Judul : Menjala Kesejahteraan: Bunga Rampai Pemikiran Perikanan dan Kelautan Penulis : Andhika Rakhmanda Muhammad Ali Yafi Arsyil W...


















Judul :
Menjala Kesejahteraan: Bunga Rampai Pemikiran Perikanan dan Kelautan

Penulis :
  1. Andhika Rakhmanda
  2. Muhammad Ali Yafi
  3. Arsyil Wisuda
  4. Aditiya Yanuar
  5. Feri Setiawan
  6. Irfan Teguh Prima
  7. Moh. Ali Fatha Seknun
  8. Silvi Fitria
  9. Himawan Akhmandin S.
  10. Yunita Dwi Astuti
  11. Ali Ahsan
  12. Topandi
  13. Luqman Hakim
  14. Mohd. Yunus
  15. Dyah Savitri Pritadrajati
  16. Mohammad Takdir Ilahi
Sambutan dan Pengantar :
  1. Prof. Dr. Ir. Rustadi, M.Sc.
  2. Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS
  3. Prof. Dr. Ir. Kamiso H. N., M. Sc.

Terbit : Desember, 2014
ISBN : 978-602-225-959-6
Halaman : 278

Harga : Rp 53.700,00

Sinopsis :

Buku yang berisi kumpulan tulisan hasil pemikiran mahasiswa ini berupaya untuk mengungkap beberapa persoalan penting yang dihadapi oleh masyarakat perikanan dan kelautan, sembari memberikan gagasan mengenai pembangunan dan pengelolaannya. Masalah-masalah sosial-ekonomi dan lingkungan yang dihadapi pelaku perikanan merupakan sebuah ironi besar di tengah-tengah kekayaan sumber daya kelautan yang melimpah.

Kehadiran buku ini merupakan kebutuhan konkret untuk mengisi kelangkaan publikasi tentang masyarakat nelayan dan masalah perikanan-kelautan secara umum, serta menyemarakkan perdebatan wacana tentang arah pembangunan kemaritiman di masa depan. Sebuah buku yang layak dimiliki dan dibaca oleh siapa pun: para penentu kebijakan pembangunan, akademisi, praktisi, masyarakat sipil, serta kalangan mahasiswa yang tertarik dengan isu-isu pembangunan perikanan, kelautan, dan kemaritiman.

***

“... Buku ini tidak saja menyajikan berbagai informasi dan data dari berbagai daerah tentang berbagai masalah tetapi juga membawa pembaca untuk berpikir kritis dan membangkitkan kesadaran bahwa pembangunan perikanan dan kelautan tidak saja urgen bagi bangsa ini tetapi juga perlu cepat.”
(Prof. Dr. Ir. Kamiso H. N., M. Sc. ~ Guru Besar Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UGM)

“Buku Menjala Kesejahteraan dapat memberikan kontribusi besar dan penting dalam menjadikan sektor kelautan perikanan menjadi leading sector dalam arsitektur perkonomian Indonesia.”
(Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, M.S. ~ Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Kabinet Gotong Royong dan Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB)

Pre Order via
sms ke 081904221928 (Leutika) atau 085777356711 (Forum Kajian Perikanan)
konfirmasi nama, jumlah pesanan dan alamat pengiriman
contoh: Pesan Buku Menjala Kesejahteraan / Susi Pudjiastuti / 10 eks / Kantor Kementrian Kelautan dan Perikanan Jl. Medan Merdeka Timur No. 16 Jakarta.

Download contoh buku: Download

A nimo masyarakat terhadap dunia perikanan, akhir-akhir ini terus meningkat. Hal ini disambut gembira oleh sebagian orang, salah satunya ad...

Animo masyarakat terhadap dunia perikanan, akhir-akhir ini terus meningkat. Hal ini disambut gembira oleh sebagian orang, salah satunya adalah masyarakat Desa Burikan yang akhirnya memutuskan untuk membentuk kelompok pembudidayaan ikan yang bernama “Mina Kepis”.
Sejarah Singkat
Berdirinya Kelompok Pembudidaya Ikan (KPI) Mina Kepis di Burikan, Sumberadi, Mlati, Sleman ini diawali dengan didirikannya organisasi Taruna Tani Burikan pada tahun 1983. Organisasi ini merupakan organisasi yang menghimpun dan mempunyai beberapa seksi kegiatan wiraswasta yang bergerak dalam bidang pertanian, perkebunan, dan perikanan. Dengan berjalannya waktu, bidang perikanan merupakan bidang yang paling banyak diminati. Kegiatan serta hasil usaha yang meliputi bidang ini selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini didukung dengan letak Desa Burikan yang berhimpitan dengan Kali Lempong sehingga memudahkan untuk pengairan. Atas dasar inilah Taruna Tani Burikan berganti nama dan terlahir kembali dalam Kelompok Pembudidaya Ikan Mina Kepis.

