Oleh: Irene Sarwindaningrum Nelayan pesisir Belitung dilanda keresahan. Kabar rencana beroperasinya tambang timah laut dengan kapal isapnya...

Bayangan Kapal Isap di Negeri Laskar Pelangi

Oleh: Irene Sarwindaningrum
Nelayan pesisir Belitung dilanda keresahan. Kabar rencana beroperasinya tambang timah laut dengan kapal isapnya ibarat ancaman badai yang terus membayangi laut, ladang penghidupan mereka. Suara penolakan terus mereka serukan.
*** 
Pekan lalu cuaca di Pantai Tanjung Kelayang cerah. Ombak mengalun tenang dan langit pun biru terang. Hari itu amat baik untuk melaut.
Namun, hari itu nelayan dari Desa Keciput, Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung, Kepulauan Bangka Belitung, memilih tidak melaut. Sekitar 30 nelayan justru berkumpul di warung kopi di pinggir Tanjung Kelayang, tempat mereka biasanya berangkat melaut. Perahu dibiarkan tertambat diam di dermaga.
Mereka rela kehilangan pendapatan sehari lagi. Sudah hampir sepekan nelayan itu tak melaut untuk mempersiapkan unjuk rasa menolak kapal isap.
Saat ini Pulau Belitung belum tersentuh kapal isap. Namun, bayangannya begitu dekat. Desa Keciput dikabarkan termasuk wilayah eksplorasi timah yang dilakukan PT Bumi Hero Perkasa. Di perairan Kabupaten Belitung Timur, dua kapal eksplorasi pun dilihat warga.
Di warung kopi itu, suara radio Belitong FM didengar dengan raut wajah tegang. Radio yang dipancarkan dari ibu kota Belitung, Tanjung Pandan, itu tengah menyiarkan pertemuan di ruang kerja Bupati Belitung Darmansyah Husein.
Tidak berapa lama kemudian, warung kopi dari bambu itu bergemuruh. Nelayan bergembira karena Darmansyah setuju menandatangani surat perjanjian untuk menolak kapal isap di pesisir Belitung dan menghentikan proses analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) bagi lahan PT Bumi Hero Perkasa seluas 1.910 hektar di pesisir Belitung. Kawasan itu, menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kepulauan Bangka Belitung, mencakup 35 titik nelayan mencari ikan.
Haeruddin (28), nelayan teripang dari Desa Keciput, menuturkan, mereka siap bergerak ke kantor Bupati Belitung jika Darmansyah menolak menandatangani surat perjanjian.
Pertemuan Jumat itu merupakan lanjutan unjuk rasa ribuan orang yang menolak kapal isap di Tanjung Pandan, Belitung, beberapa hari sebelumnya. Berbagai elemen masyarakat bergabung dalam aksi itu selain nelayan. Berbagai kalangan merasa perlu menolak kapal isap di pesisir Belitung dengan satu alasan, melindungi kelestarian dan keindahan pantai mereka.
Sarpan (38), tokoh nelayan di Keciput, mengatakan, penolakan terbuka nelayan itu dimulai sekitar dua tahun lalu. Mereka berunjuk rasa menolak pembuatan Dolphin Island yang menggunakan kapal isap. Penolakan itu salah satunya didorong kabar nelayan Bangka kian sulit mencari ikan sejak kapal isap beroperasi. Kapal isap menggerus dasar pantai dan mengeluarkan limbah tailing. Laut sekitarnya menjadi keruh, terumbu karang rusak, dan ikan sulit diperoleh.
“Tambang timah laut banyak uangnya, tetapi hanya menguntungkan pemilik kapal. Kami kerja di kapal itu tak bisa karena tenaga kerja yang dibutuhkan maksimal 20 orang di tiap kapal isap,” kata Sarpan.
Ekonomi dan cara hidup
Bagi nelayan, kerusakan laut berarti rusaknya sumber ekonomi dan cara hidup yang mereka kukuhi dari generasi ke generasi. Sejak lama, perikanan adalah sumber ekonomi di pesisir Pulau Belitung. Tahun 2008 tercatat ada sekitar 13.500 nelayan di pulau yang dibagi menjadi wilayah Kabupaten Belitung dan Belitung Timur itu.
Warga Desa Keciput, misalnya, merasa sejahtera dari laut. Nelayan teripang berpenghasilan minimal Rp 3 juta sebulan, bergantung pada musim. Dua tahun terakhir, warga Keciput mendapatkan penghasilan tambahan dari menyewakan perahu wisata dan penginapan, seiring dengan menggeliatnya pariwisata sejak novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata meledak.
Cara kerja mereka pun unik. Nelayan menyelam hingga kedalaman 30 meter di laut hanya berbekal kompresor. Teknik ini mereka pelajari dari ayah dan kakek mereka yang sejak lama menyelami laut Belitung tanpa alat selam.
Generasi terdahulu nelayan Keciput bisa menyelam hingga kedalaman 15 meter di laut selama beberapa menit dengan menahan napas saja.
Di Belitung Timur, penolakan terhadap kapal isap juga disuarakan warga Desa Air Kelik, Kecamatan Darma. Tak lama setelah unjuk rasa di Kabupaten Belitung, warga Desa Air Kelik menyerahkan surat berisi tanda tangan warga yang menolak kapal isap kepada Badan Lingkungan Hidup setempat.
Tahun 2009, warga Desa Burong Mandi, Belitung Timur, juga mengusir kapal eksplorasi yang beroperasi di dekat pantai. Warga marah karena laut tempat mereka biasa mencari ikan keruh saat kapal eksplorasi itu berhenti di sana. Ikan pun sulit diperoleh. ”Kami naiki kapal itu dan menemukan tumpukan timah,” kata Koko Haryanto, Kepala Desa Burong Mandi.
Keresahan juga terjadi di sektor wisata. Riviani (42) dari Lembaga Layanan Pelaku Pariwisata Belitung mengatakan, sekitar 86.000 jiwa terancam kehilangan pekerjaan jika keindahan laut Belitung rusak. Kini jumlah wisatawan yang datang ke Belitung sekitar 3.000 orang sebulan, dengan uang beredar minimal Rp 3 miliar sebulan.
Kelompok Peduli Lingkungan Belitung (KPLB) memilih strategi membangun wisata ekologi di beberapa titik terluar Pulau Belitung, yaitu di Pulau Kepayang sebagai wisata ekologi terumbu karang dan penyu, Batu Mentas untuk melestarikan tarsius belitung, serta Selat Nasik sebagai wisata ekologi hutan bakau. Koordinator KPLB Budi Setiawan mengatakan, selain menarik wisatawan, wisata ekologi bertujuan membentuk sabuk pengaman guna menutup peluang masuknya kapal isap.
”Harapannya, rencana kapal isap dibatalkan jika di situ terdapat kegiatan wisata dan pelestarian,” ujarnya.
Sebaliknya, Bupati Belitung, seusai menandatangani perjanjian dengan warga, menyatakan, beberapa izin eksplorasi tambang timah laut yang telah disetujui tak mungkin dihentikan. ”Eksplorasi penting untuk pemetaan sumber daya. Ini berguna jika Indonesia menghadapi masa sulit. Jangan sampai kita mati di lumbung,” katanya.

Darmansyah menyebut kapal isap ibarat hantu yang membuat warga takut, padahal wujudnya belum terlihat. Tampaknya ancaman kapal isap di laut Belitung belum sepenuhnya berlalu. Kelegaan itu hanya sesaat.
Ilustrasi
Dimuat di Kompas, 5 November 2012

0 komentar: