Oleh:  KRIS RAZIANTO MADA Rodhial Huda (48) adalah kebalikan atas semua pandangan umum tentang nelayan di Indonesia. Berkulit kuning lang...

Rodhial Huda (48) adalah kebalikan atas semua pandangan umum tentang nelayan di Indonesia. Berkulit kuning langsat dan selalu rapi, punya teman akrab dari berbagai benua, punya perpustakaan pribadi dengan koleksi beragam jenis buku, ayah empat anak itu selalu bangga saat memperkenalkan diri sebagai nelayan.

Rodhial Huda by: Kris Razianto Mada

”Saya ingin semua nelayan bangga dengan profesi mereka. Anak- anak nelayan tidak segan menyebut pekerjaan orangtua mereka dan ingin meneruskan pekerjaan itu,” ujar Rodhial di Pulau Bunguran, Natuna.
Selama lebih dari 10 tahun terakhir, ia menghabiskan waktu mengubah cara pandang nelayan terhadap diri mereka sendiri. Ia juga mengubah cara pandang orang terhadap nelayan. ”Kalau saya memperkenalkan diri, banyak yang tidak percaya. Tetapi, setelah mendengar cerita saya, baru mereka yakin,” ujarnya.
Sebagai anak nelayan dari Pulau Sedanau, salah satu pulau di Natuna, Kepulauan Riau, ia mengaku kerap jengkel dengan pandangan soal nelayan. Di Indonesia, nelayan dipersepsikan sebagai orang-orang berpendidikan rendah, miskin, dan berpenampilan buruk karena terjemur sepanjang hari selama melaut.
Menurut Rodhial, cara pandang salah itu dianut pula oleh lembaga yang mengurusi nelayan. Berdasarkan cara pandang yang salah itu, beragam bantuan diberikan kepada nelayan. ”Bantuan untuk nelayan tidak pernah jauh-jauh dari perahu, mesin perahu, atau jaring. Akhirnya, bantuan yang sudah diberikan sejak berpuluh tahun lalu dan menghabiskan triliunan rupiah itu hampir tidak berhasil,” tuturnya.
Padahal, nelayan punya peran penting dan punya kekayaan yang kerap tidak terbayang. Menu sehari-hari nelayan Natuna adalah ikan yang berharga ratusan ribu rupiah per porsi di sejumlah restoran dan hotel. Di bawah rumah-rumah panggung mereka, ada puluhan ikan yang harga per ekornya bisa mencapai Rp 1,7 juta, seperti ikan napoleon.
Namun, semua itu kerap tidak dipandang. Nelayan jarang dipandang sebagai manusia dan masyarakat utuh. ”Mereka juga butuh sekolah, rumah ibadah, hiburan. Semua seharusnya disediakan dekat laut, bukan di darat,” ujarnya.
Nelayan kerap dicap sebagai pemboros karena cepat menghabiskan semua hasil melaut. Namun, tidak pernah ada pertanyaan mengapa perbankan tidak menjangkau mereka. ”Seharusnya, perbankan menyediakan layanan jemput bola ke kampung-kampung nelayan. Bukannya menunggu di kantor masing-masing,” ujarnya.
Rodhial pernah mencoba melakukan itu. Ia menemui petugas salah satu bank BUMN dan membukakan rekening untuk sejumlah nelayan. Nelayan didatangi ke rumah atau tempat pelelangan ikan. ”Setiap selesai melaut, sebagian hasil penjualan diserahkan kepada orang yang mengumpulkan setoran tabungan,” katanya.
Namun, program itu terpaksa berhenti karena Rodhial tidak punya cukup dana membayar insentif petugas pengumpul. Ia merasa tidak pantas jika mengutip setoran nelayan untuk dijadikan insentif petugas pengumpul.
Ubah mentalitas
Ia juga menyediakan sebagian waktunya untuk mendatangi nelayan di Natuna dari rumah ke rumah. Terkadang sebagian dijumpainya di warung kopi. Mereka diajak bercakap-cakap soal pengaturan keuangan, pendidikan anak, hingga rumah tangga. ”Kadang ada ibu-ibu bercerita sudah lama tidak dikasih uang oleh suaminya,” katanya.
Pria yang pernah menjadi nakhoda berbagai jenis kapal itu membantu dengan sejumlah ide penyelesaian. Ia menolak memberikan uang atau barang. Apa yang dilakukannya selama lebih dari 10 tahun terakhir justru untuk menghapus mental mengharapkan bantuan materi. ”Saya ingin nelayan tahu mereka mampu menyelesaikan masalah. Kondisi geografis Natuna adalah gambaran bahwa hanya orang-orang hebat yang bisa bertahan di daerah yang jauh dari mana-mana ini,” tuturnya.