KPI Mina Kepis
Keorganisasian
Struktur kepengurusan KPI Mina Kepis terdiri dari pembina, pengawas, ketua, sekretaris, bendahara, seksi-seksi, dan beberapa anggota. Organisasi ini diketuai oleh Bapak Juwito, yang beranggotakan sejumlah 32 orang. Rapat pengurus diadakan jika perlu dan rapat pleno diadakan setiap bulan sekali tiap malam senin di minggu pertama.
KPI mina Kepis juga memiliki sebuah koperasi yang setiap anggotanya wajib menjadi anggota dari koperasi tersebut. Usaha koperasi ini meliputi penjualan plastik serta oksigen untuk pengepakan ikan. Uang yang harus disetorkan oleh anggota baru yaitu Rp 60.000, sedangkan SHU diberikan kepada anggota setiap akhir tahun. Selain mendapatkan SHU dari koperasi, para anggota juga mendapat 25% dari hasil potongan 1% di tambah dari hasil tangkap di bak kelompok.
Komoditas Ikan Budidaya
KPI Mina Kepis memiliki 2 macam jenis ikan yang dibudidayakan, yaitu jenis ikan hias dan ikan konsumsi. Jenis ikan hias yang dibudidayakan adalah koi, komet, tiger cat fish (lele Amerika), dan aligator, sedangkan jenis ikan konsumsi yang dibudidayakan adalah gurameh, nila, bawal, lele, dan patin. Jens ikan konsumsi yang mendatangkan keuntungan paling besar adalah ikan nila dan untuk jenis ikan hias adalah ikan koi.
Keuntungan dari budidaya nila adalah kemampuan untuk bereproduksi yang cukup tinggi. Antara 2-3 bulan dari bibit, ikan nila sudah dewasa dan dapat menghasilkan telur setiap bulan sebanyak satu kali. Sifat ikan nila yang cepat menghasilkan anak ikan, menyebabkan kelebihan populasi ikan nila dalam kolam, yang berdampak pada pertumbuhan ikan yang lambat. Hal ini dapat dilihat pada saat panen ikan nila, ukuran nila terbagi dalam berbagai ukuran, mulai dari ikan-ikan kecil, sedang, dan besar. Ikan jantan akan terlihat lebih besar dari ikan betina dikarenakan sifat alamiah ikan betina untuk menghasilkan anak-anak ikan. Pada saat bertelur induk ikan betina tidak makan sekurang-kurangnya 10 hari untuk menjaga larva yang berada dalam mulutnya. Koi (Cyprinus capriyo) termasuk ikan hias eksotis yang semakin banyak penggemarnya. Selain di pelihara sebagai hobi, koi juga bisa dijadikan lahan bisnis yang menjanjikan. Pesona warna dan lekukannya yang indah, juga keelokan yang dipertontonkan tatkala menyembul dan melompat ke atas air membuat harganya melambung tinggi.
Kelompok Pembudidaya Ikan Mina Kepis pernah menjadi juara harapan tingkat Nasional pada tahun 2005 untuk inbud nila.  Untuk ikan koi yang sudah pernah memenangkan berbagai macam lomba harga yang ditawarkan dapat mencapai 2 milyar.
Produksi
KPI Mina Kepis sampai saat ini baru dikembangkan pembudidayaan dengan dua cara yaitu cara tradisional dan sebagian besar menggunakan cara semi intensif. Perbedaan umum kedua cara disajikan pada Tabel 1 yang menyajikan informasi perbedaan dilihat dari spesifikasi kolam, pemberian pakan, dan sistem pemeliharaan.
Tabel 1: Perbedaan budidaya ikan secara tradisional dan semi intensif pada KPI Mina Kepis
NoKriteriaTradisionalSemi Intensif
1Spesifikasi KolamBelum memenuhi standarDisesuaikan dengan spesifikasi kolam yang ideal
2Pemberian PakanMaksimal 3 kali sehari dengan takaran sesuai dengan perkiraanSebanyak 4-5 kali sehari dg takaran sesuai kebutuhan (sudah termasuk pakan tambahan dan vitamin)
3Sistem PemeliharaanPolikulturMonokultur
Air dikelola dan dipelihara kejernihannya berdasarkan penyesuaian terhadap jenis ikan, dibersihkan dari kotoran untuk meminimalisir dan mencegah hama penyakit, serta di jaga kisaran pH air antara 7-7,5 dengan suhu ± 27C.
Pakan yang dipakai terdiri dari dua jenis, yaitu pakan alami berupa  fitoplankton dan pakan buatan berupa pelet. Fitoplankton ditumbuhkan melalui pemupukan dengan menggunakan pupuk organik (pupuk kandang) dan anorganik (Urea, TSP). Pemupukan dilakukan secara periodik sesuai dengan kepadatan fitoplanktonyang diinginkan. Pakan buatan yang digunakan harus mengandung kadar protein yang cukup dan bermutu bagi pertumbuhan ikan, selain itu harus mengandung cukup vitamin dan mineral guna menambah daya tahan tubuh dan menghindari penyakit malnutrisi. Pakan juga harus memenuhi persyaratan fisik yang diperlukan agar dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh ikan, yaitu jumlah pakan disesuaikan dengan ukuran dan umur ikan yang di pelihara.
Pemasaran
Sistem pemasaran menggunakan sistem satu pintu, yaitu jika ada anggota yang memanen ikan maka ikan di tampung terlebih dahulu di dalam kelambu atau hava yang telah disediakan di pasar. Anggota tidak boleh memasarkan dan melayani pembeli karena sistem penjualan sudah ditangani olrh petugas khusus. Total hasil penjualan untuk tiap anggota di potong sebesar 7% dengan perincian 1 % untuk pengembangan cara pasar; 2 % untuk oksigen plastik; dan 4 % untuk petugas penjualan.
Pasar ikan Mina Kepis buka setiap hari pukul 07.00 sampai 17.00 WIB. Omset penjualan setiap hari dapat mencapai 5 hingga 6 juta rupiah, namun pada hari minggu dapat mencapai hingga 8 juta rupiah. Calon pembeli diberi kebebasan untuk memilih ikan yang akan dibeli dan akan dilayani dengan ramah serta profesional.
Setiap anggota KPI Mina Kepis wajib untuk menjadi anggota koperasi. Keuangan kelompok di pegang dan dikelola oleh bendahara. Ada tiga jenis buku yang dipergunakan yaitu buku potongan 1 %, buku koperasi, dan buku kas induk. Sumber pemasukan berasal dari sisa sewa kolam ke desa, iuran wajib perbulan (Rp 1.000  untuk setiap anggota), dan sumbangan apabila ada kunjungan dari lembaga atau organisasi lain.
Setiap anggota diberi fasilitas tempat penampung ikan di pasar, sesuai dengan mobilitasnya masing-masing. Bagi yang mempunyai mobilitas tinggi keuntungan kotor (brutto) yang di peroleh per hari dapat mencapai minimal lima ratus ribu rupiah. Sebanyak 80% dari 32 anggota menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan, sedangkan sisanya yaitu 20% hanya sebagai usaha sampingan.
Kelompok Pembudidaya Ikan Mina Kepis
Alamat : Burikan, Sumberadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta 55288

By: William F. Royce* L et us imagine how it would be to live in permanent, thick, cold fog through which no eye can see more than 50 m b...

