prof. Dr. Ir. Rustadi, M.Sc.
  2. Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS
  3. Prof. Dr. Ir. Kamiso H. N., M. Sc.

Terbit : Desember, 2014
ISBN : 978-602-225-959-6
Halaman : 278

Harga : Rp 53.700,00

Sinopsis :

Buku yang berisi kumpulan tulisan hasil pemikiran mahasiswa ini berupaya untuk mengungkap beberapa persoalan penting yang dihadapi oleh masyarakat perikanan dan kelautan, sembari memberikan gagasan mengenai pembangunan dan pengelolaannya. Masalah-masalah sosial-ekonomi dan lingkungan yang dihadapi pelaku perikanan merupakan sebuah ironi besar di tengah-tengah kekayaan sumber daya kelautan yang melimpah.

Kehadiran buku ini merupakan kebutuhan konkret untuk mengisi kelangkaan publikasi tentang masyarakat nelayan dan masalah perikanan-kelautan secara umum, serta menyemarakkan perdebatan wacana tentang arah pembangunan kemaritiman di masa depan. Sebuah buku yang layak dimiliki dan dibaca oleh siapa pun: para penentu kebijakan pembangunan, akademisi, praktisi, masyarakat sipil, serta kalangan mahasiswa yang tertarik dengan isu-isu pembangunan perikanan, kelautan, dan kemaritiman.

***

“... Buku ini tidak saja menyajikan berbagai informasi dan data dari berbagai daerah tentang berbagai masalah tetapi juga membawa pembaca untuk berpikir kritis dan membangkitkan kesadaran bahwa pembangunan perikanan dan kelautan tidak saja urgen bagi bangsa ini tetapi juga perlu cepat.”
(Prof. Dr. Ir. Kamiso H. N., M. Sc. ~ Guru Besar Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UGM)

“Buku Menjala Kesejahteraan dapat memberikan kontribusi besar dan penting dalam menjadikan sektor kelautan perikanan menjadi leading sector dalam arsitektur perkonomian Indonesia.”
(Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, M.S. ~ Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Kabinet Gotong Royong dan Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB)

Pre Order via
sms ke 081904221928 (Leutika) atau 085777356711 (Forum Kajian Perikanan)
konfirmasi nama, jumlah pesanan dan alamat pengiriman
contoh: Pesan Buku Menjala Kesejahteraan / Susi Pudjiastuti / 10 eks / Kantor Kementrian Kelautan dan Perikanan Jl. Medan Merdeka Timur No. 16 Jakarta.

Download contoh buku: Download

A nimo masyarakat terhadap dunia perikanan, akhir-akhir ini terus meningkat. Hal ini disambut gembira oleh sebagian orang, salah satunya ad...

Animo masyarakat terhadap dunia perikanan, akhir-akhir ini terus meningkat. Hal ini disambut gembira oleh sebagian orang, salah satunya adalah masyarakat Desa Burikan yang akhirnya memutuskan untuk membentuk kelompok pembudidayaan ikan yang bernama “Mina Kepis”.
Sejarah Singkat
Berdirinya Kelompok Pembudidaya Ikan (KPI) Mina Kepis di Burikan, Sumberadi, Mlati, Sleman ini diawali dengan didirikannya organisasi Taruna Tani Burikan pada tahun 1983. Organisasi ini merupakan organisasi yang menghimpun dan mempunyai beberapa seksi kegiatan wiraswasta yang bergerak dalam bidang pertanian, perkebunan, dan perikanan. Dengan berjalannya waktu, bidang perikanan merupakan bidang yang paling banyak diminati. Kegiatan serta hasil usaha yang meliputi bidang ini selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini didukung dengan letak Desa Burikan yang berhimpitan dengan Kali Lempong sehingga memudahkan untuk pengairan. Atas dasar inilah Taruna Tani Burikan berganti nama dan terlahir kembali dalam Kelompok Pembudidaya Ikan Mina Kepis.