Ia mengajak nelayan dan keluarganya mengolah hasil tangkapan agar tidak dijual mentah. Mereka juga diajak menjadi pelaku pariwisata. Kenalannya semasa menjadi nakhoda lintas negara beberapa kali membawa kapal dan rombongan pelancong dari dalam dan luar negeri untuk pelesir ke Natuna. Bahkan, ia sendiri menjadi pemandu para pelancong itu sebagai contoh kepada nelayan lain.
Rodhial bisa begitu karena sudah meruntuhkan hambatan mental dalam dirinya. Sebagai nakhoda berbagai kapal, ia terbiasa memerintah. Dengan menjadi penyemangat nelayan dan pemandu pariwisata, ia justru harus melayani.
Sampai 2004, ia memang masih menjadi nakhoda kapal niaga. Selama sembilan tahun, ia bekerja di berbagai jenis kapal. ”Saat jadi kapten feri Batam-Singapura, saya beberapa kali bertemu orang yang bercerita kekayaan Natuna,” ujarnya.
Sebagai orang Natuna, ia heran ada pandangan seperti itu. Sebab, nelayan di kampungnya justru banyak yang miskin dan tidak berpendidikan. Karena semakin sering orang bercerita soal kekayaan maritim Natuna, Rodhial memutuskan pulang kampung ke Pulau Sedanau.
Di sana, ia belajar mengelola keramba sembari mempelajari kehidupan nelayan. Ia tidak menemukan kajian apa pun soal kehidupan nelayan. ”Kajian antropologi di Indonesia didominasi soal masyarakat daratan. Di negara yang mayoritas laut ini, sulit sekali menemukan kajian-kajian soal maritim,” katanya.
Pelajaran selama dua tahun mengelola keramba membuatnya tahu ada pendekatan salah soal nelayan. Selama cara pandang dan pendekatan itu digunakan, amat besar kemungkinan nasib nelayan tetap sama. ”Saya tidak bisa menunggu orang lain melakukan perubahan. Saya harus memulai dengan segala keterbatasan,” ujarnya.
Ia menempuh metode dialog dari rumah ke rumah untuk menyampaikan gagasan di Natuna. Sebagian warga menerima idenya. Bahkan, sebagian pemuda memutuskan bekerja dengan memanfaatkan hasil laut. ”Kekayaan Natuna ada di laut. Daratan Natuna yang tidak sampai 10 persen dari keseluruhan wilayahnya tidak pantas dijadikan tumpuan,” tuturnya.
Rodhial juga terus meyakinkan bahwa orang Natuna bukan orang biasa. Butuh keberanian besar dan kemampuan luar biasa untuk hidup di gugusan kepulauan yang berjarak ribuan mil dari berbagai pulau besar dan benua. ”Saya mencoba menularkan itu lewat pendidikan,” ujarnya.
Bersama beberapa orang lain, ia mendirikan lembaga pendidikan kemaritiman di Natuna. Kepala dinas hingga presiden pernah disurati dan ditemuinya untuk mewujudkan lembaga yang sampai sekarang belum terwujud itu. ”Ada birokrat pendidikan yang merasa pendidikan kemaritiman cukup di sekolah pelayaran atau program studi perikanan. Maritim jauh lebih luas dari itu,” ucapnya.
Pencarian dukungan untuk perguruan tinggi kemaritiman di Natuna dan kampanye cara pandang soal nelayan membuatnya bertemu banyak orang. Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dan presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono hingga penjual sayur menjadi mitra dialognya. Beragam perguruan tinggi dan lembaga pemerintahan mengundangnya untuk berbagai pandangan soal nelayan.
Ia tidak menampik bahwa ada yang memandang miring soal undangan demi undangan itu. Seperti halnya tidak dipercaya saat mengenalkan diri sebagai nelayan, sebagian orang juga tidak percaya ia diundang sebagai pembicara di berbagai tempat.
”Saya maklum, saya cuma orang biasa di Natuna. Tetapi, saya bangga sebagai nelayan dan ingin anak-anak saya bangga punya orangtua nelayan,” katanya.
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 23 September 2015