By: William F. Royce*
Let us imagine how it would be to live in permanent, thick, cold fog through which no eye can see more than 50 m but through which sunlight can penetrate for several hundred meters. Imagine next going to the top of a hill emerging from the fog and being blinded by the bright sunshine. Imagine being able to smell all of the odors from the others organisms and waters that pass you in the veil. Imagine hearing every animal near you and even the echoes of you own noises reflected back to you. Imagine also sensation of resting with little effort; always with the sensation of weightlessness but always fighting the water to move. Imagine traveling horizontally in the open sea for hundreds of kilometers with perceptible change in climate but finding intense cold and darkness when descending only a few meters. Imagine the constant risk of sinking down into the dark and cold or rising up to the surface is depth controls ceased to function. Such a fancy gives a remote concept of an animal in the ocean in terms of human senses.
Now let us look at the ocean environment as a whole. Perhaps the outstanding characteristic is the remarkable similarity over long distance of very thin layers that are greatly different from others layers above and below. The pressure, light, heat, oxygen, and nutrient elements all vary greatly with depth, and each is vital to the life in the water. Other features, such as N2, CO2, pH, density, and salinity, vary so little with depth that living things are not affected directly, although the slight variations are important for physical reasons.
Another feature is the nearly perpetual motion–mostly horizontal but occasionally and importantly vertical. The currents are always carrying heat, food, eggs, larvae, and the plants and animals themselves. The organism must breast the current or change depth to a favorable current if it is to avoid transportation.
As judged by the scant number of species, the more formidable of aquatic environments are not only the extremely hot, the extremely cold, and the lowoxygen parts of the oceans but also the most variable parts, the estuaries. Here the currents, salinity, and temperature change in tidal and seasonal cycles in ways that few organisms can withstand, and here too most of man’s wastes discharge to start their final dilution.
*College of Ocean and Fishery Sciences, University of Washington, Seattle.



Royce, William F. 1984. Introduction to the practice of fishery science. Academic Press, Inc. London.

Oleh: Hario Premono* Data FAO 2007 menyebutkan bahwa Indonesia merupakan produsen tuna terbesar di dunia dengan kontribusi 12,45%, dis...

Oleh: Hario Premono*


Data FAO 2007 menyebutkan bahwa Indonesia merupakan produsen tuna terbesar di dunia dengan kontribusi 12,45%, disusul Filipina (11,36%), Jepang (10,23%), Taiwan (8,3%), dan Korea (6,1%). Produksi tuna sendiri pada tahun 2011 sebesar 230.580 ton. Selain tuna, data FAO 2010 juga menunjukkan Indonesia merupakan produsen terbesar keempat dalam produksi udang dengan 350.000 ton, berada di bawah Cina (1,3 juta ton), Thailand (560.000 ton) dan Vietnam (370.000 ton). Hal ini menggambarkan bahwa Indonesia merupakan produsen besar tuna dan udang di dunia.

Sementara itu, data KKP 2011 menyebutkan jumlah produksi lele mencapai 330.687 ton dengan peningkatan rata-rata sebesar 39,66% disetiap tahunnya. Program budidaya lele yang digembor-gemborkan nampaknya cukup berhasil dengan peningkatan jumlah produksi yang signifikan. Ditinjau dari aspek gizi pangan, protein lele 17,7% lebih rendah dibandingkan tuna 24,3% dan udang 21%. Belum lagi kandungan omega 3 pada tuna dan udang yang bermanfaat penting bagi tubuh.

Penyebab utama peningkatan produksi ikan lele adalah meningkatnya permintaan ikan lele diberbagai daerah. Hasil SUSENAS 2008 menunjukkan bahwa penyerapan ikan lele masyarakat Indonesia mencapai 148.039 ton dengan tingkat konsumsi rata-rata 0,67 kg/kapita/tahun. Harga yang murah, nilai gizi yang cukup tinggi dan teknik budidaya yang relatif mudah menjadi faktor utama pesatnya perkembangan lele di Indonesia.


Berdasarkan data diatas, munculah beberapa pertanyaan yang memberikan suatu dilema tersendiri. Sebagai produsen terbesar tuna dan udang di dunia, masyarakat Indonesia sendiri jarang menikmati produk tuna dan udang tersebut. Namun di lain pihak, ikan lele yang baru akan dikembangkan memiliki cukup banyak permintaan. Rupanya, produk olahan berupa pecel lele menjadi magnet tersendiri bagi masyarakat Indonesia.


Permintaan Luar Negeri


Sebagai negara produsen tuna dan udang, tentu banyak permintaan dari luar negeri. Permintaan terbesar akan tuna Indonesia adalah Jepang (36,84%), Amerika (20,45%), dan Uni Eropa (12,69%). Sementara itu, kinerja ekspor tuna Indonesia terus mengalami peningkatan sejak 2009. Pada 2009, nilai ekspor tuna USD 352 juta, lalu meningkat menjadi USD 383  juta pada 2010. Sementara itu, nilai ekspor tuna tahun 2011 sebesar 141.774 ton senilai USD 499 juta naik 30,1% dibandingkan pada tahun sebelumnya. Dengan produksi pada tahun 2011 yang mencapai 230.580 ton, menunjukkan lebih dari 60% produksi tuna di Indonesia dipasarkan di luar negeri.


Permintaan luar negeri terhadap komoditi udang juga besar. KKP mencatat volume ekspor udang pada tahun 2010 sebesar 110.000 ton, yang terdiri dari jenis udang vannamei dan windu, dengan nilai ekspor mencapai USD 1,070 miliar. Nilai ekspor udang yang besar terjadi berkat adanya added value (nilai tambah) sehingga meningkatkan harga jual udang. Dengan produksi udang tahun 2010 yang mencapai 350.000 ton, menggambarkan bahwa lebih dari 30% produksi udang nasional ditujukan untuk pasar luar negeri. Namun, perlu diketahui bahwa udang yang ditujukan untuk ekspor merupakan udang yang memiliki nilai jual lebih dan nilai tambah dibandingkan udang yang dipasarkan di pasar lokal.


Pada tahun 2013 ini, KKP sendiri menargetkan adanya peningkatan nilai ekspor produk perikanan. Udang tetap menjadi salah satu komoditas unggulan yang diproyeksikan mencapai USD 1,9 miliar, diikuti tuna USD 720 juta, kepiting USD 379 juta, produk perikanan lainnya mencapai USD 541 juta. Peningkatan nilai ekspor memang akan turut serta dalam peningkatan sumber devisa Indonesia. Namun, di satu sisi masyarakat Indonesia tidak dapat menikmati kenikmatan akan kekayaan alam laut yang ada di negeri ini.