KPI Mina Kepis
Keorganisasian
Struktur kepengurusan KPI Mina Kepis terdiri dari pembina, pengawas, ketua, sekretaris, bendahara, seksi-seksi, dan beberapa anggota. Organisasi ini diketuai oleh Bapak Juwito, yang beranggotakan sejumlah 32 orang. Rapat pengurus diadakan jika perlu dan rapat pleno diadakan setiap bulan sekali tiap malam senin di minggu pertama.
KPI mina Kepis juga memiliki sebuah koperasi yang setiap anggotanya wajib menjadi anggota dari koperasi tersebut. Usaha koperasi ini meliputi penjualan plastik serta oksigen untuk pengepakan ikan. Uang yang harus disetorkan oleh anggota baru yaitu Rp 60.000, sedangkan SHU diberikan kepada anggota setiap akhir tahun. Selain mendapatkan SHU dari koperasi, para anggota juga mendapat 25% dari hasil potongan 1% di tambah dari hasil tangkap di bak kelompok.
Komoditas Ikan Budidaya
KPI Mina Kepis memiliki 2 macam jenis ikan yang dibudidayakan, yaitu jenis ikan hias dan ikan konsumsi. Jenis ikan hias yang dibudidayakan adalah koi, komet, tiger cat fish (lele Amerika), dan aligator, sedangkan jenis ikan konsumsi yang dibudidayakan adalah gurameh, nila, bawal, lele, dan patin. Jens ikan konsumsi yang mendatangkan keuntungan paling besar adalah ikan nila dan untuk jenis ikan hias adalah ikan koi.
Keuntungan dari budidaya nila adalah kemampuan untuk bereproduksi yang cukup tinggi. Antara 2-3 bulan dari bibit, ikan nila sudah dewasa dan dapat menghasilkan telur setiap bulan sebanyak satu kali. Sifat ikan nila yang cepat menghasilkan anak ikan, menyebabkan kelebihan populasi ikan nila dalam kolam, yang berdampak pada pertumbuhan ikan yang lambat. Hal ini dapat dilihat pada saat panen ikan nila, ukuran nila terbagi dalam berbagai ukuran, mulai dari ikan-ikan kecil, sedang, dan besar. Ikan jantan akan terlihat lebih besar dari ikan betina dikarenakan sifat alamiah ikan betina untuk menghasilkan anak-anak ikan. Pada saat bertelur induk ikan betina tidak makan sekurang-kurangnya 10 hari untuk menjaga larva yang berada dalam mulutnya. Koi (Cyprinus capriyo) termasuk ikan hias eksotis yang semakin banyak penggemarnya. Selain di pelihara sebagai hobi, koi juga bisa dijadikan lahan bisnis yang menjanjikan. Pesona warna dan lekukannya yang indah, juga keelokan yang dipertontonkan tatkala menyembul dan melompat ke atas air membuat harganya melambung tinggi.
Kelompok Pembudidaya Ikan Mina Kepis pernah menjadi juara harapan tingkat Nasional pada tahun 2005 untuk inbud nila.  Untuk ikan koi yang sudah pernah memenangkan berbagai macam lomba harga yang ditawarkan dapat mencapai 2 milyar.
Produksi
KPI Mina Kepis sampai saat ini baru dikembangkan pembudidayaan dengan dua cara yaitu cara tradisional dan sebagian besar menggunakan cara semi intensif. Perbedaan umum kedua cara disajikan pada Tabel 1 yang menyajikan informasi perbedaan dilihat dari spesifikasi kolam, pemberian pakan, dan sistem pemeliharaan.
Tabel 1: Perbedaan budidaya ikan secara tradisional dan semi intensif pada KPI Mina Kepis
NoKriteriaTradisionalSemi Intensif
1Spesifikasi KolamBelum memenuhi standarDisesuaikan dengan spesifikasi kolam yang ideal
2Pemberian PakanMaksimal 3 kali sehari dengan takaran sesuai dengan perkiraanSebanyak 4-5 kali sehari dg takaran sesuai kebutuhan (sudah termasuk pakan tambahan dan vitamin)
3Sistem PemeliharaanPolikulturMonokultur
Air dikelola dan dipelihara kejernihannya berdasarkan penyesuaian terhadap jenis ikan, dibersihkan dari kotoran untuk meminimalisir dan mencegah hama penyakit, serta di jaga kisaran pH air antara 7-7,5 dengan suhu ± 27C.
Pakan yang dipakai terdiri dari dua jenis, yaitu pakan alami berupa  fitoplankton dan pakan buatan berupa pelet. Fitoplankton ditumbuhkan melalui pemupukan dengan menggunakan pupuk organik (pupuk kandang) dan anorganik (Urea, TSP). Pemupukan dilakukan secara periodik sesuai dengan kepadatan fitoplanktonyang diinginkan. Pakan buatan yang digunakan harus mengandung kadar protein yang cukup dan bermutu bagi pertumbuhan ikan, selain itu harus mengandung cukup vitamin dan mineral guna menambah daya tahan tubuh dan menghindari penyakit malnutrisi. Pakan juga harus memenuhi persyaratan fisik yang diperlukan agar dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh ikan, yaitu jumlah pakan disesuaikan dengan ukuran dan umur ikan yang di pelihara.
Pemasaran
Sistem pemasaran menggunakan sistem satu pintu, yaitu jika ada anggota yang memanen ikan maka ikan di tampung terlebih dahulu di dalam kelambu atau hava yang telah disediakan di pasar. Anggota tidak boleh memasarkan dan melayani pembeli karena sistem penjualan sudah ditangani olrh petugas khusus. Total hasil penjualan untuk tiap anggota di potong sebesar 7% dengan perincian 1 % untuk pengembangan cara pasar; 2 % untuk oksigen plastik; dan 4 % untuk petugas penjualan.
Pasar ikan Mina Kepis buka setiap hari pukul 07.00 sampai 17.00 WIB. Omset penjualan setiap hari dapat mencapai 5 hingga 6 juta rupiah, namun pada hari minggu dapat mencapai hingga 8 juta rupiah. Calon pembeli diberi kebebasan untuk memilih ikan yang akan dibeli dan akan dilayani dengan ramah serta profesional.
Setiap anggota KPI Mina Kepis wajib untuk menjadi anggota koperasi. Keuangan kelompok di pegang dan dikelola oleh bendahara. Ada tiga jenis buku yang dipergunakan yaitu buku potongan 1 %, buku koperasi, dan buku kas induk. Sumber pemasukan berasal dari sisa sewa kolam ke desa, iuran wajib perbulan (Rp 1.000  untuk setiap anggota), dan sumbangan apabila ada kunjungan dari lembaga atau organisasi lain.
Setiap anggota diberi fasilitas tempat penampung ikan di pasar, sesuai dengan mobilitasnya masing-masing. Bagi yang mempunyai mobilitas tinggi keuntungan kotor (brutto) yang di peroleh per hari dapat mencapai minimal lima ratus ribu rupiah. Sebanyak 80% dari 32 anggota menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan, sedangkan sisanya yaitu 20% hanya sebagai usaha sampingan.
Kelompok Pembudidaya Ikan Mina Kepis
Alamat : Burikan, Sumberadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta 55288