Oleh: Ari Akbar Devananta* Genderang Masyarakat Ekonomi ASEAN ( MEA ) 2015 sudah ditabuh pasca akhir januari lalu . Namun, ...

Oleh: Ari Akbar Devananta*



Genderang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 sudah ditabuh pasca akhir januari lalu. Namun, hingga kini kesiapan Indonesia dalam menghadapi era keterbukaan di ASEAN masih belum maksimal sebagai contoh dapat dilihat kesiapan sektor perikanan dalam menghadapi MEA 2015. Daya saing komoditi perikanan Indonesia dinilai masih relatif lemah menghadapi era MEA 2015. Pemerintah dan semua pemangku kepentingan di sektor ini harus bekerja keras meningkatkan daya saing karena kalau tidak, Indonesia berpotensi hanya akan menjadi penonton di negeri sendiri.
Adanya MEA 2015 ini akan menjadi sebuah peluang sekaligus tantangan bagi negara -negara ASEAN khususnya Indonesia. Peluang, karena produk-produk Indonesia akan mendapat pasar di kawasan ASEAN.Indonesia harus siap mengahadapi MEA 2015 karena dengan adanya MEA 2015 ini, secara tidak langsung  masyarakat Indonesia dituntut untuk lebih kreatif dan mengeluarkan kebijakan-kebijakan strategis yang memberi banyak keuntungan bagi pengembangan usaha dalam negeri sehingga mampu bersaing dengan produk negara Anggota ASEAN lainnya. Integrasi ekonomi di ASEAN ini berpeluang menjadi batu loncatan strategis bagi Indonesia untuk memiliki posisi tawar yang kuat dalam konstelasi politik global.
Daya Saing
Indonesia memiliki peran strategis dan potensi sebagai negara penghasil produk perikanan berkualitas dan sekaligus menjadi pusat pasar produk olahan perikanan tidak hanya tingkat ASEAN tetapi dunia.Oleh karena itu, Pekerjaan Rumah (PR) besar Indonesia dalam menghadapi MEA adalah upaya percepatan penguatan mutu produk khususnya produk perikanan sehingga bisa bersaing dengan memeliki posisi tawar kuat di ketatnya persaingan dagang ASEAN bahkan dunia. Kunci untuk bisa menghimpun kesuksesan dan memenangkan pasar di MEA 2015adalah daya saing. Daya saing ini meliputi daya saing dari segi sumber daya manusia dan segi produk. Salah satu kunci yang berkaitan dengan potensi dari UMKM olahan perikanan Indonesia di MEA 2015 adalah daya saing produk yang erat kaitannya dengan standarisasi produk. Pencanangan SNI produk perikanan oleh para pelaku UMKM ini menjadi penting karena standarisasi ini dibutuhkan dalam persaingan tidak hanya tingkat ASEAN melainkan global.
UMKM memberikan kontribusi yang besar terhadap perekonomian riil Indonesia. UMKM berperan dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Data dari BPS 2012 menunjukkan bahwa kontribusi UMKM terhadap PDB Indonesia tahun 2011 sebesar 56,6% dan menyerap 97% dari tenaga kerja nasional. UMKM juga berkontribusi dalam penambahan devisa negara dalam bentuk penerimaan ekspor sebesar 27.700 milyar dan menciptakan peranan 4,86% terhadap total eksporIndonesia.
Peran SNI
SNI memiliki manfaat yang besar sebagai upaya penguatan dan perlindungan produk khususnya produk UMKM Indonesia. Mengetahui besarnya manfaat dari SNI maka upaya penerapan SNI di bidang perikanan pun mulai digarap serius, hal ini dibuktikan dengan kinerjaDirektorat Jenderal Pengolahan & Pemasaran Hasil Perikanan (DP2HP) melalui Panitia Teknis (PT) 65-05 produk perikanan sampai saat ini telah berhasil menyusun 160 Standar Nasional Indonesia (SNI) yang terdiri dari SNI produk perikanan dan SNI metode pengujian. Pada tahun 2013 PT 65-05 telah menyelesaikan Rancangan SNI sebanyak 8 Rancangan SNI yang sudah diserahkan ke BSN untuk dijadikan SNI termasuk produk kaleng dari UKM dan lainnya dengan standar mutu.