Berdasarkan pendapatan yang akan didapat, kebijakan ekspor produk perikanan memiliki potensi yang jauh lebih besar. Harga jual di pasar ekspor jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual di pasar lokal. Hal ini yang menyebabkan para pedagang maupun pemasok udang dan tuna lebih cenderung memilih menjualnya ke industri pengolahan ataupun eksportir. Permintaan yang besar dan harga jual yang tinggi menjadi daya tarik utamanya. Sementara itu, pasokan untuk kebutuhan nasional seperti dinomorduakan.


Kebijakan terkait ekspor udang dan tuna sebagai produk unggulan dari potensi laut Indonesia sebenarnya juga terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Semakin ketatnya persaingan antar negara produsen udang dan tuna, ditambah sedang goyahnya kondisi ekonomi di negara tujuan ekspor perlu diperhatikan pemerintah dan para pelaku yang memiliki kepentingan di dalamnya. Dalam hal ini, pasar lokal memiliki potensi besar untuk dimasuki seiring dengan semakin sadarnya masyarakat Indonesia akan produk pangan yang bergizi dan bernilai tinggi.


Selama ini, produk perikanan yang dijual dan dipasarkan di pasar lokal merupakan produk yang nilai jual ekspornya tidak begitu besar. Bahkan, kebanyakan merupakan produk kelas dua. Udang dan tuna jarang ditemui di pasar-pasar lokal. Meskipun ada, kebanyakan dari udang dan tuna yang dipasarkan merupakan produk yang nilai ekspornya rendah. Jenis udang yang dijualpun merupakan jenis udang selain vannamei dan windu, sedangkan tuna  yang dijual adalah jenis baby tuna. Dilema dalam kejadian ini adalah terhambatnya hak warga negara Indonesia untuk menikmati produk-produk perikanan unggul yang memiliki nilai tinggi.


Promosi dan Daya Beli Masyarakat


Tingkat konsumsi ikan yang masih rendah merupakan salah satu alasan lesunya permintaan di pasar lokal. Meskipun ada peningkatan di tahun 2011 menjadi 31,64 kg/kapita/tahun, tetapi masih lebih rendah dari Malaysia 45 kg/kapita/tahun dan Thailand 35 kg/kapita/tahun. Program Gemarikan yang dicanangkan pemerintah, selain untuk memacu peningkatan konsumsi ikan sepatutnya juga digunakan untuk mengenalkan produk perikanan Indonesia yang memiliki nilai unggul. Hal ini secara langsung juga akan mendukung salah satu kebijakan strategis KKP terkait promosi produk perikanan industri, seperti udang dan tuna.


Pemerintah dan pelaku industri perikanan, terutama udang dan tuna, sewajarnya tidak perlu takut memasuki pasar lokal. Daya beli masyarakat dan kesadaran pentingnya produk perikanan berkualitas menjadi kekuatan tersendiri di pasar lokal. Data BPS 2011 menyebutkan bahwa pendapatan per kapita masyarakat meningkat 32% atau mencapai USD 3.542. Peningkatan pendapatan per kapita yang melebihi laju inflasi akan meningkatkan daya beli masyarakat. Bahkan Aprindo (Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia) menyatakan permintaan udang dan tuna di supermarket bisa mencapai 100-150 kg/hari dan di hypermarket bisa mencapai 25 ton/bulan, itupun belum jenis yang lainnya.


Selain itu, masyarakat sendiri juga harus semakin sadar akan pentingnya konsumsi produk perikanan yang bernilai tinggi. Salah satu caranya adalah dengan memperbanyak olahan pangan yang berbahan dasar ikan tuna dan udang. Seperti halnya lele yang identik dengan pecel lele, pengolahan tuna dan udang perlu digencarkan untuk meningkatkan konsumsi dalam negeri.


Jepang, sebagai pengimpor tuna terbesar, membutuhkan tuna dan udang untuk memenuhi kebutuhan produsen produk pangan olahan. Berbagai makanan khas Jepang menggunakan daging ikan tuna, seperti sushi, sashimi, ekkado ataupun onigiri sehingga munculah kebiasan mengkonsumsi tuna dan udang. Hal inilah yang perlu ditiru, permintaan dalam negeri akan meningkat apabila banyak produk olahan yang berbahan dasar tuna dan udang. Munculnya berbagai macam usaha produk pangan seperti steak tuna, sushi, abon tuna, udang gulung, nugget, bakso, martabak dan lain sebagainya perlu didukung keberadaanya.


Peningkatan promosi dan kebutuhan akan ikan tuna dan udang memerlukan kerjasama dari berbagai pihak. Adanya kerjasama dan kesinambungan antara pemerintah, pelaku usaha, akademisi dan masyarakat diharapkan dapat menciptakan persepsi baru, yaitu bangsa Indonesia tidak hanya mampu menghasilkan, tetapi mampu memanfaatkan dan menikmati kekayaan sumber alam kelautannya.


*Ketua Komunitas Mahasiswa Peneliti “SiLandak” Jurusan Perikanan, UGM


Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Trobos Aqua April 2013

P emerintah baru saja menaikan harga BBM lagi. Bagaimana dampaknya bagi usaha perikanan? Mudah ditebak bahwa usaha perikanan akan kembali ...

Pemerintah baru saja menaikan harga BBM lagi. Bagaimana dampaknya bagi usaha perikanan? Mudah ditebak bahwa usaha perikanan akan kembali tersungkur. Pasalnya, usaha perikanan, khususnya penangkapan sangat tergantung pada BBM, mengingat komponen BBM berkisar 40-60 % dari total biaya variabel penangkapan ikan. Tebakan ini memang hanya berdasar common sense saja karena memang belum ada riset komprehensif yang menghitung dampak kenaikan BBM terhadap berbagai skala usaha perikanan. Tentu dampak terhadap skala usaha kecil atau armada dibawah 10 Gross Ton (GT) berbeda dengan yang diatas 100 GT sehingga solusi atau kompensasi yang semestinya disiapkan pun berbeda.