By: William F. Royce* L et us imagine how it would be to live in permanent, thick, cold fog through which no eye can see more than 50 m b...

By: William F. Royce*
Let us imagine how it would be to live in permanent, thick, cold fog through which no eye can see more than 50 m but through which sunlight can penetrate for several hundred meters. Imagine next going to the top of a hill emerging from the fog and being blinded by the bright sunshine. Imagine being able to smell all of the odors from the others organisms and waters that pass you in the veil. Imagine hearing every animal near you and even the echoes of you own noises reflected back to you. Imagine also sensation of resting with little effort; always with the sensation of weightlessness but always fighting the water to move. Imagine traveling horizontally in the open sea for hundreds of kilometers with perceptible change in climate but finding intense cold and darkness when descending only a few meters. Imagine the constant risk of sinking down into the dark and cold or rising up to the surface is depth controls ceased to function. Such a fancy gives a remote concept of an animal in the ocean in terms of human senses.
Now let us look at the ocean environment as a whole. Perhaps the outstanding characteristic is the remarkable similarity over long distance of very thin layers that are greatly different from others layers above and below. The pressure, light, heat, oxygen, and nutrient elements all vary greatly with depth, and each is vital to the life in the water. Other features, such as N2, CO2, pH, density, and salinity, vary so little with depth that living things are not affected directly, although the slight variations are important for physical reasons.
Another feature is the nearly perpetual motion–mostly horizontal but occasionally and importantly vertical. The currents are always carrying heat, food, eggs, larvae, and the plants and animals themselves. The organism must breast the current or change depth to a favorable current if it is to avoid transportation.
As judged by the scant number of species, the more formidable of aquatic environments are not only the extremely hot, the extremely cold, and the lowoxygen parts of the oceans but also the most variable parts, the estuaries. Here the currents, salinity, and temperature change in tidal and seasonal cycles in ways that few organisms can withstand, and here too most of man’s wastes discharge to start their final dilution.
*College of Ocean and Fishery Sciences, University of Washington, Seattle.



Royce, William F. 1984. Introduction to the practice of fishery science. Academic Press, Inc. London.

Oleh: Hario Premono* Data FAO 2007 menyebutkan bahwa Indonesia merupakan produsen tuna terbesar di dunia dengan kontribusi 12,45%, dis...

Oleh: Hario Premono*


Data FAO 2007 menyebutkan bahwa Indonesia merupakan produsen tuna terbesar di dunia dengan kontribusi 12,45%, disusul Filipina (11,36%), Jepang (10,23%), Taiwan (8,3%), dan Korea (6,1%). Produksi tuna sendiri pada tahun 2011 sebesar 230.580 ton. Selain tuna, data FAO 2010 juga menunjukkan Indonesia merupakan produsen terbesar keempat dalam produksi udang dengan 350.000 ton, berada di bawah Cina (1,3 juta ton), Thailand (560.000 ton) dan Vietnam (370.000 ton). Hal ini menggambarkan bahwa Indonesia merupakan produsen besar tuna dan udang di dunia.