Upaya percepatan harmonisasi SNI produk perikanan dengan standar internasional tengah dilakukan oleh Direktorat Pengolahan Hasil bekerjasama dengan project TSP 2 yang melakukan kajian harmonisasi SNI produk perikanan dengan standar regional dan internasional seperti standar dari negara-negara ASEAN, standar ISO, Codex, standar dari Uni Eropa dan standar internasional lainnya. Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah punya satu lembaga sertifikasi produk (LS-pro) dan sedikitnya 25 laboratorium perikanan yang sudah terakreditasi.
Pada tahun 2014, standar produk perikanan yang dimiliki sebanyak 160 Standar Nasional Indonesia (SNI) produk perikanan sudah harmonis dengan standar Codex. Standar Codex digunakan sebagai referensi bagi negara anggota Codex dalam mengembangkan standar atau regulasi di bidang pangan dalam rangka melakukan harmonisasi secara internasional. Artinya, sebanyak 160 produk perikanan berlabel SNI telah diakui dunia internasional dan siap menyerbu pasar dunia. KKP sendiri menargetkan setiap tahunnya akan ada 10 produk perikanan baru yang memiliki SNI. SNI menjadi jurus jitu untuk membendung dan mengatasi serbuan produk impor. Serta bagian dari cara untuk meningkatkan kualitas produk yang diproduksi terutama oleh para pelaku UMKM.
Masih rendahnya konribusi UMKM terhadap devisa negara perlu diperkuat dengan standarisasi mutu produk yang diberlakukan kepada seluruh pelaku UMKM di Indonesia sehingga harapannya dengan dimilikinya tingkat standar mutu yang sama dengan negara – negara di Eropa dan Asia maka produk lokal unggulan UMKM Indonesia mampu bersaing secara sehat di pasar bebas, dimulai dengan terbukanya pasar bebas ASEAN di MEA 2015.
Berkenaan dengan standar mutu produk ini tidak bisa tidak hanya dilimpahkan pada satu kementrian terkait saja, dalam hal ini seperti Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementrian Pertanian dan sejenisnya, akan tetapi perlu adanya sinergitas yang apik dengan stakeholder terkait seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Badan Standarisasi Nasional (BSN), Kementrian Perindustrian dan Perdagangan dan Kementrian Koperasi sehingga daya saing dan posisi tawar dari UMKM Indonesia mulai diperhitungkan di tingkat global.
Dukungan Pemerintah
Di sisi lain, dukungan kebijakan pemerintah untuk inovasi produk olahan perikanan UMKM memang sangat dinantikan. Pemeringkatan UMKM yang dijalankan pemerintah diharapkan bisa mempermudah akses dana pengembangan usaha dan mekanisme reward bagi UMKM yang berprestasi yang ditetapkan pemerintah sehingga mampu menstimulus produktivitas dan inovasi dari para pelaku UMKM untuk senantiasa bergerak maju.
*Mahasiswa Jurusan Perikanan UGM
Pegiat Forum Kajian Perikanan
Pengurus Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia Klaster Mahasiswa.

Dimuat di rubrik Almamater, Majalah Trobos Edisi 33, 15 Februari-14 Maret 2015