Memang ada sebuah riset kecil yang dilakukan Fauzia (2003)[1] di Pelabuhan Ratu untuk kasus kenaikan BBM selang dekade yang lalu. Pada tahun 2003, di lokasi riset tersebut ternyata dampak paling besar dari kenaikan BBM adalah terhadap kapal ikan berukuran 5-10 GT. Dalam komponen biaya variabel, kenaikan BBM sebesar 36 % waktu itu mengurangi pendapatan nelayan dan membuat usaha tersebut tidak layak secara ekonomi. Pendapatan nelayan berkurang 48,5 % (50-10 GT), 45,9 % (11-20 GT), dan 13,1 % (21-32 GT). Berdasarkan analisis sensitivitas, nelayan 5-10 GT tidak layak secara ekonomi, tetapi nelayan di atas 10 GT masih layak melanjutkan usahanya, apalagi usaha diatas 20 GT. Artinya, pencabutan subsidi BBM memang pada akhirnya efektif untuk menggusur nelayan kecil di bawah 10 GT, padahal statistik perikanan menunjukkan bahwa sekitar 90 % armada penangkapan ikan kita dibawah 10 GT. Hal demikian juga berarti bahwa kenaikan BBM ini sangat terasa dampaknya pada hampir seluruh nelayan di Indonesia.

Hasil riset tersebut mengindikasikan dampak negatif dari kenaikan harga BBM terhadap usaha perikanan kecil. Kini, naiknya harga solar dari Rp 5.500 menjadi Rp 7.500 per liter berpotensi memberikan dampak yang lebih buruk lagi, tidak saja bagi pemilik kapal, tapi juga nelayan buruh mengingat pendapatan mereka dipengaruhi pola bagi hasil.

Saat ini, pemerintah telah merumuskan berbagai program kompensasi pengurangan subsidi BBM, seperti peluncuran tiga “kartu sakti”––Kartu Keluarga Sejahtera, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Indonesia Pintar––yang disebut sebagai pengalihan subsidi ke sektor produktif. Pertanyaannya, apakah program kompensasi ini akan dapat membantu nelayan mengatasi pergolakan harga BBM?

Dengan asumsi segala sesuatunya lancar dan disalurkan dengan tepat sasaran, tentu model kompensasi seperti itu bermanfaat bagi nelayan. Akan tetapi, ciri model kompensasi tersebut hanya berbasis pendekatan konsumsi, yakni meningkatkan daya beli nelayan terhadap kenaikan harga konsumsi barang dan jasa akibat kenaikan harga BBM. Jadi, ini penting untuk penduduk miskin guna mempertahankan hidup (survival). Model ini penting, namun tidak cukup, karena persoalan nelayan tidak semata bagaimana mempertahankan hidup hingga batas subsistensi, tetapi juga bagaimana melanjutkan usaha perikanan dalam rangka kesejahteraannya, penyediaan protein hewani bagi masyarakat luas (food security), peningkatan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), serta penyediaan lapangan kerja. Sehingga, pendekatan konsumsi tersebut juga mesti disertai dengan pendekatan produksi, yang berarti diperlukan model kompensasi atau solusi-solusi alternatif yang mampu mendorong nelayan tetap berusaha. Bentuknya dapat bermacam-macam, tentunya berdasarkan pengklasifikasian skala usaha kecil, menengah, dan besar. Setidaknya ada beberapa hal yang bisa dilakukan dalam meminimalisir dampak kenaikan BBM bagi nelayan.

Pertama, model langsung subsidi harga yang ditujukan agar usaha perikanan skala kecil tetap dapat beroperasi melalui penyediaan BBM dengan harga khusus dalam jangka waktu tertentu. Model ini akan sangat membantu nelayan, tapi membutuhkan prasyarat yang tak mudah, yakni adanya jaminan bahwa harga khusus tersebut benar-benar dialokasikan untuk kegiatan perikanan skala kecil. Adanya perbedaan harga di pasar biasanya akan mendorong peluang terjadinya penyelewengan. Marjin keuntungan dari jual beli BBM yang diselewengkan itu bisa jadi lebih besar dari keuntungan hasil melaut.

Kedua, jaminan keberlangsungan suplai BBM melalui pembangunan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN) di pusat-pusat kegiatan nelayan. Ini penting untuk mengatasi kelangkaan BBM serta membengkaknya harga di atas harga resmi. Jangan sampai nelayan terhambat melaut hanya karena tidak ada BBM. Bagi mereka, tidak melaut berarti tidak ada penghasilan.

Ketiga, membuka peluang nelayan untuk mendiversifikasi usaha perikanan atau menggantinya dengan mengembangkan usaha baru non-penangkapan, seperti budidaya laut atau pembuatan garam rakyat yang relatif lebih rendah ketergantungannya terhadap BBM. Usaha non-penangkapan lainnya, khususnya pengolahan dan perdagangan (bakul) skala kecil, juga dapat menjadi alternatif karena memang menguntungkan. Belajar dari pengembangan usaha perikanan di Pantai Selatan Daerah Istimewa Yogyakarta, usaha perikanan yang berkembang hampir selalu dapat bersinergi dengan usaha lain seperti pariwisata pantai. Bahkan banyak lokasi pendaratan ikan yang menjadi sentra-sentra pariwisata, khususnya wisata kuliner ikan yang digerakkan oleh kelompok perempuan. Hanya saja prosesnya tidak semudah membalik telapak tangan. Diperlukan transfer pengetahuan dan teknologi, perubahan mental berusaha, dan perluasan akses pasar. Lagi-lagi, kita butuh data valid tentang skala usaha yang bagaimana usaha penangkapan masih layak diteruskan atau mesti beralih ke usaha non-penangkapan lainnya pasca kenaikan BBM ini.

Upaya solusi atau kompensasi yang terkait langsung dengan BBM diatas, mestinya disiapkan sebelum harga BBM dinaikan sehingga begitu BBM naik beban yang ditanggung nelayan tidaklah terlalu besar karena tersedianya dana bantuan bagi mereka bila ingin beralih usaha ataupun mempersiapkan teknologi alternatif yang menunjang efesiensi. Bagaimanapun, peningkatan kesejahteraan nelayan menjadi salah satu barometer penting keberhasilan pemerintahan Jokowi-JK dalam menjadikan Indonesia sebagai poros maritim. Wallahu a’lam.