Sementara itu, data KKP 2011 menyebutkan jumlah produksi lele mencapai 330.687 ton dengan peningkatan rata-rata sebesar 39,66% disetiap tahunnya. Program budidaya lele yang digembor-gemborkan nampaknya cukup berhasil dengan peningkatan jumlah produksi yang signifikan. Ditinjau dari aspek gizi pangan, protein lele 17,7% lebih rendah dibandingkan tuna 24,3% dan udang 21%. Belum lagi kandungan omega 3 pada tuna dan udang yang bermanfaat penting bagi tubuh.

Penyebab utama peningkatan produksi ikan lele adalah meningkatnya permintaan ikan lele diberbagai daerah. Hasil SUSENAS 2008 menunjukkan bahwa penyerapan ikan lele masyarakat Indonesia mencapai 148.039 ton dengan tingkat konsumsi rata-rata 0,67 kg/kapita/tahun. Harga yang murah, nilai gizi yang cukup tinggi dan teknik budidaya yang relatif mudah menjadi faktor utama pesatnya perkembangan lele di Indonesia.


Berdasarkan data diatas, munculah beberapa pertanyaan yang memberikan suatu dilema tersendiri. Sebagai produsen terbesar tuna dan udang di dunia, masyarakat Indonesia sendiri jarang menikmati produk tuna dan udang tersebut. Namun di lain pihak, ikan lele yang baru akan dikembangkan memiliki cukup banyak permintaan. Rupanya, produk olahan berupa pecel lele menjadi magnet tersendiri bagi masyarakat Indonesia.


Permintaan Luar Negeri


Sebagai negara produsen tuna dan udang, tentu banyak permintaan dari luar negeri. Permintaan terbesar akan tuna Indonesia adalah Jepang (36,84%), Amerika (20,45%), dan Uni Eropa (12,69%). Sementara itu, kinerja ekspor tuna Indonesia terus mengalami peningkatan sejak 2009. Pada 2009, nilai ekspor tuna USD 352 juta, lalu meningkat menjadi USD 383  juta pada 2010. Sementara itu, nilai ekspor tuna tahun 2011 sebesar 141.774 ton senilai USD 499 juta naik 30,1% dibandingkan pada tahun sebelumnya. Dengan produksi pada tahun 2011 yang mencapai 230.580 ton, menunjukkan lebih dari 60% produksi tuna di Indonesia dipasarkan di luar negeri.


Permintaan luar negeri terhadap komoditi udang juga besar. KKP mencatat volume ekspor udang pada tahun 2010 sebesar 110.000 ton, yang terdiri dari jenis udang vannamei dan windu, dengan nilai ekspor mencapai USD 1,070 miliar. Nilai ekspor udang yang besar terjadi berkat adanya added value (nilai tambah) sehingga meningkatkan harga jual udang. Dengan produksi udang tahun 2010 yang mencapai 350.000 ton, menggambarkan bahwa lebih dari 30% produksi udang nasional ditujukan untuk pasar luar negeri. Namun, perlu diketahui bahwa udang yang ditujukan untuk ekspor merupakan udang yang memiliki nilai jual lebih dan nilai tambah dibandingkan udang yang dipasarkan di pasar lokal.


Pada tahun 2013 ini, KKP sendiri menargetkan adanya peningkatan nilai ekspor produk perikanan. Udang tetap menjadi salah satu komoditas unggulan yang diproyeksikan mencapai USD 1,9 miliar, diikuti tuna USD 720 juta, kepiting USD 379 juta, produk perikanan lainnya mencapai USD 541 juta. Peningkatan nilai ekspor memang akan turut serta dalam peningkatan sumber devisa Indonesia. Namun, di satu sisi masyarakat Indonesia tidak dapat menikmati kenikmatan akan kekayaan alam laut yang ada di negeri ini.


Berdasarkan pendapatan yang akan didapat, kebijakan ekspor produk perikanan memiliki potensi yang jauh lebih besar. Harga jual di pasar ekspor jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual di pasar lokal. Hal ini yang menyebabkan para pedagang maupun pemasok udang dan tuna lebih cenderung memilih menjualnya ke industri pengolahan ataupun eksportir. Permintaan yang besar dan harga jual yang tinggi menjadi daya tarik utamanya. Sementara itu, pasokan untuk kebutuhan nasional seperti dinomorduakan.