Sumber gambar: Harian Kontan

Yogyakarta, 19 November 2014
Kordinator Forum Kajian Perikanan UGM Yogyakarta
Andhika Rakhmanda

Dimuat di Banjarmasin Post, 24 November 2014.



[1] Fauziah, D. 2003. Dampak Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak Tehadap Pendapatan Usaha Nelayan Gill Net dan Rawai di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Skripsi.

S etelah lama dipunggungi, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla berniat menjadikan sektor kelautan menjadi halaman depan Indonesia yang ...

Setelah lama dipunggungi, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla berniat menjadikan sektor kelautan menjadi halaman depan Indonesia yang digembar-gemborkan sebagai poros maritim dunia. Wujud perhatian terhadap laut sebagai arus utama pembangunan ekonomi sejatinya meliputi dua fungsi. Pertama, fungsi produksi yang meliputi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hayati laut. Kedua, laut sebagai penawar jasa yang meliputi pelabuhan, perkapalan, galangan, dan pengawasan laut.

Fungsi kedua sudah banyak didiskusikan para pakar kemaritiman di berbagai media massa. Hanya saja, fungsi laut sebagai unit produksi ini sedikit luput dari perhatian. Padahal fungsi produksi ini dinilai sangat penting karena berkaitan erat dengan persoalan bagaimana kita dapat mencukupi kebutuhan pangan masyarakat baik secara nasional maupun internasional.

Tak dapat dipungkiri, sumberdaya ikan sebagai komoditas ekonomi di Indonesia sebagian besar tergolong kedalam komoditas ekspor, sehingga hasil-hasil produksi yang didapat dari sumberdaya ikan dengan grade A seperti tuna, udang, sidat, layur dan sebagainya cenderung di ekspor ke negara-negara maju ketimbang untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri.

Tingginya Permintaan

Thomas Malthus (1798) dalam esainya tentang Prinsip Kependudukan menjelaskan bahwa pertumbuhan penduduk, bila tidak dikendalikan, akan naik menurut deret ukur (1,2,4,8 dan seterusnya), padahal produksi pangan meningkat hanya menurut deret hitung (1,2,3,4 dan seterusnya)[1].

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dunia dan kebutuhan akan pangan dan gizi yang lebih baik, permintaan ikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Food Agricultural Organization (FAO), merilis jumlah permintaan ikan dunia pada tahun 2006 mencapai 114,3 juta ton, tahun 2008 sebesar 119,7 juta ton dan tahun 2011 mencapai 130,8 juta ton. Artinya antara tahun 2006 sampai dengan tahun 2011, permintaan dunia terhadap ikan meningkat hingga 16,5 juta ton. Permintaan terhadap protein ikani ini diprediksi Bloomberg Philanthropies akan terus tumbuh hingga pada tahun 2030 mencapai 154 juta ton.

Permintaan ikan yang meningkat tentunya memiliki makna positif bagi pengembangan perikanan, terlebih bagi negara kepulauan seperti Indonesia yang memilki potensi perairan yang cukup luas dan potensial untuk pengembangan perikanan baik penangkapan maupun akuakultur.

Namun demikian, tuntutan pemenuhan kebutuhan sumberdaya tersebut akan diikuti oleh tekanan eksploitasi sumberdaya ikan yang semakin intensif. Jika tidak dikelola secara bijaksana, sangat dikhawatirkan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara intensif akan mendorong usaha perikanan ke jurang kehancuran dan terjadinya berbagai konflik sumberdaya ikan.

Berbagai hasil kajian yang berkembang belakangan ini, terutama di berbagai lokasi perikanan utama dunia, menunjukkan bahwa upaya pengelolaan semakin dirasakan meningkat kebutuhannya. Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa intensitas pemanfaatan sumberdaya ikan yang terus meningkat (intensif), dengan sedikit upaya pengelolaan, telah menyebabkan terjadinya kehilangan yang cukup besar keanekaragaman sumberdaya ikan dan habitatnya (Dulvy dkk. 2003)[2].

Ancaman Krisis dan Pentingnya Pengelolaan

Ditengah permintaan ikan dunia yang terus meningkat seperti pada uraian diatas, produksi perikanan dunia justru mengalami kemunduran. Data FAO tahun 2006-2011 menunjukkan bahwa jumlah produksi ikan dunia turun sebanyak 1,3 juta ton, dari 80,2 juta ton pada tahun 2006 menjadi 78,9 juta ton pada tahun 2011. Keadaan seperti ini tidak hanya meninggalkan berbagai permasalahan akut akan kelangkaan sumberdaya, tetapi juga krisis ekologi, ekonomi, dan sosial perikanan terutama di wilayah-wilayah utama perikanan di  daerah pantai[3].

Di sisi lain, manusia yang secara langsung menggantungkan sumber mata pencahariannya pada sumberdaya ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Di Indonesia, berdasarkan statistik perikanan tangkap tahun 2013 diketahui bahwa rumah tangga yang menggantungkan hidupnya pada perikanan laut berjumlah 627.900 dengan jumlah nelayan 2,4 juta orang.

Kini, ditengah cita-cita Indonesia menjadi poros maritim dunia, ciri dasar dari sumberdaya perikanan dunia menunjukkan gejala yang terus menerus ke arah penipisan berbagai stok ikan yang disertai dengan tingginya tingkat modal dan tenaga kerja yang ditanamkan untuk kegiatan penangkapan. Kondisi ini juga diikuti oleh hasil tangkapan yang rendah serta sedikitnya pendapatan yang diterima oleh nelayan.

Meski disinyalir masih sangat potensial, diperlukan perencanaan yang matang dalam mengeksploitasi sumberdaya perikanan di perairan Indonesia terlebih di wilayah perairan yang sudah dalam kondisi lebih tangkap (over fishing). Prinsip kelestarian sumberdaya wajib diperhatikan dalam pengelolaan perikanan sehingga baik pelaku usaha maupun negara dapat memperoleh keuntungan dan devisa yang besar dan berkelanjutan. Sebagai sumberdaya yang kepemilikannya dikenal sebagai sumberdaya milik bersama (common properties) dan bersifat terbuka (open acces), kekurang hati-hatian dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya perikanan akan mendorong perikanan Indonesia pada apa yang dikhawatirkan oleh Hardin (1968) sebagai "the tragedy of the commons".