Kebijakan terkait ekspor udang dan tuna sebagai produk unggulan dari potensi laut Indonesia sebenarnya juga terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Semakin ketatnya persaingan antar negara produsen udang dan tuna, ditambah sedang goyahnya kondisi ekonomi di negara tujuan ekspor perlu diperhatikan pemerintah dan para pelaku yang memiliki kepentingan di dalamnya. Dalam hal ini, pasar lokal memiliki potensi besar untuk dimasuki seiring dengan semakin sadarnya masyarakat Indonesia akan produk pangan yang bergizi dan bernilai tinggi.


Selama ini, produk perikanan yang dijual dan dipasarkan di pasar lokal merupakan produk yang nilai jual ekspornya tidak begitu besar. Bahkan, kebanyakan merupakan produk kelas dua. Udang dan tuna jarang ditemui di pasar-pasar lokal. Meskipun ada, kebanyakan dari udang dan tuna yang dipasarkan merupakan produk yang nilai ekspornya rendah. Jenis udang yang dijualpun merupakan jenis udang selain vannamei dan windu, sedangkan tuna  yang dijual adalah jenis baby tuna. Dilema dalam kejadian ini adalah terhambatnya hak warga negara Indonesia untuk menikmati produk-produk perikanan unggul yang memiliki nilai tinggi.


Promosi dan Daya Beli Masyarakat


Tingkat konsumsi ikan yang masih rendah merupakan salah satu alasan lesunya permintaan di pasar lokal. Meskipun ada peningkatan di tahun 2011 menjadi 31,64 kg/kapita/tahun, tetapi masih lebih rendah dari Malaysia 45 kg/kapita/tahun dan Thailand 35 kg/kapita/tahun. Program Gemarikan yang dicanangkan pemerintah, selain untuk memacu peningkatan konsumsi ikan sepatutnya juga digunakan untuk mengenalkan produk perikanan Indonesia yang memiliki nilai unggul. Hal ini secara langsung juga akan mendukung salah satu kebijakan strategis KKP terkait promosi produk perikanan industri, seperti udang dan tuna.


Pemerintah dan pelaku industri perikanan, terutama udang dan tuna, sewajarnya tidak perlu takut memasuki pasar lokal. Daya beli masyarakat dan kesadaran pentingnya produk perikanan berkualitas menjadi kekuatan tersendiri di pasar lokal. Data BPS 2011 menyebutkan bahwa pendapatan per kapita masyarakat meningkat 32% atau mencapai USD 3.542. Peningkatan pendapatan per kapita yang melebihi laju inflasi akan meningkatkan daya beli masyarakat. Bahkan Aprindo (Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia) menyatakan permintaan udang dan tuna di supermarket bisa mencapai 100-150 kg/hari dan di hypermarket bisa mencapai 25 ton/bulan, itupun belum jenis yang lainnya.


Selain itu, masyarakat sendiri juga harus semakin sadar akan pentingnya konsumsi produk perikanan yang bernilai tinggi. Salah satu caranya adalah dengan memperbanyak olahan pangan yang berbahan dasar ikan tuna dan udang. Seperti halnya lele yang identik dengan pecel lele, pengolahan tuna dan udang perlu digencarkan untuk meningkatkan konsumsi dalam negeri.


Jepang, sebagai pengimpor tuna terbesar, membutuhkan tuna dan udang untuk memenuhi kebutuhan produsen produk pangan olahan. Berbagai makanan khas Jepang menggunakan daging ikan tuna, seperti sushi, sashimi, ekkado ataupun onigiri sehingga munculah kebiasan mengkonsumsi tuna dan udang. Hal inilah yang perlu ditiru, permintaan dalam negeri akan meningkat apabila banyak produk olahan yang berbahan dasar tuna dan udang. Munculnya berbagai macam usaha produk pangan seperti steak tuna, sushi, abon tuna, udang gulung, nugget, bakso, martabak dan lain sebagainya perlu didukung keberadaanya.


Peningkatan promosi dan kebutuhan akan ikan tuna dan udang memerlukan kerjasama dari berbagai pihak. Adanya kerjasama dan kesinambungan antara pemerintah, pelaku usaha, akademisi dan masyarakat diharapkan dapat menciptakan persepsi baru, yaitu bangsa Indonesia tidak hanya mampu menghasilkan, tetapi mampu memanfaatkan dan menikmati kekayaan sumber alam kelautannya.


*Ketua Komunitas Mahasiswa Peneliti “SiLandak” Jurusan Perikanan, UGM


Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Trobos Aqua April 2013