Andhika Rakhmanda
Pegiat Forum Kajian Perikanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta




[1] Lihat Malhtus, T. 1798. An Essay on the Principle of Population. Printed for J. Jhonson, in St. Paul’s Church-Yard. London.
[2] Dulvy, N.K., Y. Sadovi, and J.D. Reynolds. 2003. Extinction Vulnerability in Marine Population. Fish and Fisheries (4): 25-64.
[3] Lihat  Pitcher, A. 1996. Reinventing Fihseries Management. NAGA The ICLARM Quartely (7): 15-17 dan  Cochrane, K.L. 2000. Reconciling Sustainability, Economic Efficiency and Equity in Fisheries: The One that Got Away?. Fish and Fisheries (1): 3-21.

B erikut target kebijakan maritim Jokowi - Jusuf Kalla : Pembangunan 100 sentra perikanan sebagai tempat pelelangan ikan terpadu dengan pe...

Berikut target kebijakan maritim Jokowi - Jusuf Kalla :
  1. Pembangunan 100 sentra perikanan sebagai tempat pelelangan ikan terpadu dengan penyimpanan dan pengolahan produk perikanan terpadu.
  2. Pemberantasan illegal, unregulated, dan unreported fishing.
  3. Mengurangi intensitas penangkapan di kawasan overfishing, dan meningkatkan intensitas penangkapan di kawasan underfishing sesuai batas kelestarian.
  4. Rehabilitasi kerusakan lingkungan pesisir dan lautan.
  5. Peningkatan luas kawasan konservasi perairan yang dikelola secara berkelanjutan, dalam lima tahun akan menjadi 17 juta hektar dan penambahan konservasi seluas 700 hektar.
  6. Penerapan best aqua-culture practice untuk komoditas-komoditas unggulan.
  7. Mendesain tata ruang wilayah pesisir dan lautan yang mendukung kinerja pembangunann maritim dan perikanan.
  8. Meningkatkan produksi perikanan dua kali lipat menjadi 40-50 juta ton per tahun pada tahun 2019.
Diolah dari KPU 2014


Klik untuk memperbesar gambar

K etergantungan mata pencaharian terhadap cuaca menyebabkan minimnya pemasukan nelayan. Pendapatan rata-rata nelayan di Daerah Istimewa Yo...

Ketergantungan mata pencaharian terhadap cuaca menyebabkan minimnya pemasukan nelayan. Pendapatan rata-rata nelayan di Daerah Istimewa Yogyakarta berada di bawah garis kemiskinan, yaitu sekitar Rp 10.111.333,- per tahun. Di Pantai Sadeng sendiri, salah satu pantai pelabuhan yang terletak di ujung timur Kabupaten Gunung Kidul DIY, rata-rata pendapatan nelayannya hanya mencapai Rp 8.400.000,- sampai dengan Rp 12.000.000,- per tahun. Di sisi lain, sebagai kaum marjinal di pesisir, para nelayan hanya memiliki keterampilan melaut. Sehingga tidak memiliki kemampuan untuk menambah nilai pada hasil tangkapan.
Begitu pula dengan istri-istri nelayan atau wanita nelayan, yang sehari-hari hanya melaksanakan peran domestik saja. Keadaan seperti ini pada akhirnya berdampak pada ekonomi rumah tangga nelayan dan menyebabkan istri nelayan menjadi korban. Istri nelayan harus mencari hutang dan menggadaikan barang-barang saat suaminya tidak melaut (Pamela, 2012). Masalah finansial ini jika dibiarkan terus-menerus dapat memberi pengaruh negatif pula terhadap pendidikan anak, pemenuhan gizi keluarga, hingga pertengkaran dan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi besar sebagai penghasil komoditi perikanan dunia, terutama ikan tuna. Pantai Sadeng termasuk dalam salah satu kawasan laut penghasil komoditas tuna terbanyak di Indonesia. Data dari laporan tahunan PPP Sadeng (2010), hasil tangkapan ikan selama tahun 2005-2009 meningkat antara 11,82% sampai dengan 40,67% tiap tahunnya. Namun, pada kenyataannya tidak semua produksi perikanan dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia, karena untuk beberapa jenis ikan memiliki pasar ekspor yang sangat baik, sehingga sebagian besar produksinya langsung diekspor.
Sejalan dengan itu, menurut Ketua Pusat Pelatihan Mandiri Kelautan dan Perikanan (P2MKP) Karya Lestari, Ni Made Putriningsih Wirna, usaha pengolahan hasil perikanan adalah kegiatan yang sangat strategis dan menguntungkan, karena di samping jenis ikan sangat banyak, jenis olahannya pun sangat beragam (Yasin, 2013). Gary Stibel, CEO New England Consulting Group (NECG), menyatakan bahwa makanan ringan adalah trend makanan jangka panjang dan masa depan pangan (Stibel, Topsy, 2012). Wakil presiden pemasaran dan penjualan Rudoph Foods, Mark Singleton, menambahkah bahwa makanan ringan yang kini berpotensi untuk dikembangkan adalah makanan ringan sehat dengan pilihan rasa yang unik (Toopsy, 2012).
Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan peran wanita nelayan, lini pemberdayaan Forum Kajian Perikanan menginisiasi Tresna Iwak, sebuah gerakan pemberdayaan wanita nelayan berbasis diversifikasi olahan tuna melalui pendekatan bisnis-sosial untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir D.I. Yogyakarta.
Melalui gerakan ini, istri-istri nelayan dilatih dan dibina untuk membuat produk stick ikan tuna (STIKi) yang berorientasi pada konsep usaha bersama. STIKi hadir sebagai olahan pangan sehat yang gurih, lezat, menyehatkan, dan dapat dinikmati oleh seluruh kalangan masyarakat. [yai]
Kenali kami lebih dekat dengan bermain ke website Tresna Iwak.
Istri Nelayan Sadeng

A balone merupakan moluska dan gastropoda yang termasuk family  Haliotidae . Genus  Haliothis  yang berarti  telinga laut , memiliki sekit...

Abalone merupakan moluska dan gastropoda yang termasuk family Haliotidae. Genus Haliothis yang berarti telinga laut, memiliki sekitar 100 spesies yang tersebar di seluruh dunia. Abalone merupakan organisme bercangkang tunggal yang memiliki pertumbuhan cukup lambat dan hidup di perairan berbatu, berkarang dan perairan dangkal yang berdekatan dengan makrofit algae/ rumput laut. Cangkang abalone memiliki cirri khusus dengan adanya sebaris lubang respirasi (respiratory hole) yang disebut tremata yang terletak sepanjang sisi kiri cangkang.



source:commons.wikimedia.org
Ada 2 spesies abalone yang mendiami perairan di Bali yaitu Haliothis squamata yang terdapat di pantai selatan Bali dan Haliothis glabrayang terdapat di perairan Timur Bali. Secara umum organisme ini diberi nama lokal “mali-mali”. H.glabra memiliki pertumbuhan maksimal 6-7cm. namun keduanya merupakan spesies yang secara ekonomi memiliki nilai yang cukup tinggi dengan harga jual mencapai Rp. 400.000/kg.
Biologi Abalone
Abalone yang terdapat di daerah subtropics memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan di daerah tropis. Spesies di daerah tropis berasosiasi dengan koral dengan substrat berbatu sedangkan di daerah subtropics diketemukan di karang dan batu-batu besar. Abalone merupakan herbivore dimana veliger larva dan juvenile awal memakan epifit microalgae seperti diatom selanjutnya secara bertahap beralih memakan makro alge atau rumput laut hingga dewasa.
Abalone yang dibudidayakan akan mencapai kematangan sexual setelah 6-8 bulan pada ukuran 3,5-4cm. perkembangan gonad dapat diketahui secara visual, dimana induk betina memiliki kantung gonad berwarna hijau dan induk jantan memiliki gonad berwarna kuning susu. Individu yang sudah mengalami kematangan sexual, gonadnya akan tampak keluar diantara cangkang dan otot kakinya. Perkembangan gonad dapat dirangsang dengan nutrisi yang berkualitas, suhu air yang tepat dan lama penyinaran.
Abalone yang dipelihara di bak-bak pemeliharaan dapat memijah sepanjang tahun. Saat pemijahan gamet dari masing-masing individu akan dilepaskan ke dalam air dan telur-telur yang terbuahi dapat dipanen pada pagi hari pada pukul 6-8 pagi. Veliger akan menetas pada sore hari setelah 10-12 jam dari pembuahan. Larva tersebut bersifat fototaksis positif dan planktonis yang belum membutuhkan pakan dari luar. Proses pemanenan veliger dilakukan dengan cara mengalirkan air dari bak pemijahan menuju kolektor dan veliger yang berada di atas permukaan air akan tertampung ke dalam kolektor. Jumlah larva dapat dihitung secara sampling pada tempat terpisah sebelum ditebar pada bak pemeliharaan larva.
Kultur diatom
Bak penempelan larva dipersiapkan satu minggu sebelum dilakukan penebaran veliger untuk memberikan peluang bagi diatom untuk tumbuh pada feeding plate. Feeding plate dibuat dari plastik bergelombang yang ukurannya diatur sesuai dengan volume dan bentuk bak. Plastik gelombang ini ditempatkan tersuspensi di dalam media pemeliharaan untuk menyediakan tempat menempel bagi larva. Air laut yang masuk ke bak difilter dengan cartridge ukuran 10 mikron dan dialirkan secara kontinyu hingga permukaan plate berwarna hijau kecoklatan, hal ini menandakan diatome telah tumbuh. Pertumbuhan diatom dapat ditingkatkan dengan penyinaran di malam hari. Penyinaran optimal diberikan dengan kekuatan 2500-3000 lux. Komunitas mikroalga yang umum menempel pada plate meliputi Nitsczia, Navicula, Amphora dan Cocconeis.
Pemijahan
Pemijahan induk dilakukan pada bak beton maupun filter glass dengan dialiri air secara kontinyu/ flow through yang telah disaring dengan egg kolektor. Rasio pemijahan induk adalah 1 jantan dan 3-4 betina.
Pemeliharaan larva-Post larva
Larva abalone yang telah menunjukkan fase merayap membutuhkan substrat untuk menempel. Sebelum dilakukan penebaran larva, sebaiknya substrat telah dipersiapkan dan dibersihkan dari kotoran yang menempel, substrat juga merupakan tempat menempelnya diatom untuk pakan larva. Pada minggu pertama tidak dilakukan pergantian air media, selanjutnya pergantian air baru dilakukan secara bertahap mulai minggu ke dua sebanyak 10%. Penebaran larva dilakukan dengan kepadatan 150.000-300.000 ekor per ton.
Media pemeliharaan dibiarkan statis selama 5-7 hari setelah penebaran larva untuk memberikan kesempatan menempelnya seluruh larva. Aerasi dengan kekuatan sedang dibiarkan pada hari ke 5. Pada heri ke 7 mulai dilakukan sirkulasi. Pakan alami Nitzchia spdiberikan setiap hari per bak volume 1,5 m3 sebanyak 5 liter. Pemeliharaan dilakukan selama 60 hari hingga mencapai ukuran 1cm, benih dipelihara menggunakan waring hijau dan diletakkan di dasar bak.
Pemeliharaan benih
Pemeliharaan dilakukan di dalam bak menggunakan keranjang dengan kepadatan 30-40 ekor per keranjang. Pemberian rumput laut segar diberikan dua kali dalam satu minggu secara addlibitum. Shelter buatan dibuat dengan pipa PVC yang dibelah dua yang disediakan pada setiap wadah pemeliharaan. Benih dipelihara selama 80-90 hari atau mencapai ukuran 2-3cm yang siap untuk dibesarkan di laut.
Pembesaran
Pembesaran abalone dilakukan pada ukuran 2-3cm hingga mencapai ukuran pasar 5-6 cm. Lama pemeliharaan dilakukan selama 9-11 bulan. Pembesaran ini dapat dilakukan di darat pada bak-bak pemeliharaan maupun di laut pada karamba jarring apung atau menggunakan sistem tancap/ pen culture. Padat penebaran pada budidaya abalone adalah 600-100 per m2. Untuk memudahkan dalam pemeliharaan dan pemberian pakan, pemeliharaan dikombinasi dengan plastik bergelombang maupun potongan pipa PVC sebagai tempat berlindung/ shelter.
Dari berbagai sumber.